Ridwan Kamil, Dilema Jokowi di Jabar
Keputusan Partai Golkar mencabut dukungan kepada Ridwan Kamil (RK) sebagai cagub Jawa Barat (Jabar) memunculkan berbagai spekulasi dan pertanyaan besar, langkah politik apa yang sedang direncanakan dan dimainkan oleh Presiden Jokowi?
Pertanyaan tersebut wajar muncul karena beberapa faktor.
Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa RK merupakan calon yang didukung dan akan mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.
Kedua, Golkar baik pada saat dipimpin Setya Novanto maupun setelah dipimpin oleh Airlangga Hartarto secara bulat menyatakan akan mengusung Jokowi pada Pilpres 2019.
Sikap tersebut ditegaskan kembali dalam Munaslub Golkar yang kini tengah berlangsung (18-10/12). Dengan begitu seharusnya RK dan Golkar adalah sekutu, karena sama-sama menjadi pendukung Jokowi.
Ketiga, Jabar merupakan wilayah pertaruhan utama yang harus dimenangkan oleh Jokowi jika ingin pencalonanannya sebagai presiden untuk periode kedua, berjalan mulus. Bila kemudian RK batal maju pencalonan, siapa sebenarnya cagub yang didukung Jokowi?
Menghidupkan atau mematikan kartu RK?
Kedekatan RK dengan Jokowi sebenarnya telah terendus cukup lama. Ketika berlangsung hiruk pikuk Pilkada DKI 2017, RK sempat dielus-elus sejumlah partai untuk menjadi lawan tanding Ahok. Namun atas saran Jokowi, RK menolak. Sebagai imbalannya dia akan dicalonkan sebagai cagub Jabar.
Janji Jokowi kepada RK dipenuhi ketika Nasdem mengusung RK sebagai cagub. Sebagai imbalannya, dalam pakta integritas dengan Nasdem, RK sepakat akan memenangkan Jokowi di Jabar.
Posisi RK menjadi semakin kuat ketika PKB, PPP, dan kemudian Golkar mengeluarkan rekomendasi untuk mendukungnya sebagai cagub. Keempat partai tersebut adalah pendukung pemerintahan Jokowi. Khusus untuk Golkar adalah partai yang pertamakali deklarasi akan mengusung Jokowi.
Untuk mendukung RK, Golkar bahkan tega menyingkirkan Dedi Mulyadi calon internal yang nota bene adalah Ketua DPD Golkar Jabar.
Dengan komposisi dukungan seperti itu posisi RK sangat kuat. Semua sumber daya yang dimiliki Jokowi dikerahkan untuk RK. Partai pendukung RK , total memiliki 38 kursi di DPRD Jabar. Nasdem (5), PKB (7), PPP (9), dan Golkar (17).
Secara kalkulasi matematis RK merupakan cagub terkuat. Jadi misi untuk mengamankan Jokowi sudah setengah berhasil.
Indikasinya setidaknya bisa terlihat dari tiga hal. (1) Berbagai survei menunjukkan elektabilitas RK selalu teratas. (2) Dari sisi finansial, RK juga cagub paling tajir. Alat peraga kampanyenya paling massif dan sudah tersebar di seluruh wilayah Jabar. (3) Jumlah dukungan partai terbesar.
Poin ketiga ini selain menunjukkan secara politis RK sangat kuat, sekaligus penegasan bahwa dia didukung modal yang berlimpah. Sudah menjadi rahasia umum bila dukungan parpol erat kaitannya dengan mahar politik. Makin banyak jumlah kursinya, makin mahal maharnya.
Ketika kemudian Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga menganulir keputusan dukungan kepada RK, menjadi pertanyaan besar apa yang sedang terjadi? Apakah Jokowi berubah pikiran karena kalkulasi politik di Jabar juga berubah?
Apalagi PPP dan PKB kemudian juga ramai-ramai mengancam akan menarik dukungannya dari RK.
Secara logika politik, kendati ada dinamika internal, tidak mungkin Golkar berani mengambil keputusan politik sendiri yang bertentangan dengan kepentingan politik Jokowi. Begitu juga halnya dengan PPP dan PKB.
Jabar bagi Jokowi benar-benar merupakan kantong suara yang harus dimenangkan. Dengan total pemilih sebanyak 34 juta atau sekitar 19 persen dari pemilih nasional, apapun caranya, dan berapapun biayanya, harus dimenangkan.
Betapa seriusnya Jokowi menggarap pasar Jabar bisa terlihat dari tingginya frekuensi kunjungannya ke tlatah Priangan itu. Dalam situs http//presidenri.go.id tercatat Jokowi sudah 71 kali berkunjung ke Jabar. Tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Dalam tiga bulan terakhir Jokowi bahkan tercatat 4-5 kali blusukan ke Jabar. Boleh dibilang hampir setiap pekan Jokowi bertandang ke Jabar.
