Reog Eksploitasi Kulit Macan dan Bulu Merak, Bupati: Salah Kaprah
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko akhirnya angkat bicara soal pertanyaan atas eksploitasi kulit harimau alias macan dan bulu burung merak untuk bahan kesenian reog. Menurutnya tudingan yang muncul itu salah kaprah tentang barongan reog dan dadak merak.
‘’Kita sudah jawab itu dalam pembetulan atau revisi yang diserahkan ke UNESCO. Perajin Reog Ponorogo memanfaatkan kulit kambing atau sapi yang dilukis. Bulu merak menunggu fase burung ketika berganti bulu,’’ kata Kang Bupati, sapaan Bupati Sugiri Sancoko dikutip di laman ponorogokab, Kamis 31 Agustus 2023.
Kang Bupati menyebut, perlu diskusi dengan kelompok pecinta lingkungan yang menuding bahwa satu reog harus mengorbankan seekor harimau dan seekor burung merak yang notabene hewan langka. “Jadi, sekali lagi itu, tudingan salah kaprah,” tandasnya.
Jawaban Kang Bupati ini, didasarkan pada dossier atau dokumen lengkap soal reog yang merupakan warisan budaya tak benda (WBTB) ke United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Disebutkan, bahwa bahan dasar barongan berasal dari kulit kambing atau sapi yang dilukis. Sedangkan tatanan bulu penghias dadak merak berasal dari burung merak yang secara periodik berganti bulu.
Kemudian, lanjut Kang Bupati, perajin melukis kulit kambing atau sapi menyerupai motif kulit harimau. Hasilnya lebih artistik karena pola menyesuaikan keinginan pelukis. Sedangkan kebutuhan bulu merak menunggu burung merak yang mengalami fase berganti bulu secara periodik. ‘’Kami juga mendorong adanya penangkaran burung merak,’’ tandasnya.
Ke depan, Kang Bupati bercita-cita kerajinan Reog Ponorogo lebih ramah lingkungan. Yakni, memanfaatkan bahan sintetis sehingga tidak lagi bergantung pada kulit dan bulu hewan. Namun, upaya mengganti bahan baku itu harus melalui kajian akademis yang melibatkan kalangan perguruan tinggi.
‘’Perlu kesepakatan dulu dengan masyarakat luas supaya anak cucu kita tidak kehilangan gengsi ketika membuat reog yang ramah lingkungan,” terangnya.
Karena, lanjut Kang Bupati, menggeser pembuatan reog ke bahan sintetis membutuhkan waktu. Dia tidak menginginkan penggantian bahan baku sebelum ada kesepakatan bersama itu memunculkan persepsi reog palsu.
‘’Intinya, semua pertanyaan UNESCO yang sudah bertahun-tahun akhirnya bisa terjawab. Jawaban disusun detail, terencana, dan tereksekusi dengan baik,’’ ungkapnya mengakhiri penjelasannya.