Restorative Justice Tak Bisa Diterapkan untuk Perkosaan
Kejaksaan Agung menyebut kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual termasuk juga eksploitasi seksual tak bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice). Alasannya, kasus-kasus pemerkosaan, pelecehan seksual termasuk di dalamnya eksploitasi seksual telah menimbulkan efek traumatis berkepanjangan terhadap korban. Juga berdampak luas kepada masyarakat.
Pernyataan ini menanggapi dugaan praktik jual beli pemberlakuan restorative justice dalam kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).
Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menjelaskan, tak semua kasus bisa dilakukan restorative justice. Melainkan, hanya kasus tertentu dan ada standar yang bisa dilakukan restorative justice.
Ketut menjelaskan restorative justice dapat diterapkan dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020. Batasan itu antara lain pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis), ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun, kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000 dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat.
"Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif," kata dia seperti dikutip dalam keterangan yang diterima Ngopibareng.id.
Tujuan akhir dari penerapan keadilan restoratif (restorative justice) oleh Kejaksaan, ini adalah adanya perdamaian dari kedua belah pihak. Korban dan keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana. Namun, sekali lagi ada limitasi yang harus dipatuhi untuk menerapkan restorative justice.