Republik Kopi, Provinsi Kopi, Kabinet Kopi, dan Entah Apalagi
Kopi menjadi trend yang bukan main. Kopi juga menjadi sebuah "gerakan" yang begitu masif. Sampai-sampai juga ada web portal khusus yang menamakan dirinya ngopibareng.id.
Lalu, orang pun minum kopi. Yang minum kopi pun makin banyak. Dari hari hari ke hari. Dari waktu ke waktu. Pendeknya, kopi tak pernah sepi, dan warung kopi selalu berjubel oleh pembeli.
Maka lahirlah UKM-UKM kopi. Yang lama menjadi baru. Maksudnya: yang lama mempermak diri, mempercantik diri, menebar gengsi, menjadi tempat ngopi yang baru. Sementara, yang baru berdiri, mencoba menyalipnya di tikungan dengan segala intiusi kebaruan dan imajinasi ngopi yang sangat kekinian.
Kopi menjadi sesuatu yang berbeda. Sampai-sampai ada yang menjadi susah memahami kopi itu sendiri. Beruntunglah Gus Dur sudah tiada, andai dia masih seger waras, tidak mustahil akan ada lagi ungkapan: ngopi aja kok repot!
Yang kopi warungan, yang kopi di kedai, dan yang berada di coffee shop, diam-diam saling bersaing. Bersaing untuk merebut pasar. Bersaing untuk merebut hati. Hati siapa? Ya sudah barang tentu para hati yang selalu berurusan dengan dunia kopi.
Ini riil lho. Kelihatannya mawon semua baik-baik saja, tapi aslinya mereka sedang "pecok-pecokan" untuk mendapatkan pengakuan, bahwa kopi di tempatnya-lah yang paling punya citarasa. Yang paling keren. Yang paling diproses dengan benar. Mulai tanam, panen, hingga sangrai, lalu tersaji di atas meja.
Semua ilustrasi ini aslinya tak masalah. Tak ada juga masalah. Sungguh! Justru, persaingan kalau bisa malah kudu didorong hingga maksimal. Kenapa? Agar konsumen kopi, masyarakat peminum kopi, masyarakat penikmat kopi, bisa mendapatkan kopi-kopi dengan kualitas baik. Bukan kopi asalan. Bukan pula kopi asal-asalan.
Kopi baik pasti memiliki citarasa yang baik. Citarasa yang baik pasti mampu menggugah lebih banyak orang untuk mengingat akan kopi.
Dampak panjangnya adalah makin banyak saja orang yang ngopi. Artinya juga, kuota minum kopi orang Indonesia akan bertambah pesat. Kalau kuota minum kopinya bertambah, otomatis kopi-kopi kualitas baik tak perlu lari keluar negeri. Sebab kopi-kopi itu juga dibutuhkan di sini. Jadi, biarlah, kita yang menanam kita sendiri pula yang mengonsumsinya. Tidak salah bukan?
Mungkin yang salah adalah ini: kita yang menanam lalu hasilnya yang bagus dijual ke luar negeri. Sementara untuk konsumsi sendiri dipilih saja kopi asalan atau yang asal-asalan. Asal warna hitam, asal bau kopi.
Devisa? Bukan kalau komuditas kopi dijual ke luar negeri menghasilkan devisa untuk negara?
Yes. Itu sudah pasti. Dan itu juga harus terjadi. Namun perlu diingat, mencukupi kebutuhan sendiri adalah hak sekaligus kewajiban. Kalau memang luar negeri butuh, petani kopi harus mendapatkan harga yang terbaik (setelah tentunya menyimpan juga barang secukupnya untuk kebutuhan ngopinya). Bukan harga yang seolah-olah baik.
Di Bondowoso, sudah beberapa waktu lamanya, tren kopi disambut dengan jargon Republik Kopi. Satu tujuannya adalah makin memasyarakatkan kopi Bondowoso. Karena memiliki potensi besar, kopi harus benar-benar digdaya. Digdaya menjadi potensi yang mampu menyuport APBD.
Digdayanya Republik Kopi tentu bukan berarti kopi harus diekspor ke luar negeri, tetapi kopi Bondowoso bisa menjadi serapan lokal yang mampu menambah pundi-pundi kuota orang Indonesia minum kopi. Serapan bagus, meski hanya tingkat lokal, memungkinkan petani kopi di hulu juga ceria nasibnya.
Setelah hadir Republik Kopi, berbagai even digelar. Publikasinya pun mendebarkan. Disebar ke mana-mana, termasuk media. Mulai lomba menyeduh kopi, incip citarasa kopi, menyangrai kopi, hingga ngopi massal yang digratiskan.
Lalu? Makin memasyarakatkah kopi? Sudah adakah yang menghitung? Sudah adakah lembaga yang mensurvei? Kopi Bondowoso tetap lari keluar negeri atau masif menyebar ke seluruh negeri? Rasanya menjadi penting untuk mengetahui!
Next? Ada Kabinet Arabika. Karena kuatnya trend kopi, program terkait kopi di Jawa Timur milik Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur itu dinamakan Kabinet Arabika. Ini nama yang keren. Nama yang mengena. Apalagi dalam program itu salah satunya adalah memperbaiki kualitas paskapanen kopi.
Kabinet arabika itu tak lain adalah Kolaborasi Pembinaan Ekonomi Terpadu Kopi Arabika. Nah kalau dipendekkan dan agak sedikit memaksa jadilah namanya Kabibet Arabika.
Program Kabinet Arabika itu bahan bakunya adalah Kopi Arabika. Sementara kawasan yang disentuh program adalah Kayumas. Kayumas itu masuk wilayah Kabupaten Situbondo.
