Robohnya Mahar Kami
Namanya, Bang Ucok Budianto. Pengusaha penggilingan daging ini, membuat ramai warga Kabupaten Pati. Saat pernikahannya dengan Mbak Mega Tristiani, pada 18 Juni lalu.
Pasalnya, dia menyerahkan mahar berupa satu unit mobil Toyota Fortuner seri VRZ. Masih belum cukup. Ditambah dengan satu unit motor Honda Beat. Pemberian yang jelas membuat Mbak Mega bahagia.
Memang, di Kawasan Pati hingga Jepara pemberian ini terhitung fenomenal. Tapi, ini juga membuat para pria lainnya kecut dibuatnya. Mereka yang penghasilannya biasa-biasa saja.
Karena, kini, gaya dan standar seserahan di daerah pesisir utara Jawa Tengah ini makin tinggi nilainya. Bisa membuat mereka berpikir ribuan kali. Sebelum berniat meminang calon istri.
Parahnya, terkait urusan mahar ini, para pria di daerah ini mulai hobi memberi mobil. Sebelumnya, kehebohan dibuat Mas Hanif. Pada 23 Februari 2019, dia menikahi Mbak Lulu.
Sebagai mahar, dia menghadiahkan satu unit mobil Honda Jazz. Harganya Rp 230 juta. Layaknya bagian dari seserahan, mobil itu juga dibalut pita berwarna ungu.
Tak berapa lama, ada Mas Agus Setiawan. Mantan TKI di Taiwan ini, juga menghadiahkan sebuah mobil. Mereknya Mitsubishi Xpander Sport seharga Rp 256 juta.
Masih ditambah sebuah motor Honda Vario 150 cc seharga Rp 23,6 juta. Dia menikahi Mbak Sri Irawati pada 13 Juni lalu. Seperti Mbak Mega, Mbak Sri ini juga senang bukan kepalang.
Menurut Mbak Yenny Ikarini, pemilik usaha Rumah Hantaran Jogja, mahar dan seserahan sejatinya kembali ke pasangan masing-masing. Namun, perkembangan kepribadian juga berperan. Banyak yang memberi mahar, dengan nilai melebihi mobil yang lagi viral di Pati itu.
“Ada yang memberi rumah kost,” jawabnya sambil tertawa. Memang, semuanya kembali kepada kemampuan pihak laki-laki. Karena sudah dianggap mandiri. Mampu membuat keluarga sendiri.
Sesekali, peran orang tua laki-laki juga terlibat. Lebih pada urusan yang menyangkut kehormatan keluarga. “Karena menaikkan gengsi,” tutur lulusan Instiper Jogja ini.
Setelah beberapa tahun mengeluti bisnis ini, Mbak Yenny paham banyak ragam permintaan dari mempelai. “Sebenarnya, ada lho yang meminta berlian. Yang harganya lebih mahal dari rumah itu,” ungkapnya.
Mahar dan seserahan sejatinya kembali ke pasangan masing-masing. Namun, perkembangan kepribadian juga berperan. Banyak yang memberi mahar, dengan nilai melebihi mobil yang lagi viral di Pati itu.
Namun, ada juga yang ngga mau repot. Cuma minta agar buku tabungan dihias seindah mungkin. Sehingga tampak menawan saat diserahkan ke mempelai perempuan. “Walau cuma buku tabungan, tapi angka yang tertera bisa bikin melek mata,” tambahnya.
Memang, dalam Islam, tidak ada batasan nilai, harga, jumlah, atau bentuk mahar. Intinya, semua tergantung kemampuan. Dan tidak berlebihan pastinya.
Karena, mahar dalam pernikahan bukanlah tujuan utama. Harapan pernikahan hanya keluarga yang bahagia. Pasangan seirama, langgeng, beriman, dan taat kepada Allah SWT.
Tapi semua bergerak. Sepertinya, kini, urusan pemberian mahar ini, juga berkembang. Mengikuti dinamika dan budaya jaman. Dalam berbagai tradisi, seserahan menjadi simbol dan bekal bagi kedua mempelai.
Dalam budaya Jawa, seserahan juga disebut peningsetan. Konon, asal katanya dari singset. Artinya mengikat.
Karenanya, mahar dan seserahan menjadi tanda ikatan hati di antara dua orang serta dua keluarga. Sang pria telah cukup dewasa dan siap jadi pemimpin untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Setiap pemberian barang ada tujuan serta makna tersirat. Terselip doa. Juga harapan mulia.
Dalam budaya Jawa, seserahan juga disebut peningsetan. Konon, asal katanya dari singset. Artinya mengikat.
Misalnya, pemberian seperangkat alat sholat. Itulah simbol, bahwa tuntunan Agama Islam akan jadi tumpuan hidup berkeluarga. Sedangkan pemberian pernak-pernik perhiasan, sebagai simbol agar mempelai wanita selalu bersinar dan bercahaya.
Untuk pemberian sepatu, selop, atau sandal diharapkan agar kedua mempelai selalu seiya seirama. Berjalan beriringan. Tak bisa melakukan sesuatu sendirian.
Bahkan, untuk pemberian jenis makanan juga ada makna tersirat. Misalnya makanan terbuat dari beras ketan. Harapannya, kedua mempelai tetap bersatu, lengket, hingga akhir hayat.
Atau warga Betawi yang memilih memberikan roti buaya. Diyakini, buaya hanya menikah sekali dengan pasanganya. Roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan.
Sedangkan di budaya Tionghoa, juga tak jauh beda. Seserahan disebut sangjit. Dianggap sebagai persembahan dari mempelai pria kepada mempelai wanita.
Namun, mereka juga punya tradisi menarik. Jika pihak keluarga perempuan menerima seluruh barang, itu tandanya keluarga menyerahkan sepenuhnya puterinya kepada pihak pria. Artinya, keluarga perempuan tidak akan ikut campur atas rumah tangga keduanya.
Namun, jika seserahan dikembalikan sebagian, berarti ada urusan di belakang. Keluarga mempelai perempuan masih berhak mencampuri urusan rumah tangga mereka di masa datang. Unik bukan.
Tentu saja, semua benda pemberian ini melambangkan budaya yang tumbuh di daerah tersebut. Budaya yang membentuk kepribadian serta jiwa masyarakat.
Di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), mahar acap kali disebut belis. Di Alor, mereka menggunakan Moko sebagai belis. Untuk pemuda di Maumere, mereka memilih memberikan gading gajah. Nah, di Sumba, mereka akan memberikan kuda, kerbau, bahkan senjata perang misalnya parang dan tombak.
Tentu saja, semua benda pemberian ini melambangkan budaya yang tumbuh di daerah tersebut. Budaya yang membentuk kepribadian serta jiwa masyarakat.
Entah, apakah pemberian mahar mobil erat hubungannya dengan budaya pesisir. Budaya yang adaptif. Terbuka dan mudah berbaur dengan perkembangan jaman.
Sehingga pemberian mobil dianggap hal modern. Atau jangan-jangan, model pemberian mobil dan motor jadi sekadar penanda biasa. Bahwa itulah merek populer yang berjaya.
Atau bisa jadi, ada hubungannya juga dengan media sosial. Menurut Mbak Yenny, mahar dan hantaran yang dikemas apik juga penting. “Biar terlihat bagus saat diposting di Instagram,” pungkasnya.
Entahlah.
Ajar Edi, kolumnis ngopibareng.id
Advertisement