Rindu Jumatan dalam Kondisi Ekonomi Sulit
Ibadah puasa di tengah badai COVID-19 malah lebih asyik. Tidak lagi mikir terkena virus karena banyak tinggal di rumah. Sering cuci tangan, keluar halaman otomatis pakai masker dan nggak ada tamu.
Prinsipnya tidak boleh takut penyakit, tetapi jangan sampai tertular dan jangan menularkan, jadi kalau diniatkan jadi ibadah.
Sudah beberapa bulan, saya biasakan makan hanya 10 jam, 14 jam tidak makan. Kata dokter, itu terapi hidup sehat. Wallahu A’lam.
Karena puasa tinggal mengubah jam sesuai sara’. Biasanya jalan kaki atau trademill, karena puasa diganti tadarus. Tiga jam saya gunakan nulis buku karena kalau menulis saya merasa pikiran tenang.
Ketika istirahat, cape atau ngantuk, pikiran saya melayang kondisi ekonomi yang sulit, bagaimana kehidupan mereka yang kena PHK, pedagang asongan, kuli bangunan, pedagang keliling dan sejenisnya.
Sedih tidak bisa berbuat banyak untuk mereka yang susah. Kita sebaiknya disiplin ikuti protokol kesehatan agar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) segera dicabut dan ekonomi berputar lagi sebelum Idul Fitri.
Kita semua mungkin punya perasaan sama, rindu Shalat Jumat di masjid, terasa ada yang kurang dan mengganjal hati. Insya Alaah, tawakkal.
*) Dr KH As'ad Said Ali, pengamat sosial, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2015, Wakil Kepala BIN.
Advertisement