Ribuan Anak jadi Yatim akibat Pandemi, India Lakukan Ini
Sedikitnya 7.400 anak di India kehilangan salah satu orang tuanya selama pandemi, sebanyak 1.700 anak yatim piatu, dan lebih dari 140 anak ditelantarkan orang tuanya, per Juni 2021. Pemerintah India memberikan bantuan khusus bagi anak-anak yang menjadi yatim akibat pandemi. Para pakar juga mengingatkan kondisi yang harus diatasi oleh pemerintah dan publik, atas fenomena banyaknya anak yatim akibat pandemi.
Bantuan Pemerintah India
Data jumlah anak yatim piatu tersebut dirilis oleh Komisi Nasional Perlindungan Hak Anak (NCPCR) di India. Perdana Menteri Narendra Modi kemudian mengeluarkan sejumlah langkah membantu anak yatim piatu, dan yang ditelantarkan orang tuanya.
Salah satunya adalah bantuan uang senilai 1 juta rupee atau sekitar Rp 195 juta, dalam bentuk tunjangan yang diberikan pada anak usia 18 tahun hingga 23 tahun. Dana dibagikan lewat skema tunjangan yang disebut PM-CARES.
Selanjutnya, pemerintah negara bagian juga melakukan sejumlah inisiatif untuk membantu anak yatim piatu. Bantuan diberikan sesuai kemampuan dan kondisi pemerintah daerah masing-masing.
Kesulitan Anak Yatim
Namun, bantuan keuangan yang diberikan pmerintah dipandang tidak menjamin kesejahteraan anak-anak terdampak pandemi. Sebab, pada banyak kasus, bantuan bagi anak-anak sering terkendala birokrasi.
Banyak bantuan kesejahteraan sosial sebelumnya, tak sampai di penerimanya karena rumitnya birokrasi.
Panti Asuhan Jadi Pilihan Akhir
Sejumlah aktivis juga menyampaikan agar pengasuhan anak yatim piatu tidak segera diserahkan pada panti asuhan. Kerabat terdekat dinilai lebih aman dan cocok memberikan perlindungan pada anak yang menjadi yatim akibat Covid-19.
Selain karena dikhawatirkan memunculkan stigma, menurut para aktivis, anak-anak di panti asuhan sering dilupakan, baik dalam hal bantuan pemerintah ataupun dalam hal inisiatif pembangunan, dilansir dari dw.com, pada Minggu 24 Juli 2021.
"Mereka ke dalam kategori ‘anak yatim piatu Covid' dan akan distigmatisasi. Tetapi sebelum itu, mereka harus membuktikan bahwa orang tua mereka meninggal karena Covid untuk mendapat bantuan. Bisakah Anda bayangkan betapa sulitnya situasi mereka?” kata Enakshi Ganguly, salah satu pendiri Pusat Hak Anak HAQ, kepada DW.
Adopsi dan Trauma
Selain itu, para pakar juga menyerukan adanya kesadaran hukum dalam proses adopsi. Anak yatim piatu yang jumlahnya banyak akan mendorong lahirnya keinginan dan kesadaran publik untuk adopsi.
Namun sosialisasi terkait aturan hukum adopsi juga dibutuhkan, sehingga mencegah terjadinya praktik penyalahgunaan jual beli anak-anak.
Pakar juga mengingatkan adanya trauma healing dan konseling yang harus dilakukan pada anak-anak yang menjadi yatim akibat Covid-19. (Dwc)