Restorative Justice dari Padang Lawas
Oleh: Djono W. Oesman
Penegakan hukum Indonesia berubah. Dari efek jera, ke restorative justice. Dodi Pratama, 22, mencuri uang ibunya, Elida Siagian, 49, Rp20,5 juta. Dipolisikan, Dodi ditahan. Lalu, Elida mencabut laporan. Dodi pun dibebaskan.
------------
Padahal, pencurian merupakan delik hukum biasa. Bukan delik aduan. Pencabutan laporan, tidak otomatis menghentikan proses perkara.
Tapi, "Kami memakai pendekatan restorative justice," kata Kepala Kejari Padang Lawas Utara (Paluta) Sumatera Utara, Andri Kurniawan kepada wartawan, Senin, 31 Januari 2022.
Sehingga perkara hukum ditutup. Selesai. Dodi dibebaskan hari itu juga.
Sedangkan, Dodi sudah menjalani masa tahanan dua bulan. Sebagai tahanan polisi dan tahanan Kejaksaan.
Soal dua bulan Dodi ditahan, ibunya bilang: "Biarlah penahanan dua bulan itu jadi pelajaran buat anak saya. Biar ia tobat, jera. Biar tidak begitu lagi."
Maka, Elida menerapkan dua konsep hukum sekaligus: Efek jera dan restorative justice. Yang kini dalam transformasi penerapan di Indonesia. Sejak Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencanangkan restorative justice, setahun lalu.
Di zaman sebelum Kapolri Listyo, perkara pencurian tidak mungkin dihentikan. Meski pelapor mencabut laporan.
Tentang ini, Kajari Paluta, Andri Kurniawan kepada pers mengatakan: Penerapan restorative justice kasus ini, mempertemukan pelaku dengan korban. Disaksikan penegak hukum.
Korban mengaku ikhlas atas kejadian pencurian. Pelaku tulus, meminta maaf kepada korban. Penegak hukum (dalam restorative justice) otomatis menghentikan perkara hukum.
Jaksa Andri: "Lagian, mana ada ibu memenjarakan anak?"
Restoratif justice bisa diterapkan, selain memenuhi syarat tersebut, juga khusus Tipiring (Tindak Pidana Ringan) dengan ancaman hukuman lima tahun penjara ke bawah.
Kapolri Jenderal Listyo Sigid Prabowo, dalam pengumuman akhir tahun lalu, menyatakan, Polri sudah menerapkan restorative justice sebanyak 11.811 kasus sepanjang 2021. Belasan ribu tersangka dibebaskan.
Jika angka itu dikalkulasi, penyelesaian restorative justice ketemu rata-rata, setiap satu jam dua puluh menit, Polri membebaskan tersangka, sepanjang tahun 2021.
Target restorative justice tahun 2022, menurut Kapolri, sekitar 22.500 perkara. Atau hampir dua kali daripada capaian di tahun 2021.
Atau, rata-rata setiap empat puluh menit, seorang tersangka (atas nama restorative justice) dibebaskan, sepanjang tahun 2022. Di saat kita tidur pun, para tersangka dibebaskan, setiap empat puluh menit.
Bisa dibayangkan, berapa biaya yang dihemat negara, yang mestinya untuk membiayai tahanan dan narapidana. Selain dari kapasitas penjara yang kini sudah berjejal, itu.
Terus, ke mana perginya hukuman? Bukankah, kata dasar hukuman adalah hukum? Yang berarti di semua kasus hukum, pasti ada yang kena hukuman?Bukankah, mata harus dibayar mata? Ke mana harapan efek jera, seperti kata Elida Siagian?
Dikutip dari Scottis Government (milik pemerintah Skotlandia), 13 Oktober 2020, bertajuk "Physical Punishment and Discipline of Children: How the Law is Changing?", diurai begini:
Pendidikan hukum dimulai dari masa kanak-kanak. Jika salah arah, maka salah persepsi, akhirnya salah semua.
Per 7 November 2020 Pemerintah Skotlandia menerapkan aturan: Pendidikan anak (oleh orang tua atau wali) yang menerapkan pukulan fisik, walau sangat lemah (kadarnya diukur hakim), adalah pelanggaran hukum.
Pelaku (orang tua atau wali) akan dikenakan pasal penganiayaan sebagaimana terhadap orang dewasa.
Disebutkan, jika Anda menghentikan anak Anda dari bahaya, Anda melindungi mereka.
Misal, Anda menarik anak Anda keluar, karena ia bermain di tengah jalan yang sibuk, berarti Anda melindungi mereka.
"Tetapi jika Anda memukul anak Anda setelahnya, Anda secara fisik menghukum mereka. Ini pelanggaran hukum." (Physical Punishment and Discipline of Children: How the Law is Changing?, 13 Oktober 2020).
Mengapa aturan ini diterapkan? Jawaban intinya: Tidak ada konsep 'efek jera', ditanamkan di benak setiap anak. Dan, ketika mereka dewasa kelak, konsep ini terus terbawa.
