Resesi di Depan Pintu, Stop Politiking Pancasila!
Oleh: Erros Djarot
Stop, sudah cukup! Jangan lagi menggunakan Pancasila sebagai obyek selancar politik. Para politisi kita seharusnya tidak lagi menyoal, hanya mewacanakan, dan menggelar sejumlah seminar yang menjadikan Pancasila sebatas obyek bahasan semata. Mereka seharusnya sudah pada tahapan melaksanakan Pancasila dalam praktik di keseharian hidup mereka. Terutama mereka yang sekarang dalam posisi sebagai wakil rakyat, pemimpin, dan petinggi negara.
Pertanyaannya; adakah dari mereka yang bisa ditampilkan ke permukaan kehidupan bangsa ini sebagai figur role model manusia yang secara genuine bisa dikatakan sebagai manusia berpandangan hidup Pancasila? Sampai hari ini justru rakyat menanti hadirnya sosok tersebut. Ya politisinya, juga para pemimpinnya.
Bila pertanyaannya dibalik; siapa saja dari mereka yang hanya pandai bicara tentang nilai-nilai Pancasila, tapi gagal paham dan berperilaku sebaliknya? Maka dengan mudah jari telunjuk rakyat menuding ke arah sederet figur yang tak sulit sama sekali untuk menemukannya. Karena hampir seluruh dari mereka berpotensi sangat tinggi untuk menjadi target tudingan telunjuk rakyat. Terlalu banyak, bukan sekadar kasus, kehadiran mereka justru tak mencerminkan perilaku sebagaimana nilai-nilai yang selalu dibicarakannya.
Miskin perilaku manusia berpandangan hidup Pancasila, tampak semakin nyata ketika terjadi musibah kemanusiaan (serangan Covid-19) yang berpotensi melumpuhkan hampir setiap sendi kehidupan sosial ekonomi mayoritas rakyat. Heboh dan hingar bingar para politisi dan pimpinan partainya mengurus persiapan Pilkada, lebih mendominasi pemberitaan di media seputar kegiatan mereka. Langkah nyata dan tawaran solusi yang dinantikan rakyat, lenyap ditelan heboh urusan Pilkada. Padahal mayoritas dari mereka adalah partai pendukung pemerintah.
Di sisi lain, para pemimpin dan politisi yang berseberangan dengan Pemerintahan Jokowi, malah sibuk menyusun barisan oposisi. Sementara solusi yang dinantikan rakyat tak juga muncul ditawarkan oleh kelompok ini. Karena yang heboh dipergunjingkan sejumlah liste negatif pemerintahan Jokowi. Sehingga rakyat tak bisa lain kecuali menyambut kehadiran kelompok ini sebagai masalah baru.
Walau pun demikian, tidak sedikit rakyat yang sudah putus asa terhadap kepemimpinan Jokowi menganggap kehadiran kelompok ini merupakan secercah harapan. Sementara mayoritas rakyat yang telah jenuh dengan politik yang selalu menjajakan harapan, tetap menganggap kemunculan kelompok ini lebih menawarkan masalah ketimbang solusi.
Andai munculnya gerakan politik ini tidak dalam keadaan rakyat bangsa ini tengah didera derita musibah kemanusiaan (pandemik Covid-19), tentunya hadirnya gerakan ini merupakan hal yang biasa. Menjadi luar biasa karena kehadirannya justru di tengah mayoritas rakyat tengah menderita atas dampak pandemik Covid-19. Yang dinanti rakyat solusi menyudahi derita panjang ini. Sementara yang ditawarkan malah ‘kehendak’ menyudahi Pemerintahan Jokowi. Tanpa kejelasan dan jaminan sebagai solusi yang diharapkan.
Akan perilaku politik kelompok ini, memang kurang pas bila dipertanyakaan; apakah sikap demikian itu bisa dikategorikan sebagai sikap dari kumpulan manusia yang tak berpandangan hidup Pancasila? Jelas pertanyaan seperti itu tidak ada relevansinya. Hanya saja satu hal yang pasti, baik yang di opsisi dan yang mengoposisi, keduanya berada dalam satu ruang kehidupan yang sama. Di satu ruang di mana mencari sosok figur yang bisa dijadikan role model sebagai manusia berpandangan hidup Pancasila, sulit didapat.
