Risma Ngawur
"Terus terang saya tidak memperhatikan zona itu merah, hijau, biru, atau kuning atau putih. Saya tidak memperhatikan Surabaya dimasukkan zona apa, tapi yang saya perhatikan adalah warga saya yang sakit," kata Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini ketika tampil pada acara Indonesia Lawyers Club di TV-One, 9 Juni lalu.
Karena itu mengherankan sekali ketika dua hari lalu, melalui siaran pers yang dikeluarkan Pemkot, Risma menyatakan Surabaya masuk zona hijau. Lho, katanya tidak memperhatikan soal warna. Kok sekarang menyebut hijau?
Tapi bukan masalah warna yang jadi persoalan, melainkan indikator apa yang ia gunakan sehingga secara sepihak dia memasukkan Surabaya ke dalam katagori Zona Hijau. Zona Hijau artinya zona aman, tidak tercatat kasus Covid-19 positif.
Apakah benar Surabaya sudah aman bagi masyarakat dari ancaman pandemi Covid-19? Apakah sebelum mengeluarkan pernyataan soal warna hijau itu Risma sudah berkonsultasi dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya, misalnya? Atau justru pernyataan Risma itu berdasarkan masukan dari Dinas Kesehatan Kota?
Satgas Nasional Penanganan Covid-19 mengkatagorikan empat zona berdasarkan resiko kenaikan kasus. Masing-masing Zona Merah untuk resiko tinggi, Zona Oranye untuk resiko sedang, Zona Kuning untuk resiko rendah, dan paling bawah Zona Hijau untuk daerah yang sama sekali tidak terdampak
Mengkatagorikan suatu wilayah ke dalam zona tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah secara sepihak, untuk kepentingan daerahnya sendiri. Ada rumusan-rumusan yang dibakukan oleh Satgas Nasional Penanganan Covid-19 berdasarkan perhitungan Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
Pengkatagorian zona suatu daerah ditentukan oleh berapa skor terhadap wilayah tersebut. Skor dihitung berdasarkan 15 indikator kesehatan, yang terdiri dari 11 indikator epidemiologi, 2 indikator surveilans kesehatan masyarakat, dan 2 indikator pelayanan kesehatan.
Tiap-tiap daerah akan memperoleh skor berbeda, berdasarkan 15 indikator di atas. Skor dan pembobotan dari suatu daerah akan dijumlahkan, hasilnya akan dikategorisasikan menjadi zona berdasarkan warna.
Zona Merah: risiko tinggi dengan skor 0 sampai 1,8. Zona Oranye: zona risiko sedang dengan skor 1,9 sampai 2,4. Zona Kuning: zona risiko rendah dengan skor 2,5 sampai 3,0. Sedang Zona Hijau: zona tidak terdampak, tidak tercatat kasus COVID-19 positif.
Makin rendah skor yang diperoleh suatu daerah, makin tinggi resiko terdampak Covid-19. Makin tinggi skor, makin rendah terdampak.
Berdasarkan penghitungan terhadap 15 indikator kesehatan itu, hingga hari Selasa 4 Agustus kemarin, di Jawa Timur terdapat 8 Kabupaten/Kota yang masuk katagori tinggi sehingga termasuk Zona Merah, masing-masing Kabupaten Jombang dengan skore 1,76, Kota Pasuruan (1,72), Kabupaten Sidoarjo (1,74), Kota Surabaya (1,74), Kota Malang (1,28), Kota Batu (1,7), Kota Mojokerto (1,75) dan Kabupaten Mojokerto dengan skor 1,66.
Dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, hanya ada 4 daerah yang resikonya rendah. Itupun masuk katagori Zona Kuning dengan resiko, bukan hijau yang tanpa resiko. Keempat daerah Zona Kuning itu masing-masing Kabupaten Bondowoso mendapat skor 2,79, Kabupaten Madiun (2,65), Kabupaten Tulung Agung (2,54), Kabupaten Banyuwangi (2,5).
Di Jawa Timur semua daerah terdampak Covid-19, dengan resiko rendah (Zona Kuning), resiko sedang (Zona Oranye) dan resiko tinggi yang masuk Zona Merah. Tidak ada satupun daerah di Jawa Timur yang tidak terdampak sehingga bisa dimasukkan ke dalam katagori Zona Hijau.
Jadi, memasukkan Surabaya ke dalam Zona Hijau yang sama sekali tidak berdasarkan data, mengutip seorang anggota DPRD Kota Surabaya, berarti Risma ngawur. Dari Zona Merah langsung ke Zona Hijau, melompati warna oranye dan kuning.
Sekretaris Komisi B DPRD Kota Surabaya, Mahfudz menilai klaim Risma ini berlebihan dan tidak berdasar fakta yang ada. Menurut dia, Risma bermimpi Kota Surabaya sudah berubah menjadi hijau. Padahal, berdasarkan fakta dan data, Kota Surabaya masih menjadi kota tertinggi kasus covid-19 di Jawa Timur.
