Risma Mengulang Sukses di Surabaya dalam Pilgub DKI Mendatang?
Oleh: Ferry Soe Pei’i
Di era dominasi media sosial dalam dunia komunikasi seperti sekarang ini, prestasi bagi seorang pejabat tidaklah penting. Yang penting adalah kemampuannya memanfaatkan medsos untuk melakukan pencitraan agar dinilai publik berhasil dan sukses mengemban jabatannya. Tri Rismaharini yang pernah menjadi Walikota Surabaya dua periode dan sekarang naik pangkat jadi Menteri Sosial RI telah membuktikan hal itu.
Selama menjadi Walikota Surabaya sebenarnya ia tergolong minim prestasi. Di balik keberhasilannya menanam bunga dan mempercantik taman terutama di kawasan pusat kota yang telah menimbulkan kekaguman banyak orang, ternyata banyak masalah yang tak mampu ia selesaikan baik yang menyangkut pembangunan maupun kebijakan Pemkot Surabaya.
Fakta yang sangat kasat mata
Berikut ini adalah fakta yang sangat kasat mata mengenai sejumlah persoalan yang tak terselesaikan selama masa kepemimpinannya sebagai Walikota Surabaya:
- Kekumuhan Kota Surabaya sampai sekarang tak teratasi, terutama di kawasan pusat kota di kampung-kampung lama yang tak akan pernah bisa ditutup-tutupi dengan penanaman bunga dan perbaikan taman.
- Banjir tetap saja terjadi di setiap musim penghujan, bahkan berlangsung berhari-hari di kawasan Surabaya barat.
- Janji kepada warga kawasan Dolly yang ditutup untuk membantu mereka menampung dalam sentra kerajinan yang akan dibangun dibekas lokalisasi itu tak pernah terwujud.
- Pembersihan tuna wisma, pengemis dan gelandangan masih sebatas kawasan tengah kota yang meliputi kawasan Darmo sampai Tunjungan.
- Pembangunan Pasar Turi yang sangat dikenal sebagai pusat grosir di Surabaya sampai sekarang macet alias mangkrak.
- Tidak menghentikan penarikan pajak ganda, PBB dan Retribusi Sewa Tanah, yang sangat memberatkan penghuni tanah ijo (tanah eks gementee dan partikulir yang terkena land reform kemudian diaku oleh Pemkot sebagai tanah pengelolaannya).
- Pamurbaya dengan hutan mangrovenya yang makin rusak sampai kini terus direklamasi oleh para pengembang untuk pembangunan rumah-rumah mewah tepi pantai. Sangat bertolak belakang dengan penetapan konservasi sebagai ruang terbuka hijau terhadap kawasan yang sebagian besar merupakan tanah-tanah milik rakyat (bersertifikat).
- Berbagai pusat UMKM yang gencar dibangun di berbagai kawasan, akhirnya mangkrak karena tak berfungsi akibat sepi pengunjung.
- Pasar Ikan yang higenis di Bulak, Kenjeran, sebagai hibah dari KKP gagal dioperasikan.
- Penghapusan gedung bersejarah sebagai cagar budaya tak segan ia lakukan demi perluasan pembangunan mall milik swasta di kawasan Tujungan.
Kendati demikian kekaguman publik terhadap dia tidak berkurang. Ia bahkan dianggap sebagai sosok pejabat yang sesuai dengan harapan publik. Karena mampu menarik simpati publik melalui penampilannya dalam berbagai event dan moment yang tak pernah ia lewatkan. Artinya selama dua periode menjadi Walikota Surabaya, ia tiada hentinya selalu tampil dalam setiap event dan momen. Hebatnya ia bisa melakukan aksi apa saja agar memperoleh simpati publik. Menangis sesenggukan, marah-marah, mengambilalih tugas pasukan kuning dan pasukan PMK dengan menyapu jalanan tiap pagi atau menyemprotkan air dalam sebuah peristiwa kebakaran, tak segan-segan ia lakukan.
Begitu pula tak terhitung pernyataan yang ia sampaikan terhadap berbagai peristiwa meski tidak punya kapasitas untuk mengomentarinya. Bahkan sujud pun ia lakukan bukan hanya kepada Tuhan, melainkan juga kepada seorang dokter yang berani mengkritik kebijakannya menangani pandemi Covid-19.
