Religius dan Nasionalisme Kaum Santri, Jadikan Indonesia Damai
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengingatkan, religius Islam dan Nasionalisme menjadi konsep yang selaras dan serasi. Hal itu merupakan konsep yang telah digariskan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, Pendiri NU.
Keselarasan religius dan nasionalis, adalah produk pengajaran pondok pesantren, yang merupakan basis pendidikan yang telah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka.
"Spirit agama dan nasionalisme harus saling bersinergi untuk membangun peradaban Islam yang damai dan terhindar dari konflik. Tanpa mempersatukan keduanya, konflik antar kelompok dan golongan tak mungkin bisa dihindarkan," tutur Kiai Said.
Hal itu diungkapkan Kiai Said Aqil Siroj, di Aula PWNU Jatim di Surabaya, Kamis 17 Oktober 2019 malam. Acara tersebut dihadiri sejumlah kalangan pendidik di lingkungan NU, guru-guru pesantren dan LP Maarif NU, serta anggota Pergunu.
Selain itu, dalam acara yang dipandu Prof Akhmad Muzakki, Sekretaris PWNU Jatim, memberikan gambaran betapa pendidikan di lingkungan NU dan pesantren merupakan laboratorium menanamkan nilai-nilai Islam ala Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) An-Nahdliyah.
Sebelumnya, sejumlah Rektor di lingkungan Perguruan Tinggi NU, juga menyampaikan pesan-pesan penting. Acara pendahuluan ini, dipandu Prof KH Abd A'la, menghadirkan antara lain, dari Unisma Malang, Unusa Surabaya, dll.
Pada bagian lain, Kiai Said Aqil menyampaikan perbandingan antara Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah.
"Di Timur Tengah, yang agamawan atau religius tidak bisa ketemu dengan nasionalis. Seorang ulama, ya tidak pernah bersentuhan dengan nasionalis. Ini berbeda dengan kita di Indonesia," tuturnya.
Hal itu telah terbukti dengan konflik sektarianisme yang melanda Timur Tengah dan sampai saat ini pun belum bisa damai.
Menurut Kiai Said, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok yang memiliki pandangan jauh ke depan, yaitu mensinergikan antara spirit agama dan nasionalisme.
Di Timur Tengah, para ulama banyak yang tidak nasionalis, sedangkan para nasionalis bukan ulama. Akibatnya, nasionalisme dan agama kerapkali bertentangan yang kemudian melahirkan konflik sektarianisme.
“Jauh sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi, sebelum berdirinya NKRI, KH Hasyim Asy’ari sudah mempunyai nadhrotul wajhah al-baidah (visi ke depan yang jauh), yaitu mensinergikan semangat Islam dan semangat nasionalisme,” jelas Kiai Said.
Kiai yang juga alumni Pesantren Lirboyo Kediri ini, menambahkan, beberapa negara-negara di Timur Tengah mayoritas berpenduduk Islam, namun konflik tetap terjadi. Hal itu membuktikan bahwa agama saja tidak bisa menyatukan ummat. Karena itu, agama dan nasionalisme harus menyatu.
“Terbukti sekarang Afghanistan seratus persen penduduknya Muslim, Somali seratus persen Muslim, tapi perang terus selama puluhan tahunkarena tidak punya komitmen wataniyah, tidak punya komitmen kebangsaan untuk menjaga keutuhan negerinya,” ungkapnya.
Menurut Kiai Said, semangat beragama harus diperkuat dengan semangat kebangsaan. Agama tanpa nasionalisme terbukti tidak mampu menyatukan ummat, sebaliknya nasionalisme tanpa agama tidak memiliki nilai-nilai. Karena itu, agama dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan.
“Islam saja belum bisa menyatukan ummat, harus diperkuat dengan semangat wataniyah, semangat kebangsaan. Nasionalisme akan menjadi kering, tidak punya nilai, kalau tidak diisi nilai-nilai spirit agama. Oleh karena itu, Islam dan nasionalisme jangan dipertentangkan,” tegasnya.