Covad Covid 36 Kepala
Resensi Buku
oleh Hafiidhaturrahmah
Judul : Covad-Covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik
(Antologi Esai Populer Perempuan Penulis Padma)
Penulis : Agus Prasmono, Ari Pandan Wangi, CS Mei, dkk
Pengantar : Afrizal Malna
Penyunting : Endah Imawati
Penerbit : Padmedia
Cetakan Pertama : Oktober 2021
Jumlah Halaman : 240 halaman
Ukuran : 14cm x 20cm
Buku ini lahir dari sebuah workshop esai popular selama tiga jam bersama penulis Afrizal Malna yang diselenggarakan oleh Perempuan Penulis Padma (Perlima). Usai pelatihan, peserta diharuskan menulis dan dikurasi langsung oleh Afrizal Malna. Esai popular dipilih karena pengalaman pribadi penulis dapat digabungkan ilmu pengetahuan sekitar. Penulis esai mengambil otoritasnya sendiri sebagai penulis bebas.
Buku setebal 240 halaman ini menangkap keunikan tidak hanya terkait pandemi Covid-19 tetapi hal lain yang terkadang luput atau mulai dilupakan orang. Sebanyak 36 penulis ikut meramaikan, didominasi penulis perempuan dan dua penulis lelaki.
Agus Prasmono mengamati korban pandemi dari persepektif kependudukan, percepatan generasi, dan cara Tuhan mengurangi laju pertumbuhan penduduk dunia. Sementara dokter Ence Noor mengibaratkan pandemi ini sebagai perang semesta, seperti ajaran Jenderal Sun-Tzu bahwa pertempuran harus dilakukan cepat, bila berkepanjangan akan menguras biaya, mengikis moral, dan memberi keleluasaan musuh.
Ibu dan Anak dalam Pandemi
Sementara penulis perempuan menjadikan buku ini tempat mengapresiasikan uneg-uneg keibuan. Pandemi ini memaksa para ibu menjadi guru, menemani anak sekolah dari rumah. Dokter anak Hafiidhaturrahmah melihat bahwa kaum ibu rawan burn out sehingga anak menjadi tantrum saat kondisi ibu dan anak sama-sama dalam emosi tinggi. WS Arianti membidik psikologis anak yang kehilangan orang tua saat pandemi, juga anak yang tidak nyaman ketika ibunya lebih sering marah dan lebih galak dari gulu tergalak di sekolah.
Sari Sahara mengungkapkan kegelisahannya terkait penggunaan bahasa alay kasar yang seolah tanpa dosa ramai diucapkan anak zaman now. Walaupun hanya sebuah plesetan kata dari anjing menjadi anjay, tetap saja mempengaruhi tata bahasa dan norma kesopanan anak ketika harus berbicara dengan yang lebih tua. Endang P. Uban merasa pandemi ini sama seperti rutinitas keseharian ibu rumah tangga yang diperpanjang. Tidak takut belajar hal baru dan berbicara dengan diri dapat membantu perempuan menemukan eksistensi dirinya. Yulfia Afaz mengamini bahwa ibu rumah tangga harus melek teknologi. Seberapa jauh ibu membuka diri untuk terus belajar akan menentukan kualitas anak yang mereka didik kelak. Udith menyelaraskan hal tersebut, bahwa ibu yang rajin membaca akan melahirkan anak yang gemar membaca pula.
Perempuan yang Berjuang
Triana mengisahkan perjuangannya bolak balik rumah sakit saat pandemi selama perawatan rutin kanker payudara. Pandemi memang membuat semua makin babak belur, tetapi diakuinya semangat kebersamaan makin tumbuh. Dewi Purboratih mengamati fenomena saling berbagi melalui kisah sebuah pohon mangga. Saat berbagi, apakah sungguh tulus, atau jangan-jangan ada motif tertentu. Eva K.Sundari menuliskan gerakan warga bantu warga yang sesuai dengan kepribadian bangsa berspiritulalitas akan menebarkan banyak kebaikan sehingga pandemi segera usai. Wina Bojonegoro memilih untuk membangkitkan peran perempuan dalam berwirausaha. Saat dunia pariwisata terpuruk, benar-benar tiarap, Bonikanya bisa tumbuh. Abon ikan ini dibuat selama delapan jam, proses pengolahan panjang, dan tanpa bahan pengawet oleh ibu-ibu Dusun Semambung, Pasuruan.
