Ritual Kemerdekaan di Tangan Presiden yang Marketer
RANGKAIAN upacara Hari Ulang Tahun ke 72 Kemerdekaan RI kali ini penuh warna-warni. Ada yang layak dilihat. Pantas diperbincangkan. Tidak sekadar ritual upacara dan parade pidato seperti biasanya.
Tiba-tiba saja, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla "bertukar" pakaian adat saat mengikuti rangkaian acara di Gedung MPR/DPR RI. Presiden yang asli Solo mengenakan pakaian adat Bugis, sedang Wapres yang asli Makasar mengenakan pakaian adat Jawa.
Asyik. Unik. Membuat banyak orang kaget karenanya. Menciptakan suasana berbeda dari biasanya.
Upacara Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana juga tambah mewarna. Selain presiden dan wakil presiden, hampir semua undangan mengenakan pakaian tradisional daerah. Mulai adat Jawa, Minang, Bugis, Banjar, Sunda, Sasak, Papua, dan sebagai.
Istana Negara Jakarta jadi colorfull.
Perubahan ini jelas menguntungkan sejumlah stasiun TV. Sebab, mereka bisa membuat siaran langsung tanpa harus mengikuti rangkaian acara yang menoton. Banyak angle yang bisa diambil. Banyak figur yang layak di-close up dengan keunikan pakaian adai yang dikenakannya.
Suasana ini jelas berbeda dengan ritual hari kemerdekaan tahun-tahun sebelumnya. Setiap tahun kita disuguhi ritual yang sama. Rangkaian upacara dengan puncak pengibaran bendera. Pakaiannya pun resmi. Pakaian Sipil Lengkap: jas, dasi, dan peci hitam.
Ritualitasnya menegangkan. Apalagi pada zaman pemerintahan Soeharto. Kaku.
Saya pernah menyaksikan serangkain upacara dan kegiatan kenegaraan di Pyongyang, Kore Utara, 2003. Saat itu, saya mengikuti rombongan Presiden Megawati Soekarnoputri yang berkunjung ke negeri yang bertahan sebagai negara totaliter sampai kini.
Setiap upacara kenegaraan berlangsung serius. Tidak ada canda. Segalanya seperti dikomando. Bahkan, tepuk tangan pun seragam dalam durasi yang sama.
Kekakuan dan serba seperti komando itu terjadi tidak hanya saat upacara resmi. Juga saat nonton pertunjungan seni seperti drama maupun musik. Penonton yang mayoritas tentara itu semua duduk tegap. Tak ada tawa. Meski pertunjukannya menggelikan.
Bertahun-tahun, kita menyaksikan ritual upacara kemerdekaan dengan penuh kekakuan. Penuh disiplin. Juga menegangkan. Tidak ada tontonan. Seperti ritual keagamaan yang sakral.
Rileks tapi serius. Malah, di akhir acara, presiden masih sempat membagikan hadiah sepeda untuk undangan yang berpakaian adat paling baik. Istri Kapolri Tito KaKarnavian yang memakai pakian adat Papua salah satu yang mendapat hadiah.
Yang menyenangkan lagi, rakyat Indonesia bisa menyaksikan 4 presiden RI foto bersama dengan pakaian adatnya masing-masing. Selain Jokowi, ada Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Habibie.
Bagus kan kalau para pemimpin bangsa itu akur dan bersama-sama! Sunguh bangga kami melihatnya.
Ya. Seharusnya demikianlah acara peringatan 17-an. Sebab, kemerdekaan adalah kebebasan. Kemerdekaan adalah kegembiraan. Kemerdekaan adalah sesuatu yang harus disyukuri dengan kebahagiaan.
Suasana ritual kemerdekaan yang kaku dan sakral itu kini telah berubah. Di saat presidennya seorang sipil yang juga pedagang. Seorang yang mengenyam pendidikan seperti kebanyakan orang.