Dalam satu, dua hari ke depan kita akan mendapat kepastian, apakah PPP dan PKB benar-benar jadi menarik dukungan ke RK. Bila itu terjadi, maka karir politik RK akan tamat. Sebaliknya bila PPP dan PKB tetap bertahan, maka RK akan tetap maju, tapi tidak lagi mendapat dukungan politik sepenuhnya dari Jokowi.
Dengan konstelasi terjadinya pembelahan politik yang sangat dalam di tengah masyarakat, RK tampaknya menjadi dilema politik bagi Jokowi.
Pertama, Jika terus mendukung RK maka Jokowi akan menghadapi oposisi yang sangat kuat di Jabar, terutama dari kalangan umat Islam. Posisi ini jelas tidak menguntungkan Jokowi bila ingin merangkul kalangan umat di perkotaan yang sangat kritis terhadapnya.
Sebuah survei yang digelar Instrat pada awal Desember menemukan fakta bahwa 36 persen warga Jabar mendukung Aksi 212, sementara yang menolaknya hanya 26 persen.
Citra RK yang terasosiasi dengan Ahok juga sangat kuat. Apalagi menjelang Reuni Alumni 212, RK menyampaikan pernyataan yang terkesan menentang kegiatan tersebut. Dia mempertanyakan apa urgensi acara tersebut, karena Ahok juga sudah mendapat hukuman. Pernyataan RK tersebut segera mengundang reaksi negatif di dunia maya.
Dengan konstelasi ini RK menjadi beban politik bagi Jokowi untuk memenangkan Jabar. Karena itu akan lebih menguntungkan bagi Jokowi untuk mencari kandidat lain yang citranya lebih bersahabat dengan umat.
Diantara calon yang ada, figur Deddy Mizwar menjadi pilihan yang paling rasional. Demiz mempunyai kedekatan dengan umat dan juga pendukung Aksi 212. Jokowi sebenarnya sudah berkali-kali mencoba mendekati Demiz dan menawarkan dukungan. Namun Demiz ternyata lebih memilih bergabung dengan PKS-Gerindra.
Dengan pecahnya kongsi Demiz -Gerindra, maka peluang Jokowi untuk merangkulnya, kembali terbuka. Apalagi Demiz kemudian menjadi kader Partai Demokrat yang melihat gelagatnya sedang mencoba mendekati Jokowi.
Sebagai kader yang terikat pakta integritas untuk memenangkan Demokrat pada pemilu legislatif dan mendukung capres yang diusung, otomatis Demiz juga harus mendukung Jokowi bila partai besutan SBY itu berkoalisi dan mengusungnya.
Demiz saat ini juga terancam kehilangan tiket, bila PKS balik kanan dan CLBK (cinta lama bersemi kembali) dengan Gerindra. Ini peluang bagus Jokowi untuk menyelamatkan Demiz. Jokowi bisa memerintahkan partai pendukungnya (PPP dan PKB) putar haluan mendukung Demiz.
Kedua, Jika memutuskan meninggalkan RK, maka Jokowi akan kehilangan dukungan dari seorang kandidat yang mempunyai potensi memenangkan kontestasi. Seperti telah disebutkan sebelumnya RK mempunyai tingkat elektabilitas paling tinggi. Dia tinggal mencari pasangan cawagub yang tepat dan dapat mendongkrak perolehan suaranya.
Jokowi juga akan kehilangan pasar kelompok nasionalis, karena dinggap terlalu jauh berbelok ke “kanan.”
Dengan kalkulasi semacam itu Jokowi harus benar-benar cermat untuk memutuskan pilihan. Untuk tahap awal targetnya membuat lapangan pilkada Jabar menjadi “ becek” sudah sangat berhasil.
Umat belum berhasil melakukan konsolidasi politik. PKS-Gerindra yang diharapkan menjadi sekutu dan kembali mengulang kemenangan di DKI berhasil dipecah.
Sejak awal Jokowi tidak menginginkan pertarungan head to head yang berdarah-darah model Pilkada DKI 2017. Karena itu calon yang tampil harus lebih dari dua pasang.
Tingginya frekuensi blusukan, membuat elektabilitas Jokowi di Jabar sudah berhasil mengungguli Prabowo.
Jokowi tinggal memberi sentuhan akhir untuk memenangkan Pilpres 2019. Jabar akan menjadi indikator penting apakah skenarionya bisa berjalan dengan baik, atau malah berantakan.
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Advertisement