Rendah hati dan Saling Menghargai, Prinsip Islam Menyikapi Perbedaan
Perbedaan di tengah umat Islam, terjadi di setiap zaman. Namun, hal itu tak segera menjadikan perpecahan. Karena pandangan dan ajaran Islam menekankan pentingnya mengikat tali persaudaraan. Sedang soal perbedaan pandangan merupakan bagian dari rahmat.
KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar el-Quran Arjawinangun, Cirebon, mempunyai catatan kecil dalam hal mengatasi masalah perbedaan itu:
Aku selalu teringat kata-kata ulama besar Indonesia, mufassir besar. Prof. Quraish Shihab mengatakan : "Tidak cukup untuk memahami Al-Quran hanya melalui terjemahan".
Wouw. Dan aku membaca karya masterpeace Imam al Ghazali : Ihya Ulum al Din. Katanya :
قال الغزالى فى الاحياء : فاعلم ان من زعم ان لا معنى للقرآن الا ما ترجمه ظاهر التفسير فهو مخبر عن حد نفسه وهو مصيب فى الاخبار عن نفسه ولكنه مخطئ فى الحكم برد الخلق كافة الى درجته التى هى حده ومحطه بل الاخبار والاثار تدل على ان فى معانى القرآن متسعا لارباب الفهم. .
Ketahuilah bahwa orang yang beranggapan bahwa Al-Quran hanya bisa dimaknai menurut makna literalnya (tersurat, harfiyah) maka dia adalah orang yang sedang memberitahukan keterbatasan pengetahuannya. Dia benar dalam hal pemberitahuannya itu untuk dirinya sendiri. Tetapi dia keliru jika hal itu harus diberlakukan untuk orang lain. Banyak hadits dan sumber dari sahabat Nabi yang menunjuklan bahwa Al-Quran itu memuat makna yang sangat luas bagi orang-orang yang cerdas dan pintar".
Aku bergumam sendiri : Ini sungguh luar biasa. Saat aku belajar di pesantren dan di PTIQ dahulu kala 1973-1979, aku diajari : Al-Qur'an mengandung banyak sekali kata bermakna metafora, majaz, kinayah, kiasan, "idhmar",(tersembunyi) dan sejenisnya. Kata perintah (amr) tidak selalu berarti harus/wajib dilakukan, malah bisa bermakna ancaman, dll. Kata "jangan" tidak selalu bermakna larangan keras. Ia bisa bermakna anjuran untuk menghindari, tak patut secara tradisi, dll. . Kata tanya (istifham) tidak selalu minta jawaban, malah justeru merupakan kritik keras (istifham inkari). Huruf-huruf hanyalah simbol atau kode. Dll.
Pengetahuan tentang makna-makna ini ditempuh bukan hanya melalui makna literal seperti dalam kamus bahasa, tetapi juga melalui kajian sastra, logika dan sejarah sosial, budaya dan peradaban.
Perbedaan adalah Rahmat
Malam ini, 10 Agustustus 2024, pukul 21.00, aku diundang untuk menutup acara khataman Al-Qur'an di rumah seorang teman. Usai do'a aku menyampaikan penjelasan sedikit tentang makna ayat. Bahwa setiap kalimat dalam Al-Quran itu mengandung makna yang sangat luas. Lalu ada yang tanya. Mengapa banyak perbedaan pendapat masyarakat.
Aku menjawab singkat. Keragaman pikiran adalah keniscayaan hidup, karena ruang dan waktu serta pengetahuan manusia yang berbeda.
Tentang hal ini betapa menariknya pernyataan Amir Al Mukminin Umar bin Abdul Aziz berikut ini.
ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة
"Aku kurang senang jika para sahabat Nabi tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka tidak berbeda pendapat, kita tak punya kemudahan/memilih."
Fârûq Abû Zaid dalam bukunya “Al-Syarî’ah al-Islâmiyah baina al-Muhâfizhîn wa al-Mujaddidîn” (Syari’ah Islam antara tradisionalis dan modern) mengatakan :
أن مذاهب الفقه الاسلامى ليست سوى إنعكاس لتطور الحياة الاجتماعية فى العالم الاسلامى
“mazhab-mazhab (aliran-aliran) keagamaan dalam fiqh Islam sejatinya adalah refleksi sosio-kultural mereka masing-masing”. (h. 16)
Menyikapi Perbedaan
Lalu bagaimana para pendiri mazhab (Aimmah al-Madzahib) menyikapi pandangan orang lain yang berbeda dengan dirinya?. Sejarah mencatat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling toleran terhadap pandangan orang lain, saling rendah hati dan saling menghargai.
Imam Abu Hanifah, pemikir fiqih rasionalis, misalnya dengan rendah hati mengatakan : “Inilah pandanganku yang terbaik yang bisa aku temukan dari eksplorasi intelektualku atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi (Hadits). Jika ada temuan yang lebih baik, aku akan menghargainya”.
Begitu juga para Imam mujtahid yang lain, menyampaikan hal yang senada. Imam al-Syafi'i , pendiri aliran fiqih moderat, mengatakan :
راينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب
"Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan keliru. Pendapat orang lain keliru, tapi mengandung kemungkinan benar".
Uraian tentang hal ini masih panjang. Ada cerita dan dongeng yang menarik dan lucu.
Betapa toleran dan rendah hati para ulama besar itu. Hal ini karena pengetahuan mereka sangat luas. Semakin tinggi dan luas ilmu seseorang, dia semakin toleran. Sebaliknya semakin dangkal ilmu seseorang, semakin kaku, mudah menyalahkan orang lain dan tidak toleran.
Demikian catatan KH Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Dar el-Quran, Arjawinangun, Cirebon. (11.08.24/HM)