Resmi Ditutup, Ini Hasil Keputusan Munas-Konbes NU di Banjar
Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa (muwathonah, citizenship) tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi.
“Berdasarkan konstitusi, Indonesia bukan darul ifta. Bukan negara agama. Namun sejurus dengan itu, tidak boleh ada warga negara Indonesia yang tidak beragama. Oleh karena hanya institusi yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang sah yang boleh mengeluarkan fatwa.”
Demikian kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam Penutupan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019, Jumat 1 Maret 2019. Secara resmi ditutup Wakil Presiden M Jusuf Kalla, di Banjar.
Dalam acara penutupan perhelatan berlangsung di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo Kujangsari, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, Kiai Said Aqil menyerahkan rekomendari NU pada pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla.
"Alhamdulillah Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 telah menghasilkan rekomendasi penting yang akan diserahkan kepada Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla," kata KH Said Aqil Siroj.
Rekomendasi-rekomendasi itu berkaitan dengan masalah kewarganegaraan, kebangsaan, hingga masalah lingkungan hidup.
"Alhamdulillah Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019 telah menghasilkan rekomendasi penting yang akan diserahkan kepada Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla," kata KH Said Aqil Siroj dalam sambutannya.
Ia membacakan lima poin paling penting dalam rekomendasi Munas: Pertama, dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa (muwathonah, citizenship) tidak dikenal istilah kafir. Setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama di mata konstitusi.
Ia menjelaskan bahwa istilah kafir hanya berlaku ketika Nabi Muhammad SAW berada di Mekkah untuk menyebut orang-orang yang menyembah berhala waktu itu yang tidak memiliki agama yang benar. Namun setelah Nabi Muhammad Hijrah, tidak ada istilah kafir untuk orang non muslim yang berada di Madinah. Ia menyebut ada tiga suku waktu itu yang belum masuk Islam yakni yakni; Qoinuqo, Quroidoh dan Nadir, yang oleh Nabi tidak disebut dengan kafir.
Kedua, berdasarkan konstitusi, Indonesia bukan darul fatwa, bukan negara agama. Maka tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan fatwa selain mahkamah agung. "NU sendiri tidak mengeluarkan fatwa, hanya hasil musyawaroh Alim Ulama NU.
"Karena itu, NU menegaskan tidak satupun lembaga yang berhak mengatasnamakan dirinya sebagai mufti atau pemegang otoritas agama," tegas Kiai Said. Namun di sisi yang lain tidak boleh ada warga negara indonesia yang tidak beragama, maka dari itu ada kementerian agama.
Ketiga, Money Game yang dikenal dengan sistem MLM (Multi Level Marketing) yang mengandung unsur tipu muslihat (ghoror), tidak transparan, dan syarat yang menyalahi prinsip akad sekaligus dari transaksi yang berupa bonus yang bukan barang maka hukumnya haram.
Keempat, sampah plastik yang sudah menjadi persoalan dunia disebabkan oleh faktor industri dan rendahnya budaya masyarakat menyadari resiko bahaya sampah plastik. Oleh karena itu, penanganan sampah plastik harus memasukkan elemen budaya, sehingga terbangun cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap pentingnya menghindarkan diri dari bahaya sampah plastik.
Kelima, mengoptimalisasi peran NU turut serta menyelesaikan konflik internasional dan mewujudkan perdamaian dunia dengan konsep Islam Nusantara. NU memiliki modal sosial dan insfrastruktur organisasi yang cukup untuk melakukan peran itu. Antara lain dengan mengoptimalkan peran 36 PCI NU di seluruh penjuru dunia sebagai International offices.
Kiai Said menjelaskan keterlibatan NU dalam penyelesaian konflik agama di dunia internasional dengan menjalankan semangat Islam Nusantara. "Kami dari NU empat kali mempetemukan faksi yang bertentangan di Afganistan. Menengahi konflik Sunni-Syiah di Qatar dan sedang intens menjembatani konflik antara Komunitas Uighur dan Pemerintah Tiongkok," kata Kiai Said.
Peran NU di dunia Internasional telah berhasil menarik hati pemerintah luar negeri. Buktinya, beberapa warga asli dari sejumlah negara telah mendirikan NU seperti di Malaysia, Sudan dan Afganistan. "Di Malaysia, penduduk asli malaysia mendirikan Pertumbuhan Nahdlatul Ulama. Itu warga Malaysia Asli. Ada pula seorang anak yang dinamai Aqil Siroj," kata Kiai Said disambut tepuk tangan hadirin.
"Di Afganistan ada NU juga, tapi bintangnya lima bukan sembilan seperti kita. Di Sudan juga ada NU tapi tidak menyebutkan Pancasila sebagai landasannya," ungkapnya.
Peran NU dalam memperkuat ukhuwah wathoniyah, insaniyah, dan alamiyah sudah banyak diakui dunia. "Sudah saatnya kita berperan aktif menjadi pemain bukan penonton," pungkas Kiai Said. (adi)
Advertisement