Kabinet Arabika ini bahkan dianggap sukses oleh Pemerintah Pusat. Sebagai ganjarannya Jawa Timur dianugerahi penghargaan sebagai Provinsi yang memiliki inovasi pangan terbaik.
Bahwa, kopi tak lagi dipetik hijau kuning merah, atau asalan, tetapi hanya diunduh yang merah cherry saja. Sebagai akibatnya kualitas kopi menjadi jauh lebih baik, kopi juga sehat, dan petani penanamnya juga mendapatkan hasil yang kompetitif.
Lalu, setelah Kabinet Arabika sukses, bagaimana dengan kopi-kopi Jawa Timur yang lain? Adakah "perlindungan" yang masif nantinya setelah petani melakukan paskapanen serupa di Kayumas? Bukankah problem petani yang sulit terpecahkan adalah tak mampunya si petani menunggu sampai buah kopi memerah karena panenan sudah diijon?
Peristiwa ijo mengijon bukan perkara mudah untuk diatasi. Tidak cukup hanya membangun kesadaran petani bahwa kopi akan bercitarasa bagus, berharga lebih bagus, pasar bagus kalau diproses dengan benar. Proses benar itu salah satu bahan dasarnya adalah petik kopi merah.
Yang seperti ini sering terlewati. Sebab petani (tak hanya kopi), acapkali sering kepepet oleh nasib. Kepepet kebutuhan. Juga dipepet paksa oleh kuasa. Kuasa para modal. Kenapa petaninya mau? Ya karena mereka miskin. Menunggu kopi sampai merah adalah waktu yang terbuang, butuh lama, sementara kebutuhan sehari-hari tak bisa ditunda lama.
Sebab itu tak bisalah hanya sekadar penyuluhan, hanya sekadar sosialisasi, hanya sekadar omong citarasa, hanya sekadar iming-iming alias PHP harga bagus. Harus ada aksi nyata, harus ada modal dan kepastian yang dipegang petani selama memroses kopi yang benar sedang berlangsung. Atau... entahlah? Mungkin arena-arena festival kopi sudah waktunya tak sekadar "merayakan" kopi, tetapi lebih menukik kepada substansi peristiwa dalam kopi.
Festival Kopi Jawa Timur yang sedang digagas ini, misalnya, dan yang sedang diupayakan bisa berlangsung secara periodik itu, setidaknya bisa menjadi yang terdepan untuk mengemas persoalan substansial di atas. Memiliki agenda yang tak sekadar festival, memiliki visi yang tak sekadar merayakan "kemenangan" kopi.
Soal kopi, Wakil Gubernur Jawa Timur, Drs. H. Saifullah Yusuf, atau yang akrab dipanggil Gus Ipul, pernah melontarkan gagasan menarik yang layak dikaji. Malahan kalau perlu direalisasikan senyatanya.
Apa itu? Menjadikan Jawa Timur sebagai Provinsi Kopi di Indonesia. Apakah sulit? Rasanya sih tidak!
Faktanya: produk kopi dari Jawa Timur sangat besar. Hanya saja fakta ini tak pernah terbranding dengan baik bahwa Jawa Timur memiliki potensi kopi yang bukan main.
Coba berjalan-jalanlah di wilayah sisi Selatan Jawa Timur. Kasat mata area perkebunan kopinya begitu luas terhampar. Sepanjang pantai selatan hingga Banyuwangi. Itu hamparan kopi robusta. Belum terhitung yang ada di gunung-gunung yang ditanam di atas ketinggian 1200 Mdpl. Itu kopi Arabika. Dan, pastinya jumlah gunung di Jawa Timur adalah paling banyak di Indonesia. Semuanya ada tanaman kopinya.
Ayo kita tengok datanya lagi: kopi Jawa Timur sudah dikenal berkualitas. Malah boleh dikata jauh lebih bagus dari negara penghasil kopi lainnya. Seperti Vietnam, seperti juga Brazil. Jauh sebelum itu, nama Java Coffee sudah begitu terkenal di Eropa. Lalu terkenal juga di mancanegara. Dari mana Java Coffee? Yakinlah kopi ini asalnya dari Jawa Timur bagian selatan.
Sejak dilu pula beberapa produk kopi dari Jawa Timur sudah menembus pasar Barat. Kopi Dampit dari Malang malah sudah sejak zaman VOC biasa diminum orang-orang Eropa. Lalu?
Dunia kopi saat ini adalah ekonomi yang bergerak. Bukan sekadar wacana yang sedang bergerak. Tetapi benar-benar bergerak senyatanya. Bergeraknya juga tak hanya sekadar bergerak, mungkin malah berputar. Berputarnya juga cepat. Seperti gasing.
Di tingkat UKM, misalnya, baru mengenal kopi sehari dua hari, baru bisa menyeduh dan menghadirkan sedikit aroma kopi, esoknya anak-anak muda sudah berani deklarasi: open warkop kopi asli, open kedai kopi nusantara, open coffee shop single origin and spesialty. Dan seterusnya.
Sekarang persoalannya adalah: setelah ada Republik Kopi, Kabinet Kopi Arabika, juga gagasan besar Provinsi Kopi, Kopi Jawa Timur mau apa? Festival Kopi Jawa Timur dengan tagline sebesar itu juga mau apa? Sekadar festival seperti lainnya agar seolah-olah tidak ketinggalan merayakan euforia kopi? Atau opo?
Misal, yang monumental: apa mau pelaku kopi dari hulu dan hilir bisa terintegrasi bagus sehingga tidak ada peluang modal dan kuasa untuk memepet paksa petani kopi? Atau mau hanya jadi kopi tidak sekadar ngopi an sich? Atau ingin berkontribusi besar menjadi salah satu ikon Jawa Timur yang aslinya cukup miskin ikon? Atau... (widikamidi)