Rita Pranawati: Ãisyiyah Konsisten Pegang Prinsip Kesetaraan
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, isu keluarga adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dengan isu anak. Di KPAI sendiri, isu anak selalu menjadi data kedua tertinggi sepanjang pengaduan.
Hal tersebut berkaitan dengan perceraian yang dilakukan berdampak kepada keluarga dan secara norma hukum nasional, Indonesia belum punya aturan hukum terkait bagaimana ketika orang tua berpisah.
“Normanya mungkin ada, tetapi implementasinya masih sangat tipis dan praktiknya masih kurang soal nafkah.Tentu masih ingat, bahwa Kiai Dahlan mengatakan ‘jangan sampai urusan dapur menjadi penghalang dalam berdakwah,” ungkapnya, dalam keterangan Senin 12 Oktober 2020.
Ditegaskan Rita yang anggota Majelis Hukum dan Ham (MHH) PP Áisyiyah, ditahun 1968 secara resmi keluarga sakinah menjadi keputusan Muhammadiyah juga didalam konteks nilai-nilai keluarga sakinah itu selalu hidup di ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah.Dan pada tahun 1990 melalui Keluarga Sakinah masuk menjadi progam disektor negara.
“Saya kebetulan, sedang mendalami panduan keluarga sakinah tahun 1989, 1994 dan 2015. Ini penting untuk melihat perkembangan keluarga sakinah dan seberapa progresifitas situasi keluarga dan tangangan ‘Aisyiyah akan seperti apa,” lanjut Rita, dalam International Conference on Aisyiyah Studies (ICAS)ke-2 via Daring, Sabtu lalu.
Menurutnya, ‘Aisyiyah sebenarnya konsisten dengan kesetaraan. Tujuan sakinah, mawadah, warahmah di surat Ar-Rum ayat 21 selalu dikedepankan. Kemudian tidak memisahkan soal manusia sebagai khalifatullah fil ardh maupun sebagai hamba AllahSWT.
“Jadi perkawinan pun tidak hanya dilihat sebagai sebuah konteks individual tetapi dilihat sebagai konteks juga kemasyarakatan,” tegasnya.
Kalau terkait dengan konsep dunia-akhirat itu sama dengan ajaran-ajaran Muhamadiyah lainya bahwa tujuan perkawinan itu seimbang baik di keputusan tahun 1989, 1994 maupun tahun 2015.
Rita mengatakan mulai di tahun 1994 mulai dikuatkan soal pendapatan walupun sebelumnya sudah ada ditahun 1989. Karena Muhammadiyah termasuk mendukung di UU Perkawinan di tahun 1974.
“Kemudian ditahun 2015 ada penekanan soal tanggung jawab itu yang kemudian keluar yaitu penguatan tanggung jawab. Dan sebenarnya ditahun 1989 dan 1994 ada situasi dan tantangan perkawinan beda agama. Jadi kelihatan diperiodesasi keputusan 1989 dan 1994,” jelasnya.
Perkawinan didalam keluarga sakinah dalam konteks ‘Aisyiah, menurutnya, sekali lagi bukan hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga untuk masyarakat sekaligus untuk alam. Itu yang kemudian menjadi berbeda.
“Saya kira penguatan tahun 2015 menjadi kuat karena memang nilai-nilai terkait hak asasi manusia lebih dipikirkan misalnya tentang penghormatan dan tanggung jawab. Yaitu menghormati dan juga tangung jawab menjadi hal penting, saya kira,” tutur Rita.