Rencana Pembangunan Gedung dan Apartemen DPR-RI itu Program Dewan atau Pribadi?
Jakarta: Rencana pembangunan gedung baru sekaligus apartamen untuk anggota DPR-RI itu merupakan program DPR sebagai lembaga atau usulan pribadi pimpinan? Kok banyak anggota DPR yang tidak tahu menahu mengenai rencana proyek yang menghabiskan anggaran hampir Rp 564 miliar ini.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menegaskan, harus diklarifikasi dahulu apakah ini program DPR atau masih pendapat pribadi satu dua orang di pimpinan DPR, kata Hidayat di kantor Wapres di Jakarta, Selasa (15/8).
Menurut dia, jika wacana tersebut merupakan program DPR tentunya sudah dibahas sebelumnya.
"Jadi pimpinan DPR yang menyampaikan hal ini perlu ditanya, ini program DPR atau program pribadi, maksudnya pernyataan pribadi, ya tentu DPR bukanlah kepentingan pribadi tapi kalau itu usulan misalnya, saya pikir DPR penting memposisikan sebagai wakil rakyat yang lagi kesusahan untuk banyak hal," tambah dia.
Hal ini menurut Hidayat menunjukkan bukti bahwa DPR yang sudah melaksanakan amanah rakyat terkait masalah kinerjanya, terkait masalah citranya dan juga komitmennya untuk membela rakyat.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah melontarkan wacana, soal pembangunan gedung baru dan apartemen di kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, menggunakan anggaran dari swasta.
Fahri beralasan, pembangunan apartemen tersebut untuk dikontrak oleh anggota DPR RI dan DPD RI, sehingga tidak jauh untuk berkantor di kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, di Senayan, Jakarta.
Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI, Anton Sihombing, mengatakan wacana pembangunan gedung baru dan apartemen ini dengan pertimbangan gedung Nusantara I penggunanya sudah semakin padat sehingga perlu dibangun gedung yang lebih layak.
Anton menjelaskan, gedung Nusantara I dibangun tahun 1992 hingga 1995 dan saat itu untuk kapasitas 800 orang.
Sementara Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai rencana pembangunan gedung baru DPR tinggal menunggu realisasinya karena sudah sempat dianggarkan tahun 2016-2017 namun tidak terserap sehingga dikembalikan kepada negara.
"Ini tidak mengajukan karena sudah dialokasikan antara tahun 2016-2017 namun tidak terserap sehingga dikembalikan ke negara karena ketentuan Undang-Undang seperti itu," kata Taufik di Jakarta, Selasa.
Anggaran untuk penataan kawasan parlemen yang salah satu poinnya untuk membangun gedung baru, sebenarnya sudah disetujui sekitar Rp564 miliar untuk tahun 2016 dan sudah turun di satuan kerja DPR.
Taufik menjelaskan pembangunan gedung baru itu sudah mengundang ikatan arsitek terkait kajiannya dan telah ada tim lelang namun saat ini menjadi polemik karena ada usulan membangun apartemen bagi anggota DPR.
Menurut dia anggaran pembangunan gedung baru sudah dianggarkan dan telah disetujui pemerintah namun ketika 2016-2017 ada dinamika politik sehingga belum bisa direalisasikan.
"Kalau tahun 2018 direalisasikan tidak ada masalah, ini kan hanya karena masalah teknis saja," ujarnya.
Selain itu Taufik mengatakan rencana pembangunan apartemen masih berupa wacana dan yang terpenting kompleks parlemen tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan UU.
Menurut dia wacana pembangunan apartemen sebenarnya tidak perlu menjadi polemik agar tidak mengganggu tugas anggota dewan.
"Apartemen itu baru wacana dan sebenarnya tidak perlu dipolemikan sehingga tugas-tugas DPR jadi terabaikan. Tapi namanya wacana dan pendapat sah-sah saja sehingga itu jangan dianggap sebagai keputusan DPR, lebih baik bicara yang pasti-pasti saja," katanya.
Dia menjelaskan wacana tersebut muncul setelah rencana membangun mal di atas lahan bekas Taman Ria, Senayan, ditolak anggota DPR periode 2009-2014.
Taufik mengusulkan supaya lahan milik Sekretariat Negara tersebut digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan swasta dan kelompok tertentu.
"Jadi kalau tidak apartemen, tapi hutan lindung kota, ya boleh-boleh saja. Karena lahan milik Setneg itu harus dikembalikan ke rakyat, jangan dibuat mall," ujarnya.
Sebelumnya Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Aziz Syamsuddin menjelaskan bahwa anggaran untuk penataan kawasan parlemen sebenarnya sudah disetujui sekitar Rp564 miliar untuk tahun 2016 dan sudah turun di satuan kerja DPR.
"Itu tergantung pengelolaannya di Kesekjenan DPR, kami hanya kebijakan anggaran. Tapi anggaran itu sudah pernah disetujui pemerintah pada 1,5 tahun yang lalu," ujarnya.
Aziz enggan menjelaskan terkait anggaran untuk penataan kawasan parlemen sekitar Rp564 miliar itu apakah sudah habis digunakan atau masih ada sisa.
Menurut dia pihak yang berhak menjelaskannya adalah Kesekjenan DPR yang menggunakan anggaran tersebut.
"Tanya Sekjen DPR dong, jangan tanya saya nanti seolah-olah saya tahu semua," katanya.
Menurut dia terkait pembagian anggaran DPR untuk pos mana saja diajukan oleh BURT dan Kesekjenan DPR lalu mengajukan surat ke Banggar DPR untuk dibahas bersama.
Politisi Partai Golkar itu mengatakan Banggar DPR menunggu surat dari BURT DPR untuk membahas pembagian anggaran DPR tahun 2018 karena pihaknya tidak bisa membahas tanpa ada surat.
"September baru kami bahas," ujarnya.
Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Anton Sihombing membantah usulan kenaikan anggaran DPR mencapai Rp7,25 triliun untuk tahun anggaran 2018.
Anton menyebut DPR mengusulkan kenaikan sekitar Rp5,7 triliun untuk Satuan Kerja Dewan dan Sekretariat Jenderal DPR.
Adapun rincian dari total Rp 5,7 triliun itu, anggaran untuk Satuan Kerja Dewan sebesar Rp4 triliun dan Rp1,7 triliun untuk satuan kerja Sekretariat Jenderal DPR.
Usulan kenaikan anggaran DPR tahun anggaran 2018, kata Anton akan dibahas setelah Presiden Joko Widodo membacakan nota keuangan pada sidang tahunan MPR-DPR-DPD pada 16 Agustus mendatang. Hasil nota keuangan itu akan dibawa dan dibahas di Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Anton menjelaskan rencananya dari total usulan kenaikan anggaran itu akan dipergunakan untuk penataan kawasan DPR seperti pembangunan apartemen bagi anggota-anggota dewan. (ant)