Revisi Kedua UU-ITE 2023 Dalam Pandangan Roy Suryo
Rapat Paripurna DPR-RI telah mengesahkan revisi UU ITE No 19/2016 menjadi UU. Ini merupakan revisi ke-2 setelah revisi pertama tahun 2016 lalu (dari aslinya UU ITE No 11/2008).
Menurut resume yang dibacakan oleh Abdul Kharis Almasyhari dari Komisi I DPR RI selaku tim penyusun, setidaknya terdapat 20 (konsideran revisi dari UU yang sebelumnya).
Pemerhati Telematika & Multimedia Independen, Roy Suryo melihat revisi ini nyaris tidak akan terlalu berpengaruh karena meski ada pengurangan pasal, tetapi banyak juga penambahan ayat-ayat di pasal-pasal lainnya.
Padahal, saat ini sudah disahkan juga KUHP Baru yg di dalamnya memuat point-poin dalam UU ITE sebelumnya, bahkan ada yang sudah dihapus.
"Secara objektif saya mengapresiasi penambahan Pasal 16A dan 16B yg ditujukan untuk perlindungan kepada anak-anak dalam mengakses teknologi informasi. Meski penambahan pasal ini terkesan di luar ranah UU ITE," ujar Roy, secara tertulis di Jakarta, 7 Desember 2023.
Kalau harus menunggu UU dari Kementerian lain (yang mengurusi soal anak) dinilai terlalu lama dan bisa tidak sinkron dengan UU ITE yang dibuat saat ini.
Tetapi sebaliknya, Roy justru mempertanyakan perubahan-perubahan Pasal 27 dan 28 yang tampaknya dikurangi, tetapi ditambahi lagi dengan ayat-ayat lain. Bahkan ada tambahan ayat 3 soal kerusuhan yang ditimbulkan (sebagai pengganti dari aturan sejenis di Pasal 15 UU No 1 tahun 1946).
Dengan demikian revisi-revisi di dua pasal ini malah akan menimbulkan multitafsir (baca: selera) aparat hukum dalam mengartikan UU ITE yang sampai sekarang tidak ada standardisasinya.
Hal yang lebih lucu (alias aneh) ada di revisi Pasal 40a, di mana diperkenankannya intervensi pemerintah dalam melakukan koreksi sampai pemutusan akses. Bahkan di Pasal 43 sekarang dimungkinkan Penutupan Akun secara sepihak bilamana dinilai melanggar. Hal ini sangat dikhawatirkan banyak terjadi dispute, karena persepsi seseorang dengan orang lain pasti tidak akan sama (apalagi jika terdapat perbedaan pandangan politik).
Selanjutnya adalah dimungkinkannya seseorang tidak ditahan dengan Pasal 45 yang biasanya digunakan selama ini bilamana bisa menyampaikan 'syarat-syarat tertentu'.
"Sekilas tambahan-tambahan keterangan di pasal ini tampak bagus untuk melindungi masyarakat, namun saya mengkhawatirkan justru besok-besoknya dapat digunakan sebagai bargain dalam menentukan nasib seseorang yang akan dikenakan pasal tersebut karena perbedaan persepsi terhadap peristiwa yang dilakukannya," papar Roy.
"At last but not least, saya tidak mengomentari beberapa revisi mikro dari UU ITE ini, misalnya soal sertifikasi elektronik di Pasal 13 yang menghilangkan kemungkinan sertifikasi asing, karena memang sudah seharusnya demikian. Juga dengan berlakunya KUHP yang baru, banyak juga poin-poin dalam UU ITE ini yang sudah diadopsi di dalamnya, bahkan sebagaimana saya sebut di awal tulisan, beberapa di antaranya sudah dihapus," tambahnya.
Meskipun Roy mengapresiasi Komisi I dan Baleg DPR RI yang sudah berusaha melakukan revisi, Namun, ia mempertanyakan apakah revisi UU ITE saat ini akan membuat cemerlang dan jelas aplikasi UU tersebut di masyarakat, atau malah membuatnya "ambyar" (pecah, tidak fokus), sehingga menimbulkan multipersepsi bagi pelaksanaan di lapangannya.
"Time will tell, kita tunggu saja," ujar Roy, dewan pakar penyusun UU ITE versi pertama (UU 11/2008) dan versi kedua (UU 19/2016) ini.