Reshuffle Akhiri Jenjang Kaderisasi Politik!
Desakan agar Presiden segera melakukan reshuffle, sudah Jokowi lakukan. Mengapa masih juga diributkan? Karena sampai hari ini, di kubu Banteng, ternyata masih hangat menggunjingkan persoalan reshuffle dari perspektif politik-ideologi. Pasalnya, Jokowi telah mengangkat menteri baru yang tidak ada satu pun dari mereka yang berangkat dari jenjang murni kader partai Banteng Moncong Putih. Kehadiran Risma dan Wahyu Trenggono, walau belakangan cukup aktif di sejumlah kegiatan partai di pusat kekuasaan, dinilai oleh mereka tidak cukup untuk masuk dalam kriteria sebagai murni kader Banteng (PDIP). Dua personel ini, Risma dan Trenggono, lebih dinilai merupakan sosok birokrat karier dan pengusaha sukses.
Para kader muda di kubu Banteng pun, harus menerima kenyataan bahwa institusi politik tempat di mana mereka berkiprah, ternyata tak lebih hanya merupakan tempat berkumpul sesama kaum Banteng dan berbagi pengalaman lewat diskusi sepanjang waktu. Terbukti bukan merupakan tempat mencetak kader yang dipercaya dan berpeluang dipilih untuk menduduki posisi-posisi politik di level pemerintahan. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang mumpuni dan siap menduduki jabatan politik sekelas menteri maupun jabatan selevel.
Ironisnya, justru sebuah organisasi pengusaha, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), lebih berhasil menempatkan para kadernya pada sejumlah jabatan politik dalam Kabinet Jokowi. Mereka berhasil mendominasi kursi menteri baru sebagai pembantu presiden lewat reshuffle yang baru saja terjadi. Dalam hal ini, organisasinya para pengusaha muda (HIPMI), terbukti lebih unggul menempatkan kader terbaiknya (Sandiaga Uno, M.Luthfi, Erick Thohir, dan Bahlil Lahadalia) untuk menempati kursi jabatan politik. Mengungguli keperkasaan organisasi politik sekelas PDIP atau organisasi yang berafiliasi dengan wilayah kerja politik kaum Banteng. Seperti organisasinya para Alumni GMNI, Banteng Muda Indonesia.., dan sejenisnya.
Padahal keberadaan para kader dalam organisasi di bawah naungan bendera Banteng, selama ini mempercayai bahwa institusi partai merupakan tempat penggemblengan yang akan mengantar mereka menapaki jenjang karier politik. Tempat di mana kader calon pemimpin yang berasal dari kubu Banteng digembleng dan disiapkan untuk mengisi berbagai jabatan politik ketika kaum Banteng berada di puncak kekuasaan. Tapi kenyataan membuka mata mereka bahwa pandangan yang demikian itu, sudah menjadi pandangan yang masuk dalam kategori dilusional.
Dengan realita yang demikian ini, sejumlah kader Banteng mendatangi saya dan mengeluhkan masalah yang sangat ironis ini lewat sebuah lontaran pertanyaan; kenapa bisa begini? Saya pun balik bertanya; mengapa tidak?! Bukankah fatsun pertama yang kalian harus pahami dan lakukan adalah; berpolitik haruslah berpijak pada realita. Bukan pada harapan, apalagi khayalan. Sangat berkhayal bila sekarang ini, kader terbaik partai atau kader yang berprestasi, seakan berpeluang lebih besar dipilih untuk menempati sejumlah posisi jabatan politik dalam pemerintahan sekarang. Sekalipun pemerintah konon dipimpin oleh partai di mana kalian berada.
Realita menunjukkan bahwa kualitas kader menjadi nomer dua. Paling utama adalah faktor kehadiran diri yang dekat dengan sirkel satu kekuasaan, baik di partai maupun di pemerintahan (Risma). Faktor berikutnya, kontribusi kongkrit pada penguasa di saat pertempuran memperebutkan kursi kekuasaan (Pilpres) berlangsung. Dalam hal ini kontribusi kongkrit berupa materi (uang dan logistik), menjadi faktor penentu yang sangat diperhitungkan (Erick-Trenggono). Faktor yang juga penting adalah eksistensi diri sebagai figur yang memberi nilai tambah pada penguatan citra positif bagi kekuasaan. Atau berada dalam posisi yang memiliki kartu bargaining tinggi. Dalam hal ini, figur yang bisa jadi bemper efektif dan bermanfaat untuk mengamankan kekuasaan dari rongrongan sejumlah kelompok di mana sang tokoh dianggap memiliki pengaruh terhadap mereka (Sandi-Luthfi).
