RI Milik Bersama, Haedar Tak Rela Ada yang Mengaveling Sendirian
Muhammadiyah telah ikut berperan dalam pembentukan Republik Indonesia cukup dominan lewat puluhan kadernya. Seperti Ir. Soekarno, Soedirman, Ir. Djuanda, Ki Bagus dan lain sebagainya. Meski begitu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mewanti-wanti agar setiap warga Muhammadiyah mawas diri dan insaf bahwa Indonesia lahir dari perjuangan semua golongan, agama, dan keyakinan.
Haedar mengingatkan hal ini karena melihat semakin mengkhawatirkannya fenomena polarisasi primordial berbasis kelompok yang saling menegasikan di dalam kehidupan kebangsaan.
“Sebuah kelompok entah latar belakang agama atau entah yang lain ketika dia berambisi besar untuk menguasai negara, intinya bahwa sebuah golongan ingin menguasi negara termasuk di dalamnya memaksakan mazhabnya nanti akan terjadi mihnah (ujian) ala sebuah negara modern.
"Saya pikir ini juga tidak boleh terjadi di mana nanti akan ada kekuatan golongan yang merasa paling Indonesia, merasa Indonesia miliknya, merasa kementerian miliknya, merasa apapun menjadi miliknya. Dan kita pun tidak boleh seperti itu,” tegas Haedar dalam konsolidasi kebangsaan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di Dome UMM, belum lama ini.
Waspadai Aspirasi Primordial
Haedar Nashir menilai kecenderungan itu muncul karena aspirasi primordial dari setiap kelompok yang saling berlomba-lomba dan berebut untuk memperoleh sumber daya, eksistensi dan aktualisasi. Jika keragaman ini tidak bisa dikelola dengan baik, termasuk tidak adanya sikap kenegarawanan, Haedar khawatir pada akhirnya yang terjadi adalah konflik ideologi atas nama primordialisme dan gangguan bagi proyeksi masa depan Indonesia.
“Ketika sebagian karena bias di dalam mengaktualisasikan dan mengkonsteksutalisasikan ideologi politik keagamaan, ada sekelompok umat beragama, mungkin kecil, yang tidak puas dengan keadaan lalu ingin menghadirkan model negara berdasar sistem agama, itu bisa menjadi titik bagi terpecahnya kebersamaan bahkan menjadi ancaman bagi ideologi dasar Pancasila,” jelas Haedar.
“Tapi juga pada saat yang sama ketika ada pandangan, ideologi entah yang basisnya ideologi sekuler, liberal, komunis, kapitalisme atau apapun, bahkan nasionalisme yang boleh jadi kebablasan atau bersifat ultra, maka juga desain Indonesia ke depan jangan sampai dikonstruksi sebagai negara sekuler, negara yang berpaham pada ideologi berlawanan pada sejatinya Pancasila,” imbuhnya.
“Jika percikan-percikan ini tidak dikelola dengan baik dan tidak memperoleh posisi dalam sistem konstruksi dan hukum, maka juga akan menjadi peluang bagi disintegrasi (Indonesia),” tegasnya.