Resensi: Napas Anak Merdeka in memoriam Leo Kristi
Judul buku: Napas Anak Merdeka in memoriam Leo Kristi
Penggagas: Siwo Supratowo
Cetakan: 2017
Penerbit: Percetakan CV Persada Raharja Nugraha
Tebal buku: 196
Seniman troubadour Leo Kristi, yang bernama asli Leo Imam Soekarno, merupakan musisi folk yang konsisten mendengarkan tembang-tembang bertema sosial ke rakyatan, yang hampir keseluruhan liriknya adalah puisi dan balada. Musik serta lirik lagu-lagunya lahir dari perjalanan-perjalanannya ke berbagai daerah. (Hamid Nabhan: 34)
Setelah Leo Kristi wafat pada 21 Mei 2017, seperti muncul kerinduan kepada sosok pemusik-penyair yang banyak lagunya keseharian hidup rakyat jelata. Maka dari itu untuk menhilangkan kerinduan itu, dua puluh sahabatnya menuliskan cerita perjalanan Leo yang tergambarkan dalam sebuah buku berjudul Napas Anak Merdeka in memoriam Leo Kristi.
Dari buku yang berisi 196 halaman ini, tertuang kisah perjalanan karir Leo Kristi, mulai dari awal hingga dirinya tutup usia. Selain itu, penulis-penulis di dalamnya juga menggambarkan perkenalannya dengan sang mega bintang musik itu.
Perkenalan sahabat-sahabatnya tersebut berasal dari dari Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK), Komunitas Pecinta Musik Leo Kristi (LKers), serta diluar KRLK maupun LKers mulai Emha Ainun Nadjib sampai Dewa Budjana, dari kritikus musik Franki Randen hingga sutradara film kawakan Imam Tantowi. Mereka yang menjadi sahabat Leo juga mengisi tulisan-tulisan dalam buku ini, dengan kedekatan, serta pertama mereka bertemu hingga berpisah dengan Leo Kristi mereka tuliskan disini.
Seperti pada tulisan Ainun Nadjib, yang berisikan kesedihan pria yang akrab disapa Cak Nun terhadap Leo Kristi. "Kemarin aku kehilangan saudara sunyiku, Leo Kristi Imam Sukarno, setelah pernah bersedih mengenal Gombloh dan Franky Sahilatua yang tak kalah sunyi," ujarnya.
"Betapa aku bersyukur Allah menciptakan mereka untuk Indonesia. Pulau-pulau penggalan surga ini menjadi lebih indah oleh lagu-lagu mereka," tulis Cak Nun dalam buku Napas Anak Merdeka In Memoriam Leo Kristi.
Selain itu, dalam buku ini juga berisi empat wawancara dan dua interview bersama almarhum Leo Kristi pada 23 dan 33 tahun silam. Seperti wawancara Ramdan Malik dengan Cecila Fansischa yang mengisahkan pertemuannya, konser bersama, pengalaman bersama Leo sampai cerita Leo Kristi menjelang wafat.
Penggambaran sosok Leo Kristi juga tertuang dalam berapa tulisan di dalamnya, seperti halnya tulisan dari Dewa Budjana yang menilai sosok Leo Kristi adalah seniman yang sangat konsisten dengan apa yang disuarakannya. Maka ketika dirinya dengar beliau sakit, mengharuskan diri untuk menjenguk ke Rumah Sakit Immanuel di Bandung.
Sebelum meninggalnya maestro musik Leo Kristi juga digambarkan oleh Mang Oben dengan judul saat dengan tuhan, yang saat itu dirinya menyinggung soal usia Leo, dan anehnya Leo tidak tersinggung. Saya berpatokan dengan usia Nabi Muhammad yang meninggal di usia 63 tahun. Waktu itu saya menyinggung usia Leo yang sudah 61 tahun. Maksudku kalau Leo mau bekarya, tinggal dua tahun lagi kira-kira, dan selebihnya adalah bonus.
Mungkin belum seperti buku yang diimpikan mendiang, tapi paling tidak buku ini merekam hidup dan proses kreatif Leo Kristi, perjalanan konser Rakyatnya, serta sisi lain Leo sebagai pelukis, aktor penata musik film teater, serta pengelana Nusantara dan mancanegara. (har)