Revolusi Bunga dalam Pilpres 2024, Mungkinkah?
Istilah “revolusi bunga" adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan campur tangan politik Amerika Serikat pasca-ambruknya Uni Soviet (USSR) yang kemudian pecah menjadi 15 negara. Tujuannya adalah mempengaruhi orientasi politik negara pecahan USSR dengan cara mempengaruhi proses Pilpres. Tentu saja revolusi bunga tersebut bertujuan membumikan “Demokrasi Liberal ala Amerika”.
Di Georgia, Revolusi Bunga disebut dengan “Rose Revolution" terjadi pd 2003, di Ukraina yang dikenal dengan “Orange Revolution" pada 2004 dan di Kyrgystan “Tulip Revolution" pada 2005. Dan di Asia-Afrika dikenal dengan “Arab Spring” yang didahului dengan gelombang aksi “terorisme international" yang didesain oleh Amerika Serikat seperti yang berlangsung di Iraq, Syria, Libya, Mesir, Yaman dan sebagainya.
Di Afghanistan, AS berhasil mendirikan negara "demokrasi ala Amerika" dari 1991 - 2021. Ketika pasukan AS mundur, Taliban mendirikan “Emirad Islam Afganistan/EIA". AS dan Barat tidak mengakui EIA dengan berbagai alasan khususnya tuduhan pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap perempuan. Dunia internasioal juga acuh terhadap penderitaan rakyat Afghanistan yang dikucilkan dari pergaulan dunia tanpa memperhatikan kondisi internal dan budaya bangsa tersebut. Bahkan dunia menutup mata atas permintaan EIA agar mencairkan dana negara tersebut yang disimpan di bank di AS.
Mungkinkah “Revolusi Bunga" terjadi di Pilpres 2024. Jawabnya tergantung sepenuhnya kepada bangsa Indonesia terutama para elite politiknya. Pokok persoalannya adalah “apakah kita ingin menegakkan demokrasi berdasarkan Pancasila” sesuai dengan nilai peradaban kita ataukah akan menyontek demokrasi ala Amerika/Barat yang mengandung kontradiksi dengan nilai budaya kita?
Revolusi Bunga mempunyai peluang terjadi di Indonesia khususnya karena kurang dalamnya pemahaman kita dalam menjabarkan demokrasi dalam konteks “Pancasila” khususnya Sila Keempat. Pasal 28 UUD 2002 yang mengadopsi penuh “Universal Declaration of Human Rights", namun sayang, tanpa disertai pasal yang bisa digunakan secara efektif untuk memfilter aspek negatif dari penerapan HAM Barat di negara kita. Secara tidak disadari bahwa Indonesia telah terjebak ke dalam perangkap sistem demokrasi ala Neo- Liberalisme, meskipun belum terlambat untuk mengoreksinya.
Vital Interest
Di samping itu dalam 10 tahun terakhir ini ada kesan dari Amerika Serikat/Barat bahwa politik luar negeri Indonesia cenderung lebih dekat ke RRC. Memang investasi dan hubungan dagang serta tenaga kerja RRC, dalam hal ini AS jauh tertinggal dibanding dengan RRC. Tetapi kekhawatiran Indonesia atas dominasi RRC di Laut China Selatan merupakan faktor penting atau “Vital Interest” bagi Indonesia sehingga kecil kemungkinan Indonesia menjadi satelit RRC. Sebagai eksponen Non-Blok dan pengalaman sejarah campur tangan politik RRC dan AS di bumi Indonesia dan makna kemerdekaan dalam alinea pertama UUD 1945 bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa“, maka terasa aneh Indonesia berada di bawah pengaruh politIk AS/Barat atau pengaruh RRC.
Apalagi kecenderungan Pilpres 2024, berdasarkan konfigurasi tiga pasangan capres dan cawapres yang menggambarkan “politik keseimbangan" antara AS/Barat vs RRC. Sebagai contoh pasangan Anis Baswedan - Muhaimin Iskandar (AB-MI). Meskipun AB dekat AS, tetapi MI cenderung nasionalis-tradisionalis. Capres Prabowo Subianto lebih dekat ke AS, tetapi saya yakin kadar nasionalisme beliau yang kuat akan mendorongnya untuk memilih wapres yang menopang citra Indonesia sebagai eksponen Non-Blok.
Demikian juga capres Ganjar Pranowo yang karena orientasi politik PDIP dianggap oleh sebagian kalangan khususnya AS condong ke RRC, kalau desas-desus cawapresnya adalah Mahfud MD benar menjadi realitas, maka akan menjadi penyeimbang terhadap pengaruh RRC.
Dalam hal ini suatu hal harus menjadi perhatian serius adalah, apakah Revolusi Bunga tersebut bersifat damai. Ataukah Revolusi Bunga yang mengandung unsur kekerasan seperti di Kirgystan dan Arab Spring.
Sebagai catatan kita semua bahwa Revolusi Bunga merupakan perang yang digelar oleh AS tanpa menggunakan “pasukan dan senjata” sejak pasca-Perang Dingin. Berdasarkan pengalaman, sekali terjadi Revolusi Bunga, apalagi terjadi kekerasan maka ancaman terorisme akan meningkat sebagai antitesis terhadap demokrasi ala Neo-Liberalisme . Awas dan Waspadalah!
DR KH As'ad Said Ali
Mantan Wakil Kepala BIN, Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027, tinggal di Jakarta.