Menjadi lebih drama bila ada mulut usil yang sengaja mempertanyakan; manusia yang berpandangan hidup Pancasila itu yang bagaimana sih? Tentunya pertanyaan ini bukan dimaksudkan untuk mendapat jawaban. Pertanyaan dimunculkan justru hanya untuk menambah ruwet dan kusutnya segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah dan urusan seputar Pancasila.
Mengapa bisa terjadi? Jawaban singkatnya sangat sederhana: karena tidak ada contoh dan keteladanan para pemimpin yang melakukan dan menjalankan Pancasila dalam praktik di kehidupan kesehariannya. Sehingga Pancasila pun ketika diangkat sebagai nilai-nilai luhur di ruang praktik politik, maka ia hanya menjelma menjadi sesuatu yang absurd dan sangat dengan mudah dikemas sebagai bola politik yang bebas ditendang ke kanan dan ke kiri. Tanpa arah, tanpa kepastian, kecuali kepentingan dari si penyepak bola.
Itulah sebabnya mengapa rakyat jenuh dijejali dengan berbagai adegan ‘sepak bola’ politik Pancasila. Karena rakyat kebanyakan berpikir sangat sederhana; andai Pancasila dijalankan secara murni dan konsekuen, hidup rakyat tak bakal separah seperti sekarang ini. Negara yang maha kaya raya, dihuni oleh mayoritas rakyatnya yang miskin dan dimiskinkan oleh kekayaannya sendiri. Banyak petani yang mati di lumbung padi. Menakjubkan bukan?
Wajar bila banyak rakyat yang ngebatin dan bertanya; di mana Pancasila? Lembaga yang ngurusin ada, Rancangan Undang-Undangnya ada, ribut-ribut dan hebohnya ada. Sialnya, ketika rakyat menoleh ke arah para elite dan pemimpin mereka, tidak ada perilaku nyata yang dapat mereka teladani dan ikuti sebagai panutan hidup yang dijalankan berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup.
Ironisnya, dalam kehidupan di pedesaan dan masyarakat pedalaman yang tak pernah menyoal Pancasila, kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila masih dapat dilihat dengan nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga bisa dimengerti bila mayoritas rakyat Sumatera Barat, baru-baru ini marah ketika daerahnya dikonotasikan sebagai wilayah yang belum ikhlas mendukung dan mengadopsi nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan keseharian mereka
Dalam kaitan ini, Petinggi di lembaga DPR RI yang sempat melontarkan ucapan…"Semoga Sumatera Barat menjadi Provinsi yang memang mendukung negara Pancasila..’’ memang sangat disayangkan. Padahal, siapa pun yang mengenal budaya kehidupan rakyat di Sumatera Barat, pastilah menggaris bawahi bahwa budaya mereka sangat layak untuk dinyatakan sebagai kekayaan budaya yang begitu sarat dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Pancasila dalam komunitas masyarakat tradisionil di sana, sudah menjadi pandangan hidup dalam praktik kehidupan budaya keseharian mereka.
Dalam hal ini, tentunya lontaran petinggi di lembaga DPR tersebut, sama sekali tidak dimaksud untuk menyangsikan ke-Pancasila-an masayarakat di Sumatera Barat. Ucapan tersebut lebih ditujukan kepada kader partainya (PDIP), calon yang akan berlaga dalam Pilkada mendatang di Sumatera Barat, agar lebih memberi suri teladan berkehidupan Pancasila dalam praktik. Hanya saja ketika isu Pancasila masuk ke ruang politik sebagai bola politik, maka tendangan bola bisa liar bergulir ke mana-mana, tergantung pada kepentingan si penendang bola.
Makanya, cukup sudah! Pancasila jangan lagi hanya diwacanakan, digoreng, di aduk-aduk, kembali dirumuskan, tapi tak tersentuh di ruang kehidupan nyata dalam mempraktikkannya! Beri contoh dan beri keteladanan, ketimbang mengumbar retorika seputar Pancasila yang hanya menjadikannya sebagai obyek politik semata. Please move on deh! Jangan berhenti, berkutat, dan berputar-putar di ruang kemunafikan yang selama ini terus dipelihara.
Capek deh..Covid Bu…Covid..! Dan resesi ekonomi selangkah lagi dipastikan bakal masuk ke setiap pintu rumah rakyat kita. Dari pada nebar sakit hati, lebih baik nawarin solusi…bagaimana rakyat harus hidup menghadapi resesi. Setuju kan?!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.com