Presiden dari orang biasa. Presiden dari kampung yang saat mahasiswa tidak ada yang mengira dia akan menjadi pemimpin negeri ini. Mahasiswa yang aktif di kegiatan pecinta alam.
Tapi dari semua itu, perubahan ini kayaknya lebih di pengaruhi jiwa pedagang presiden kita. Presiden yang sadar akan prinsin-prinsip marketing. Kepala negara yang tumbuh kembang sebagai seorang marketer.
Cara berpikir marketing yang sangat mewarnai kepemimpan Jokowi ini adalah pentingnya diferensiasi. Pembeda. Jika kita ingin produk kita laku, maka diferensiasi menjadi yang utama. Jangan harap kita mampu ''menjual produk'' yang sama dengan lainnya.
Di mana-mana orang jual mie. Tapi kalau kita bisa menyajikan mie yang berbeda, sangat mungkin kita direspon pasar. Mie setan di Surabaya setiap kali tidak sepi pembeli. Ini karena mie yang dijual berbeda dengan mie pada umumnya.
Makanya saya menjadi paham kenapa tiba-tiba Presiden memutuskan ''bertukar'' busana adat dengan wakilnya. ''Idenya dari Pak Presiden dan wakil presiden sendiri. Dan ide itu langsung dilaksanakan bersama,'' kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki soal pakaian adat yang dikenakan RI 1 dan 2 di Gedung DPR RI.
Gaya kepresidenan Jokowi memang seperti itu. Cepat mengambil keputusan dan cenderung mencari pembeda dari kebiasaan. Gaya itu tidak hanya dalam hal soal acara-acara seremonial. Tapi juga kebijakan besar.
Ketika dia memutuskan menggarap infrastuktur besar-besaran di Papua, banyak kritik dilontarkan. Rata-rata menyesalkan seberapa manfaat membangun infrastruktur seperti itu. Sementara nilai ungkit ekonominya akan lebih besar kalau dilaksanakan di tempat lain.
Apa jawabannya terhadap kritik tersebut? ''Kalau tidak kita lakukan, siapa yang akan melakukannya. Kalau tidak kita yang memikirkan mereka, siapa yang memikirkannya,'' katanya seperti ditirukan seorang menteri yang sangat dekat dengannya.
Tampaknya, perubahan besar memang harus dimulai dari cara berpikir yang tidak seperti biasanya. Tidak as usual. Diperlukan pemikiran dan langkah-langkah out of the box.
Gaya Jokowi ini selaras dengan wakilnya yang juga seorang pengusaha Jusuf Kalla. Wapres asal Makassar ini sering kali melontarkan pemikiran yang tidak dipikirkan orang.
Ketika orang mempersoalkan tentang fasilitas masjid di perkantoran, misalnya. Dengan enteng ia mengatakan karena ritual ibadah umat Islam dilakukan pada saat hari kerja: Jum'atan.
Karena itulah, dibutuhkan fasilitas tempat ibadah untuk para karyawan yang beragama Islam. ''Kan tidak mungkin salat Jumat dipindah di hari minggu,'' katanya suatu ketika.
Tanpa terasa, tiga tahun memerintah, telah memberikan warna dalam banyak hal. Termasuk ritual upacara kemerdekaan yang selama ini kaku dan tidak bisa menjadi tontonan.
Selain itu, Indonesia yang beragam dan penuh warna ini memang tetap harus ditunjukkan. Kemajemukan etnis dan adat budaya itu tak perlu lagi harus disamaratakan. Saatnya ditunjuk-tunjukan.
Biar generasi mendatang tetap melihat Indonesia sebagai negara dengan berbagai keberagamaan budayanya. Saatnya Bhineka Tungal Ika tak hanya diteriakkan dalam wacana.
Saatnya dipertontonkan dengan terbuka. Biar kita tetap asyik melihat keberagaman yang selama ini menjadi kekuatan bangsa ini.
Dirgahayu RI. Merdeka!!!
Advertisement