Risma Pertanyakan KTP Penggugat Class Action Dolly
Pemerintah Kota Surabaya kini tengah menghadapi gugatan class action atau proses hukum dengan nilai ganti rugi Rp 270 Miliar, karena telah menutup praktek prostitusi di kawasan Dolly beberapa tahun lalu.
Hal itu dinilai sudah merenggut mata pencaharian dan perekonomian warga lokalisasi yang berlokasi di Putat Jaya, Surabaya,
Gugatan itu dibuat oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan warga Jarak Dolly yang tergabung dalam Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) melalui Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Selain ganti rugi mereka juga menuntut pelegalan rumah musik di kawasan itu.
Mengetahui hal itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun buka suara. Menurutnya, warga yang melakukan gugatan terhadap Pemkot dan berupaya membuka celah munculnya kembali bibit-bibit prostitusi di kawasan itu bukan warga asli Jarak ataupun Dolly.
"Yang menuntut itu kan sebagian kecil. Coba lihat KTP-nya," ujar Risma, saat ditemui di Gelora 10 Nopember, Tambaksari, Surabaya, Jumat, 31 Agustus 2018.
Tak sampai disitu, Risma juga sempat geram dengan pihak yang ingin membuat kawasan itu kembali seperti dulu lagi, dengan mencoba membuka kembali rumah musik di kawasan Jarak-Dolly.
"Ini sudah beda eranya, tolong dimaklumi, Dolly sekarang sudah membaik," kata Risma, merujuk pada para penuntut class action.
Lebih lanjut, kata Risma, warga yang menolak itu bahkan tak bisa sewenang-wenang mengatasnamakan dirinya sebagai warga Dolly.
Selama ini, Risma mengkalim sudah melakukan beebagai upaya normalisasi di kawasan itu, salah satunya dengan mewadahi para ibu-ibu dengan membuka usaha industri kecil dan UMKM.
"Lha wong mereka (warha Dolly) itu sekarang punya usaha macam-macam, saya denger mereka dapat pesenan produknya hampir 10 ribu pcs, kalau mereka keganggu munculnya ini lagi kan kasian, mereka kan sudah pumya kehidupan yang normal," kata Risma.
Hal senada juga dikatakan oleh, Ketua RT 5 RW 3 Putat Jaya, Nirwono Supriadi, 47 tahun. Ia dengan tegas mengatakan bahwa kelompok penggugat itu sebenarnya bukan warga asli Jarak-Dolly, melainkan pengusaha tempat hiburan yang tinggal di sana.
"Dalam aksinya, mereka mengatasnamakan warga Dolly. Ini yang membuat kami jengkel. Padahal mereka bukan warga asli," papar Nirwono, saat dihubungi ngopibareng.id, 31 Agustus 2018.
Menurutnya, sekelompok orang itu tidak berani menunjukkan identitas mereka sebenarnya. Ia pun meminta kepada PN Surabaya tak mengabulkan gugatan class action itu.
Nirwono ingin anak-anak di eks lokalisasi Dolly itu selamat dan mampu hidup layak tanpa terjerumus lingkungan yang tak sehat. (frd/wit)