"Ya kalau menurut saya sih, Risma ini ngawur. Dia bermimpi. Kalau kata anak sekarang halu. Kenapa? Karena data yang diambil tidak akurat," kata Mahfudz, seperti dikutip Ngopibareng, Senin 3 Agustus.
Lantas apa sebenarnya maksud Risma dengan menyatakan Surabaya zona hijau? Apakah hanya sekadar gagasan Risma untuk menenteramkan warganya?
Sehari setelah Risma melalui siaran pers menyatakan Surabaya masuk Zona Hijau, Dinas Pendidikan Kota Surabaya kepada pers menyatakan Pemkot Surabaya akan membuka kembali kegiatan belajar mengajar di sekolah jenjang SMP. Apakah ini sebenarnya tujuan Pemkot melalui Wali Kota mengklaim Surabaya telah Zona Hijau?
Tahap awal ada 21 SMP negeri dan swasta yang tersebar di lima wilayah Surabaya yang bakal segera dibuka. Sekolah-sekolah itu disebut sebagai pilot project pembukaan kembali kegiatan di sektor pendidikan.
Keduapuluh-satu sekolah tersebut adalah SMPN 1, SMPN 2, SMPN 3, SMPN 10, SMPN 12, SMPN 15, SMPN 19, SMPN 26, SMPN 28, SMPN 46, SMPN 62, SMP YBPK 1, SMP Petra 1, SMP Al Hikmah, SMP Santa Maria, SMP Giki 2, SMP Pawiyatan, SMP Wachid Hasyim 1, SMP Muhammadiyah 3, SMP Santo Carolus dan SMP 17 Agustus.
Membuka sekolah untuk SMP bisa jadi adalah kebijakan ngawur kedua yang bakal dilakukan Pemkot Surabaya, mengingat pandemi masih menghantui Surabaya. Angka kematian masih tinggi, sementara Pemkot Surabaya tidak nampak melakukan pencegahan penularan.
Di kampung-kampung Surabaya, sama sekali tidak nampak tindakan-tindakan pencegahan, baik secara masif maupun secara parsial.
Meskipun siswa SMP kembali ke sekolah ini baru tahap rencana , tetapi dengan telah diawali klaim Surabaya Zona Hijau, tidak tertutup kemungkinan rencana ini akan segera dilaksanakan, terbukti dengan didahului dengan simulasi.
Sekolah akan menjadi sumber penularan baru, karena setelah beberapa jam belajar di sekolah, para siswa akan pulang ke rumah untuk bertemu keluarga. Siswa-siswa yang masih remaja mungkin memiliki daya tahan tubuh prima, tetapi bagaimana dengan orang tua mereka di rumah yang tentu saja memiliki daya tahan berbeda?
Jika sekolah kembali dibuka, dengan protokol kesehatan yang ketat sekalipun, maka para siswa akan berada di sekolah bersama-temannya dari berbagai wilayah, selama sedikitnya empat jam. Jangka waktu yang cukup lama sekaligus rawan.
Beda misalnya jika orang pergi ke pasar, membeli sesuatu. Setelah yang dibutuhkan diperoleh, dia bisa segera kembali pulang.
Sejak hari Selasa, di medsos beredar meme-meme dan tulisan-tulisan dari para orang tua di Surabaya yang menolak anaknya kembali masuk sekolah, sebab faktanya kota ini masih masuk katagori Zona Merah.
Satu postingan dari grup emak-emak yang hari ini menjadi viral adalah tulisan agak panjang dengan bahasa campuran khas suroboyoan. Inti tulisan viral ini adalah menolak jika Pemkot melalui Dinas Pendidikan Kota Surabaya kembali membuka sekolah, yang untuk sementara diberlakukan terhadap 21 SMP negeri dan swasta.
"Kok seneng men anake dinggo percobaan. Nek dadi aku, sebelum anakku dinggo percobaan, iku anak putune Risma dan Kepala diknas Surabaya Nek perlu sak anak turune anggota dewan kongkon njajal sek melbu sekolah percontohan, Nek misal aman, baru boleh jadi pertimbangan buat lainnya. Koen anakmu diujicoba wong liyo kok gelem ae. Nek onok kenek e anakmu, sing kepontalan duduk sing gawe kebijakan, Yo jelas e awakmu sak keluarga. Durung maneh pas wayah kenek, ngko awakmu harus isolasi mandiri dengan resiko dirumahkan tanpa dibayar, Nek kedaden ngono, gelem Pemkot mbayari raimu ? Yo gak lah. Mbidek ae. Palingan wong2 iku cuma posting : "Maaf, kami prihatin."
Begitulah bahasa orang Surabaya, ceplas-ceplos, tapi jujur dan gak ngawur. (m.anis)
Advertisement