Sederhananya, para pengusaha di kubu HIPMI lebih paham membaca situasi politik yang berkembang. Ketika ekonomi merupakan program utama Jokowi dalam menjalankan pemerintahan ke depan, maka citra para kader HIPMI sebagai para figur yang bisa secara kongkrit memberi nilai tambah penguatan sektor ekonomi nasional, dengan sangat cantik dipompakan ke benak Jokowi. Dibantu oleh Luhut yang lebih berperan sebagai ‘Dewan Pembina’ mereka, maka para kader HIPMI yang bermain cantik ini, telah berhasil keluar sebagai juara. Mengungguli para kader dari kubu politik (Banteng) yang terlalu kaku mengabdi dan tetap tegak lurus terhadap hal-hal yang tidak lurus sekali pun. Semata karena mereka lebih mengandalkan kerja keras bukan kerja cerdas yang bertahun dipompakan pada benak dan etos kerja pengabdian para kader Banteng.
Lewat fenomena reshuffle ini, terbukti kaderisasi dalam rangka kejenjangan kualitas kepemimpinan melalui partai sudah menjadi masa lalu. Untuk meniti kejenjangan jabatan politik tinggi di negeri ini, menjadi pengusaha ternyata merupakan jalur yang lebih efektif. Tidak diperlukan lagi kematangan politik-ideologi seseorang untuk duduk di jabatan politik sekelas menteri maupun di lembaga penasehat presiden. Karena politik dan ideologi hari ini sudah semakin jelas; Ekonomi dan ‘money’! Fatsun yang kedua; pandai-pandailah mendekat dan masuk ke wilayah pergaulan sirkel satu kekuasaan. Dan akan lebih mantab lagi bila datang sebagai individu dermawan yang mampu mengatasi persoalan kebutuhan ekonomi di lingkar kekuasaan berikut penguasaan ekonomi secara nasional.
Bahwasanya dengan langkah ini tatanan jenjang kaderisasi dan pendidikan politik ke massa rakyat menjadi tak menentu, itu masalah lain. Dan sepertinya memang menjadi tidak penting karena bukan menjadi prioritas utama bagi pemerintahan Jokowi. Walau pun demikian hikmah yang dapat diambil dari fenomena reshuffle kali ini adalah terbukanya mata rakyat, bahwa berfanatik ria di saat Pilpres digelar, hingga ada yang bersedia korban harta dan bahkan nyawa, adalah sebuah kesia-siaan dan merupakan kebodohan total. Terbukanya mata hati dan pikiran rakyat yang demikian itu, telah dimulai ketika Prabowo bersedia menerima jabatan sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Jokowi.
Semakin terang benderang dan rakyat mulai sadar dan melek politik bahwa fanatik buta adalah suatu musibah kebudayaan dan harus dijauhkan dari peradaban politik abad 21. Dan ketika Sandiaga Uno dilantik sebagai salah satu menteri baru melalui reshuffle yang baru minggu lalu diumumkan, para pendukung fanatik Paslon No.2 pada Pilpres yang lalu langsung kuciwa berat. Mereka pun penuh kesal nyeletuk.."Kalau sudah jelas akan terjadi politik ‘Beli satu dapat dua’...alias pilih Jokowi dapat Prabowo dan Sandi, buat apa hambur-hambur uang negara dan energi permusuhan dikobarkan antar dua kubu pendukung? Sampai-sampai nyaris membelah bangsa ini menjadi dua kubu rakyat!"
Untuk itu, satu hal yang perlu saya sampaikan ucapan terimakasih kepada Jokowi adalah langkahnya yang telah membuka mata para insan politik kader partai. Bahwa untuk meniti karier politik, institusi partai bukanlah lagi rumah yang kondusif untuk mencetak para pemimpin yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan politik di pemerintahan. Institusi partai lebih berfungsi untuk mencetak para petugas partai dengan tingkat ke-eselonan internal partai. Terimakasih yang kedua adalah gebrakan reshuffle yang menyadarkan para aktivis partai bahwa kerja cerdas lebih unggul ketimbang kerja keras tanpa kecerdasan.
Sebagai catatan sangat penting, Presiden Jokowi telah mengisyaratkan bahwa pendekatan melalui jendela politik-ideologi adalah masa lalu. Masa kini adalah masa pendekatan yang serba praktis pragmatis transaksional. Dengan demikian kepada para kader partai yang masih bersikukuh berpijak pada garis politik-idiologi, Anda telah memilih jalan yang sunyi! Anda harus siap untuk bersabar dan membuka lebar ruang kuciwa.
Walaupun demikian, harus tetap yakin, kemenangan kalian pasti akan datang.
Tapi dipastikan bukan hari ini!
Revolusi belum selesai!
*Artikel ini dikutip sepenuhnya dari Watyitink.com.
Advertisement