Rizal Ramli: Aneh Mobil Bebas Pangan Dan Pendidikan Dipajeki
Pengamat ekonomi Rizal Ramli mengatakan kebijakan pemerintah yang akan menerapkan PPN untuk bahan pangan dan jasa pendidikan semakin menunjukkan pemerintahan Joko Widodo terjerat pola pikir liberal dan kapitalis.
Perhitungannya hanya untung, tidak memikirkan dampak dari kebijakan tersebut terhadap rakyat dan dunia pendidikan. "Dengan dikenakannya PPN tersebut harga pangan dan biaya pendidikaan semakin tinggi. Rakyat miskin dan anak putus sekolah jumlahnya semakin banyak," kata Rizal Ramli kepada Ngopibareng id Jumat 11 Juni 2021.
Mantan Menko Ekonomi di era Pemerintahan Gus Dur ini, menyayangkan Presiden Jokowi di periode kedua tidak sepenuh hati menjalankan pemerintahan sehingga banyak kebijakan keliru karena mengkuti kata apa bos besarnya.
"Tidak perlu dijelaskan, masyarakat sudah banyak yang tahu siapa bosnya Pak Jokowi," katanya.
Di sisi lain Rizal Ramli memuji kecerdikan Jokowi memberdayakan pasukan buzzer-nya untuk menutupi kegagalannya bidang ekonomi. "Ekonomi hancur begini masih dibilang baik. Hitungnya pakai apa. Kalau pertumbuhan ekonomi baik, pemerintah tidak akan menerapkan PPN untuk bahan pangan dan jasa pendidikan," ujarnya.
Hutang Indonesia saat ini sudah mencapai 6000 triliun lebih. Itu pun masih belum cukup sehingga dana haji pun dipakai, bahan pangan dan jasa pendidikan dikenakan pajak. Rizal Ramli juga menyoal kebijakan terbaru yang berlaku per 1 Maret lalu, pemerintah memberi insentif untuk sektor industri otomotif. Kebijakan itu berupa diskon pajak hingga 100 persen atau pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mulai nol persen untuk pembelian mobil baru.
Pajak berlaku untuk mobil berkapasitas isi silinder sampai 1.500 cc dan tingkat komponen dalam negeri minimal 70 persen. Insentif dibagi tiga tahap: PPnBM nol persen di Maret-Mei, PPnBM 50 persen Juni-Agustus, dan PPnBM 25 persen pada periode September-Desember.
Insentif berhasil memancing gairah. Terbukti, penjualan dan produksi mobil dalam negeri meningkat pesat kuartal I tahun 2021.
Namun di sisi lain dalam kebijakan yang terbaru pemerintah justru mematok tarif pajak untuk sembako lewat pajak pertambahan nilai (PPN). Pemerintah berencana untuk mengatur kembali ketentuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Salah satunya, tarif PPN untuk kebutuhan pokok termasuk beras bisa dibanderol 1 persen.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Marwan Cik Asan menilai, kebijakan ini merupakan pengkhianatan terhadap rakyat.
“Ini menyulitkan masyarakat. Pengkhianatan, terlintas di pikiran juga tidak boleh untuk mengenakan pajak pada sembako. Cari terobosan lain!” ujar Marwan dalam rapat Banggar DPR RI bersama pemerintah, Kamis 10 Juni 2021.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi terpisah mengatakan, wacana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis.
"Pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi," kata Tulus menanggapi wacana tersebut.
Menurut Ketua YLKI Pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat. Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN.