Revolusi Warna?
Menikmati semilir angin sore hari sambil nyerutu sisa kemarin dan nyeruput kopi hitam tanpa gula di halaman belakang rumah. Pikiran terasa tenang sekilas terbayang informasi via telfon tadi pagi dari teman sesama mantan telik sandi dari Malaysia.
Ia menceritakan oposisi berseragam “kaos kuning" yang menjatuhkan PM Najib Tun Razak yang berkuasa dari 2009 - 2018. Ia jatuh atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (atas kasus) korupsi. Kawan Malaysia tersebut menjelaskan bahwa Revolusi Kuning Malaysia merupakan bagian “Revolusi Warna" atau "Revolusi Bunga”. Najib Tun Razak dianggap oleh AS sebagai penerus Mahathir Mohammad yang kritis terhadap posisi AS di Asia Tenggara.
Pikiran saya menerawang ke situasi menjelang Pilpres 2024: Indonesia yang mempunyai nilai strategis dari aspek geopolitik-ekonomi- sosial-budaya-ideologi, logis jika Amerika Serikat dan negara besar lainnya seperti RRC misalnya berkepentingan atas kebijakan pemerintah baru Indonesia. Selama satu dekade lalu AS menganggap Indonesia condong ke RRC. Terus terang saya khawatir ... terjadi Revolusi Warna atau Revolusi Bunga.
Melihat ke belakang menjelang jatuhnya Bung Karno dan tampilnya Pak Harto, Letjen Ali Murtopo sebagai operator politik Orba pada waktu itu mencetuskan “teori pendulum” bahwa bandul politik Indonesia akan berayun ke arah Barat. Dan dalam rangka menggerakkan pendulum baru tersebut Pak Ali membentuk CSIS. Dengan pengalaman sejarah masa lalu, penting bagi bangsa ini untuk menjaga momentum Pilpres agar tidak menjadi ajang pertarungan global. Meskipun ini mustahil, namun setidaknya para kontestan Pilpres mampu menjaga independensinya, agar sejarah tidak berulang.
Duduk Santai
Duduk santai mengenakan sarung di ruang tengah rumah peninggalan orangtua di Kudus. Saya teringat ketika salat Jumat, pertama kali di Damaskus, Syria bersama dua anak lelaki saya. Sejak memasuki ruang utama masjid saya merasa mendapat perhatian jamaah mungkin karena orang asing.
Begitu khutbah dan salat selesai, takmir masjid memberi salam dan izin minta bicara. Beliau menanyakan tentang pakaian yang saya pakai. Secara singkat saya jelaskan bahwa umumnya orang Indonesia mengenakan sarung kalau beribadah di masjid. Takmir masjid dengan sangat ramah khas orang Syria, menyarankan saya lain kali jangan dipakai untuk salat di masjid: "Meskipun sah untuk salat, tetapi dianggap menganggu konsentrasi jamaah lain karena pakaian Anda dianggap aneh yang jarang mereka lihat".
Saya pun mengiyakan apa yang dikatakan oleh takmir masjid dan saya kemudian diperkenalkan takmir masjid lainnya dan imam masjid yang menyambut saya secara familier. Benar kata kiai yang mendidik saya ketika masih kanak-kanak hingga remaja di Madrasah Ibtidaiyah -- MI Maarif NU -- suatu dalil “Al ‘aadah muhakamah”. Adat kebiasaan menjadi bagian dari hukum, wajar kalau saya tidak membantah permintaan takmir masjid.
DR KH As'ad Said Ali
Mantan Wakil Kepala BIN, Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.
Advertisement