Mengulang aksi-aksi
Karena itu tak heran jika sekarang ini sebagai pejabat yang naik kelas dari walikota menjadi Mensos, ia tak perlu menjalankan dengan benar tupoksinya. Ia hanya perlu mengulangi aksi- aksi yang telah membawanya pada “kesuksesan” sebagai Walikota Surabaya. Karena tampaknya ia ditunjuk menjadi Mensos adalah sebagai persiapan mengikuti Pilgub DKI Jakarta. Jadi sebenarnya blusukan menemui gelandangan yang ia lakukan pada 4 Desember lalu di kawasan Thamrin–Sudirman Jakarta yang sampai saat ini masih ramai dibicarakan di medsos itu, bisa saja adalah pengondisian bagi warga DKI menghadapi Pilgub mendatang. Yakni sebagai kampanye untuk mencitrakan dirinya kepada warga Jakarta, bahwa ia adalah sosok yang tepat memimpin Jakarta, terutama bagi warga yang miskin.
Melihat reaksi di medsos terhadap aksi Risma sebagai Mensos di Jakarta itu saya teringat reaksi publik di kalangan warga Kota Surabaya terhadap aksi-aksi serupa yang pernah ia lakukan selama menjabat sebagai Walikota Surabaya. Pada awalnya adalah ketika ia akan diturunkan oleh DPRD Kota Surabaya dari jabatannya yang baru saja didudukinya. Ia hanya bisa menangis sungguhan yang tampaknya bukan akting, terutama saat didemo oleh massa PDIP yang digerakkan oleh Bambang DH, Wakil Walikota Surabaya. Akan tetapi justru karena tangisnya itulah menimbulkan simpati publik termasuk petinggi DPP PDIP yang kemudian tergerak mengubah demo yang semula akan menurunkannya itu menjadi mempertahankannya, serta memaksa Bambang DH mengundurkan diri sebagai Wakil Walikota Surabaya dan menggantikannya dengan Whisnu Sakti Buana.
Berhala
Maka sejak saat itu dalam setiap kesempatan tampil di depan publik ia kerap menangis, yang ternyata cukup efektif mengundang simpati masyarakat yang masih suka pada hal-hal yang melodramatis, alias mudah bersimpati terhadap pihak yang dianggap lemah dan telah didholimi oleh pihak yang kuat. Namun dukungan dan simpati yang tiada henti dari publik terutama di medsos, ternyata telah menjadikannya semacam berhala yang harus selalu disembah, dipuja dan tak boleh disalahkan dalam segala hal. Sehingga meski banyak juga aksi-aksi yang dilakukan selama itu terlihat berlebihan dan bahkan tidak sesuai dengan ekspetasi publik, terutama aksi-aksi temperamentalnya, tak ada yang berani mengingatkannya.
Contohnya adalah aksinya yang terakhir, pada saat terjadi demo Omnibus Law beberapa saat yang lalu. Ia sempat ditertawai para pengunjuk rasa, karena ia datangi demo itu bukannya untuk berdialog dengan mereka, melainkan cuma memunguti sampah dan memarahi mereka karena dianggap telah membuat kotor jalanan. Begitu pula terhadap kebiasaannya marah-marah terhadap bawahannya di depan umum, sejumlah Camat yang sempat saya temui cuma bisa mengeluh sambil guyonan, bahwa selama di bawah kepemimpinan Walikota Risma, bagi mereka setiap hari adalah hari Senen alias “diseneni” (bhs Jawa: dimarahi)
Karena itu bagi warga Surabaya yang pada umumnya adalah pendukung Tri Rismaharini namun tidak punya hak pilih dalam Pilgub DKI Jakarta mendatang sebaiknya berdoa saja, semoga warga DKI Jakarta sama seperti warga Kota Surabaya pada umumnya, tidak kritis dalam menyikapi aksinya menuju kursi B – 1 itu.***
* Ferry Soe Pei’i, wartawan senior, mantan anggota DPRD Kota Surabaya, tinggal di Surabaya.