Iva Hasyim membidik perempuan sebagai kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan tetapi masih putar otak mengubur ketakutan Covid-19 demi anak-anaknya tetap makan. Evie Suryani Pohan tetap menggerakkan literasi melalui rumah baca 3 Mev (baca: trimev) dengan layanan pesan antar buku. Sementara Geni Kurniati menilai perempuan dapat merdeka melalui body positivity, yaitu merayakan dirinya sendiri melalui tubuh dan pengalaman hidup. Senada dengan Ihdina Sabili menyoroti kedudukan perempuan yang setara, yaitu memiliki kesempatan untuk belajar, berdaya, dan berkarya. CS. Mei berhasil membuka pintu pengembangan diri melalui diet sehat. Retnowati masih berjuang hidup sehat, mengatur makan dan olahraga. Sementara tip dari Kak Seto dituliskan oleh Heart Light. Hidup harus GEMBIRA, Gerak, Emosi cerdas, Makan minum sehat, Berdoa, Istirahat cukup, Ramah dan rukun, serta Aktif berkarya.
Pandemi dan Media Sosial
Zakiyatul Mufidah menyoroti kehebohan bungkusan salah satu waralaba makanan yang mengusung nama salah satu grup K-Pop yang membuat Gen Z (generasi lahiran 1995-2010) ramai mengunggah foto memegang bungkusan tersebut. Konsumsi hal tertentu dilakukan untuk menunjukkan identitas dunia virtual. Vivi Dinatya menyoroti adab atau manner anak ditentukan dari lingkungan dan keluarga. Tidak perlu mengadili baik-buruk perbuatan orang lain, tugas kita adalah memperbaiki diri dan keluarga.
Yulfarida Arini mengurangi media sosial demi membatasi diri dari berita terlalu berlebihan supaya tetap waras. Yoni Astuti menyoroti perilaku orang yang membuang kucing sembarangan sehingga menelurkan ide membuat perkampungan kucing.
Melalui media sosial juga Dhian HP menilik blusukan Jokowi saat sidak pasokan obat Covid-19 yang rentan menimbulkan persepsi negatif saat situasi krisis. Krisis sampah diamati oleh Winda Listyani dan merupakan masalah bersama untuk memberdayakan sampah.
Pandemi dan Kehilangan
Kehilangan menjadi kata kunci ketika serangan kedua badai pandemi hadir. Ari Pandan Wangi yang kehilangan nenek mengingatkan pentingnya mawas diri dan menjaga diri sendiri maupun orang lain. Febriyanti Dwi Safitri bercerita tentang mawas diri melalui topeng bunda sosialita dan bunda eselon. Sartini yang kehilangan teman dekat mengingatkan jika menanyakan kabar teman, jangan ditunda. Nia W belajar dari kematian, sebagai peringatan bahwa tidak ada yang dimiliki selamanya.
Tidak hanya kehilangan keluarga, pandemi ini membuat permainan tradional seakan lenyap dari bumi pertiwi. Fifin Maidarina mengamati cublak-cublak suweng kalah ngetrend dari games handphone, padahal permainan tradisional melibatkan aktifitas fisik lebih sehat dan anak dapat belajar peraturan bermain, kerja sama serta kekompakan. RWilis juga mengkritisi budaya memijat bayi sambil menyanyikan sluku-sluku bathok mulai hilang padahal lagunya penuh arti bahwa jiwa dan raga manusia harus dijaga tetap seimbang. Selalulah mengingat Tuhan agar hati menjadi tenang, mengingat mati yang bisa datang tiba-tiba, dan selagi hidup rajinlah beramal.
Lapangan kerja dan kesulitan mencari nafkah juga dibidik oleh Helen N melalui polisi cepek, petugas jalanan yang masih membantu para pengguna jalan dengan imbalan uang logam. Maria Dias sembari olahraga di bawah sinar matahari, dia mengamati penjual rujak yang setia menunggu pembeli. Retno Joyodisastro menyoroti lapak cukur Mat Ali yang makin sepi kala pandemi namun tidak membuatnya lupa merapalkan doa “demit ora dulit, setan ora doyan”. Windy Effendy mengingatkan kita akan lumpia viral Pak Edi yang selalu habis walau pandemi. Hal itu tidak membuat Pak Edi lantas menambah pasokan lumpianya. Nerimo ing pandum, bagi Pak Edi, rezeki sudah diatur. Wirhayati berkisah tentang Ardi, karyawan yang di-PHK. Ardi yang senang merawat tanaman hias ternyata berhasil menjadikan hobinya sebagai sumber penghasilan.
Perlima dan Perempuan
Komunitas Perlima yang baru enam bulan berdiri ibarat bayi baru lahir dan sedang belajar duduk. Perlima sudah dapat memfasilitasi ide para perempuan hingga berbentuk menjadi buku perdana: Covad-Covid, Bungkusan Boy Band, dan Menunggu Kabar Baik. Tentu, harapannya akan banyak perempuan yang menulis bersama Perlima.