Prinsip di Skotlandia itu, matching dengan riset yang dilakukan ilmuwan di Amerika Serikat (AS), belakangan ini.
Dikutip dari The Guardian, 27 September 2016, konsep hukum di AS kini juga 'terbelah'. Dari 50 negara bagian di sana, mayoritas menerapkan restorative justice. Lainnya menerapkan "efek jera".
The Guardian mengutip cerita Guru Besar Ilmu Filsafat, University of San Francisco, Prof Dr Rebecca Gordon, ketika mengajar filsafat hukum.
Prof Gordon cerita, di tempat dia mengajar, sekitar separo mahasiswa kulit berwarna (bukan Amerika). Dia bertanya kepada mahasiswa: Apa keadilan, menurut persepsi mereka?
Jawaban beragam. Tergantung kebiasaan di negara-negara mereka berasal. Lebih spesifik, tergantung budaya ketika mahasiswa itu masih kanak-kanak, dulu. Tapi, prinsipnya, keadilan adalah membela si lemah.
Di situ, mahasiswi asal Denmark membandingkan Denmark dengan negara tempat dia belajar:
Sistem kesejahteraan Denmark dibangun sedemikian rupa, sehingga orang membayar pajak sangat besar. Pemerintah memainkan peran penting di situ.
Mahasiswi Denmark: "Kami memiliki layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan keuangan gratis bagi mereka yang miskin."
Dilanjut: "Secara pribadi, saya percaya ini adalah sistem yang adil, di mana kita mengurus diri kita sendiri."
Lain lagi, mahasiswa Latino (Amerika Latin) mengatakan:
"Rasa keadilan saya cenderung berkisar pada gagasan saya. Bahwa alam semesta dan kehidupan begitu agung, dan tidak dapat dijelaskan. Sehingga semua yang Anda masukkan ke dalamnya, akan kembali kepada Anda."
Dilanjut: "Ini bisa saya telusuri ke masa kecil saya. Ketika ibu saya menyuruh saya melakukan segala sesuatu dalam hidup dengan cinta, iman, dan keberanian."
Lalu: "Sejak saat itu, saya percaya bahwa tindakan atau usaha apa pun yang dipandu oleh ketiga kualitas ini dapat dianggap adil."
Beda lain, mahasiswa dari Timur Tengah, mengatakan: "Keadilan, bagi saya, didefinisikan oleh hukuman atas kesalahan."
Dilanjut: "Keadilan adalah penilaian rasional yang melibatkan keadilan. Di mana pelaku kesalahan menerima hukuman yang pantas atas kejahatannya."
Mahasiswa dari Asia, punya jawaban yang kurang-lebih sama dengan yang dari Timur Tengah.
Prof Gordon menyimpulkan, konsep keadilan bagi orang, tergantung budaya di mana ia dibesarkan.
Dikaitkan dengan data Pemerintah Skotlandia, maka klop. Bahwa orang tua atau wali yang memukul anak, adalah pelanggaran hukum. Itu bertujuan menghapus konsep, bahwa kejahatan harus diganjar dengan hukuman.
Lantas, di mana fungsi hukum mengendalikan masyarakat, agar menjaga ketertiban bersama?
Restorativa justice, jawabannya.
Pusat Keadilan dan Rekonsiliasi yang berbasis di Washington DC, AS, menggambarkannya sebagai berikut:
"Restorative justice memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu kejahatan. Ketika korban, pelaku, dan anggota masyarakat bertemu untuk memutuskan bagaimana melakukan itu, hasilnya bisa berubah.”
Intinya, ketika pelaku meminta maaf kepada korban, dan korban memaafkan dengan ikhlas, lantas apa lagi yang perlu dipersoalkan? Dengan cara itu, diyakini pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya.
Sebab, ketika pelaku meminta maaf, ia berempati terhadap korban. Ia merasakan, betapa tidak enaknya jadi korban. Sehingga, ia tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya.
Di Indonesia, restorative justice baru saja diterapkan. Belum ada riset, apakah efektif mengatasi pelanggaran hukum. Juga, masyarakat masih dalam proses transisi menuju ke sana. Contohnya kasus 'anak mencuri uang ibu' itu. Masih mendua, antara efek jera dengan memaafkan.
Kendati, kasus tersebut tidak bisa jadi tolok ukur. Sebab, antara pelaku dengan korban punya hubungan darah sangat dekat. Coba, bagaimana jika tak ada hubungan darah?
Yang pasti, harus ada keikhlasan antara pelaku dan korban.
Contoh, seumpama kasus "Jin Buang Anak di Kalimantan" dengan tersangka Edy Mulyadi dilakukan restorative justice, bisa dibayangkan, hasilnya bakal negatif.
Coba saja, pertemukan face to face antara pelaku dengan warga Suku Dayak, Kalimantan, bisa ancur tata krama hukum. (*)