Reuni Alumni 212, Mengkhawatirkan?
Reuni Alumni 212, kata Kapolri Jenderal Tito Karnavian, urusannya tak jauh-jauh dari politik 2018, dan 2019. Yang dimaksud Tito pasti pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2018, dan pemilihan presiden 2019.
Tito tidak salah, dan alumni 212, jika benar punya tujuan politik, juga tidak salah. Dalam negara demokrasi, mengusung agenda politik, selama masih dalam koridor hukum, undang-undang, dan peraturan yang berlaku, boleh-boleh saja.
Kebebasan mengekspresikan pikiran dan perasaan, adalah salah satu fitur utama di negara demokrasi. Bila hal itu dibatasi, dilarang, bahkan dikriminalisasi, namanya bukan demokrasi, tapi tirani.
Polisi, politisi, bahkan presiden tidak perlu baperan, apalagi sampai membuat penilaian terhadap mereka yang berkumpul di Monas sebagai kelompok intoleran, apalagi anti NKRI.
Kalau mau bersaing, lakukan secara fair. Tidak perlu membuat stigma buruk terhadap kelompok lain. Itu namanya black campaign. Sebuah perilaku buruk yang membuat politik menjadi brutal, menghalalkan segala cara.
Kalau mau sedikit berkelas, dan elegan, cukup lakukan negative campaign.
Menjelek-jelekkan kelompok lain, tidak berdasarkan fakta adalah bentuk black campign yang merusak demokrasi. Sebaliknya negative campign adalah sebuah seni yang dalam bela diri sering disebut sebagai serangan mematikan “meminjam tenaga lawan.”
Afiliasi berdasarkan kelompok, kesamaan pandang, bahkan kesamaan agama, juga dijamin undang-undang. Jadi santai sajalah. Meminjam ucapan legenda bola basket Michael Jordan “Just play. Have fun. Enjoy the game.”
Supaya permainan enak ditonton, sebagai “wasit,” polisi tinggal menegakkan aturan. Yang salah tinggal disemprit. Kalau perlu beri kartu kuning, atau kartu merah. Yang tidak boleh, bila wasit berpihak, atau malah ikut bermain mendukung sebuah tim.
Suporter bisa marah, melihat wasit yang curang. Suasana bisa tambah kacau bila wasit yang panik malah memberi kartu merah kepada penonton yang protes. Pertandingan tidak lagi menarik. Kacau balau.
Wasit juga tidak boleh ikut-ikutan jadi komentator dan menganalisa jalannya pertandingan. Serahkan hal itu kepada pengamat yang sering lebih pintar dibanding para pemain. Wajar bila Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengingatkan Kapolri tidak usah membuat analisis politik.
Di dunia ini apa siy yang tidak ada urusannya dengan politik. Naik turunnya harga beras saja berkaitan dengan politik. Memilih ketua RT dan RW juga politik. Apalagi urusan memilih seorang pemimpin ibukota dan kepala negara. Jadi kalau ada yang memandang secara sinis reuni alumni 212 sebagai gerakan politik, ya sangat naif.
Bagaimana kita membaca dan menafsirkan reuni atau temu kangen para alumni 212 di Monas, Sabtu (2/12).
Pertama, besarnya massa yang hadir di Monas menunjukkan soliditas muslim di perkotaan ternyata tetap terjaga. Dinamika politik yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir, termasuk perpecahan koalisi PKS-Gerindra di Pilkada Jawa Barat, ternyata tidak berpengaruh. Mereka masih tetap kompak.
Ketika seruan tiba, mereka berbondong-bondong memenuhi panggilan dan kembali membuat lapangan Monas menjadi lautan putih. Suasananya seperti jemaah haji yang bergerak menuju Ka'bah sambil menyeru Labaik, Allohuma Labaik.....Bikin merinding, kata mereka yang hadir.
Banyak diantara yang hadir ternyata sudah lama menanti-nantikan pertemuan semacam itu. Kata orang Jawa ngangeni.
Bagaimana tidak kangen? Aksi 212 menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia bisa bersatu, tanpa memandang perbedaan-perbedaan kecil yang sering disebut sebagai khilafiyah. Perbedaan pilihan partai politik juga dikesampingkan untuk sebuah tujuan yang lebih besar.
Kedua, umat Islam bukanlah buih seperti banyak digambarkan oleh beberapa pihak yang sinis, termasuk dari kalangan internal sendiri. Terbukti ketika mereka bersatu figur sekelas Ahok yang ditopang oleh pendanaan besar, kekuatan politik besar, bisa dikalahkan.
Ahok yang sering digambarkan oleh berbagai lembaga survei memiliki kepuasaan sangat tinggi, elektabilitas sangat tinggi, dibuat termehek- mehek. Ahok kalah telak dengan selisih suara yang sangat besar.
Bisa dibayangkan bila kekuatan dan semangat Aksi 212 bisa tetap terjaga dan dikapitalisasi menuju pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Siapapun kandidat baik pada pilbup, pilgub, maupun pilpres yang berada pada satu kubu dengan Ahok, didukung oleh kekuatan dana dan partai politik yang sama dengan Ahok, wajib merasa khawatir.
Ketiga, reuni 212 menunjukkan GNPF telah menjadi pressure group yang kekuatannya melampui partai politik manapun.
Sepanjang sejarah Republik ini berdiri, belum pernah ada parpol maupun ormas yang bisa mengumpulkan massa sebesar Aksi 212. Dahsyatnya, kemampuan itu bisa diulang lagi dalam sebuah reuni.
GNPF menjadi sebuah muara yang menampung berbagai aliran sungai kepentingan politik di kalangan umat.
Keempat, tampaknya ini yang paling penting dan menjadi roh dari Aksi 212, maupun reuninya, adanya kesadaran bersama sebagai kekuatan terbesar, sudah waktunya umat Islam bangkit merebut kekuasaan ekonomi, politik, sosial, budaya melalui jalur konstitusional.
Semua itu hanya bisa dilakukan bila mereka bersatu padu, menghimpun kekuatan, tanpa memandang perbedaan-perbedaan kecil yang selama ini sering diributkan.
Setidaknya empat alasan itulah yang tampaknya membuat banyak kalangan khawatir melihat elemen Aksi 212 berkumpul kembali dalam sebuah reuni akbar. Sebuah reuni yang akan selalu ditunggu-tunggu sebagai sebuah event tahunan yang bikin kangen. End
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik