Pasang Surut PG Djombang Baru di Persaingan Industri Gula
Pabrik Gula (PG) Pesantren ini dibangun oleh orang keturunan Cina pada tahun 1849 yang kemudian berganti pengelolaan kepada pemerintah Hindia Belanda yang saat itu menerapkan kebijakan tanam paksa. Setelah kontrak dengan pemerintah sudah berakhir, pada tahun 1890 Pabrik Gula Pesantren menjadi milik swasta, sedangkan untuk pengelolaan Pabrik Gula Pesantren diserahkan Javaasche Cultuur Maatscappij.
Berdirinya pabrik ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch tentang pemberlakuan sistem tanam paksa (culturstelseel) yang dimulai sejak 1830 di Jawa Timur.
Kebijakan ini keluar karena melihat suburnya tanah dataran rendah di Kediri yang membuat Belanda tertarik untuk menjadikan kawasan ini lumbung industri pertanian dan perkebunan sejak abad ke-19.
Pada era itu, tebu adalah salah satu tanaman wajib tanam selain kopi dan nila. Sehingga, membuat banyak orang bermigrasi ke Jawa Timur karena tergiur menggarap kebun tebu sebagai mata pencarian baru.
Sejak awal berdiri, PG Pesantren memproduksi gula merah. Kemudian pada tahun 1907 melakukan peralihan dari gula merah ke gula putih untuk memenuhi permintaan pasar lokal maupun internasional khususnya Eropa.
Berhenti produksi karena krisis dan menjadi markas tentara Jepang
Pada tahun 1936 tidak terdapat produksi gula karena terjadinya krisis melaise. Namun, selang setahun tepatnya tahun 1937 PG Pesantren kembali beroperasi dengan berhasil produksi gula sebesar 1.798 kuintal, tahun 1938 sebesar 1.936 kuintal dan tahun 1939 sebesar 1.945 kuintal.
Kemudian, ketika Jepang masuk ke wilayah Kediri terjadi perampokan-perampokan pada kantor pemerintah Belanda dan menduduki sejumlah pabrik dan perkebunan yang ada di Kediri. Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1942 menyerah kepada Jepang.
Pada masa Jepang diberlakukan kebijakan menanami 1/5 tanah penduduk dengan tanaman industri komersial pada masa kolonial diganti dengan diharuskannya rakyat menanami separuh tanahnya dengan tanaman pangan atau untuk keperluan perang.
Sehingga, selama masa pendudukan Jepang, Pabrik Gula Pesantren mengalami beberapa kerusakan pada peralatan produksi, hal ini dikarenakan perubahan fungsi pabrik gula sebagai markas tentara Jepang.
Setelah Pemerintah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, Pabrik Gula Pesantren adalah salah satu dari sekian banyak pabrik gula yang masih mampu bertahan, dan memulai kembali kegiatan pengolahan tebu menjadi gula. Setelah kemerdekaan Indonesia, dilakukan upaya rehabilitasi pabrik untuk dapat beroperasi kembali.
Kemudian pada tahun 1957 sesuai SK Penguasa Militer/Menteri Pertanian No.1063 /PTN /1957 9 Desember 1957, diambil alih oleh pemerintah RI di bawah satu badan yaitu Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) baru yang berkedudukan di tiap-tiap Daerah Swatantra tingkat I.
Berdasarkan PP No. 1 Tahun 1963, Pabrik Gula Pesantren dikuasai oleh PPN yang berkedudukan di Surabaya, hal ini berlangsung hingga tahun 1963. Berdasarkan PP No.14 / 1968 BPU-PPN diganti dengan Perusahaan Perkebunan (PNP).
Berdasarkan PP No.23/1973, mulai tanggal 1 Januari 1974 PNP XXI digabung dengan PNP XXII dengan bentuk Perseroan yaitu PT. Perkebunan XXI-XXII yang berkedudukan di Surabaya.
Bangun Pabrik Baru dan Upgrade Mesin Kapasitas Besar
Pada tahun 1976 PG Pesantren membangun PG baru dengan nama PG Pesantren Baru. Pada tahun 1978 PG Pesantren Baru ini mulai beroperasi dan menggantikan PG Pesantren Lama dengan kapasitas produksi 4.000 TCD.
Pada tahun 1994, PG Pesantren masuk dalam grup PTP Jawa Tengah sesuai SK Menteri Keuangan 168 Tahun 1994. Baru pada tahun 1996 PG Pesantren masuk dalam grup PTPN X sesuai dengan PP No 15 Tahun 1996.
PG Pesantren pada tahun 2012 baru melakukan upgrade kapasitas mesin dari 4000 TCD menjadi 6200 TCD. Namun sebelum menaikkan level menjadi PG kelas besar, PG Pesantren mendapatkan sertifikat ISO 9001 tahun 2008 dan sertifikat ISO 14001 tahun 2004.
Manajer tanam PG Pesantren Martin Surya Prayitna mengatakan sejak melakukan upgrade kapasitas mesin itu, produksi terus mengalami kenaikan yang signifikan, seiring dengan semakin bertambahnya luas lahan tebu yang menjadi mitranya.
Saat ini pabrik gula yang berlokasi di Jalan Merbabu, Pesantren Kota Kediri ini meliputi Kota Kediri dan Kabupaten Kediri, serta Malang, dengan total sebanyak 13 kecamatan.
Yaitu, untuk wilayah Kota Kediri, meliputi kecamatan Kota dan Kecamatan Pesantren. Sementara untuk wilayah Kabupaten Kediri meliputi kecamatan Wates, Pagu, Ngasem, Gurah, Plosoklaten, Puncu, Plemahan, Pare, Kepung, dan Kandangan. Dan wilayah Kabupaten Malang meliputi kecamatan Kasembon.
"Total luas area pada tahun 2022 ini mencapai 10.048,22 hektar, yang terdiri dari tebu rakyat seluas 8.328,75 hektar dan tebu sendiri seluas 1.719,47 hektar," katanya.