Relawan Peti Mati
Minggu ini betul-betul menjadi minggu duka. Bagi banyak orang di berbagai kota. Menimpa orang yang dekat dengan kita maupun yang tidak kita kenal sama sekali.
Yang makin menyesakkan, kita tidak bisa berbuat banyak untuk mereka. Baik yang sedang berjuang melawan Covid-19 maupun yang telah berpulang karena virus itu.
Tapi di tengah suasana duka dan penuh kecemasan itu, masih banyak yang terketuk hatinya. Dengan ikut berbuat apa saja. Yang bisa membantu pemerintah dan sesama.
Di Jogjakarta, sekelompok mantan aktifis Gelanggang Mahasiswa UGM tergerak mengerahkan relawan. Mereka membikin peti mati untuk disalurkan ke rumah sakit yang membutuhkan.
Mohamad Thoriq bilang, relawan peti mati ini lahir karena kematian akibat pandemi Covid-19 melonjak tajam. Seperti yang terjadi di kota-kota lainnya. Termasuk di Surabaya.
"Sementara kami membuat peti mati untuk membantu RS Sardjito dan RS Akademik UGM. Dananya dari donasi kawan-kawan," tambah Herlambang Y, relawan pembuat peti mati.
Pembuatan peti mati oleh para relawan itu dilakukan di rumah Indrawan Chapung, mantan aktifis Gelanggang juga. Ini menjadi gerakan bersama dalam menghadapi tingkat kematian yang tinggi di Jogja.
Thoriq adalah aktifis mahasiswa tahun 1980-an. Yang pernikahannya bikin heboh. Karena dikemas dalam bentuk seminar. Di kampus dengan mengerjai banyak orang. Termasuk Prof Kusnadi Hardjosumantri, rektor UGM saat itu.
Masih di kota yang sama, relawan pemulasaran dan pemakaman jenazah juga bermunculan. Salah satunya yang tergabung dalam MCCC (Muhamadiyah Covid Comment Center).
"PCM MCCC Kotagede hanya sanggup 2 atau 3 jenazah sehari. Karena personel terbatas. Di PCM lain lebih banyak jenazah yang ditangani," kata Pandit Pandito, relawan dan pemilik Narti's Silver, Kotagede.
Gelombang baru pandemi Covid-19 ini memang mencekam. Tingkat penularan dan kematian sangat tinggi. Tidak hanya di kota besar. Tapi juga di kota atau kabupaten menengah dan kecil.
Kluster baru bermunculan. Diantaranya justru dari klaster layatan. Yang masih menjadi tradisi kuat di masyarakat kita. Yang menganggap layatan sebagai tanggungjawab sosial.
Klaster ini yang menimpa salah satu sahabat saya paling setia, Hasan Sentot. Hansen panggilannya. Mantan wartawan SCTV. Ia meninggal di Banyuwangi karena Covid.
Istrinya sedan di Sidoarjo saat Hansen meninggal. Beri kabar 5 menit setelah Hansen menghembuskan nafas terakhir. Ia pun nyopir sendiri bersama dua anaknya yang masih kecil dini hari.
Hansen ke Banyuwangi karena ayahnya meninggal seminggu sebelumnya. Karena di desa, tak diketahui persis bapaknya meninggal karena Covid atau tidak.
Setelah itu, Puskesmas setempat melakukan swab untuk keluarga dan warga di sekitarnya. Hasilnya positif semua. Keluarga dan warga sekampung terpapar virus Corona.
Tiga hari setelah ayahnya meninggal, kakak perempuannya menyusul karena Covid. Setelah itu, Hansen menyusul dirawat di rumah sakit. Lima hari setelahnya, ia menyusul ayah dan kakaknya.
Kluster kaluarga yang terpapar karena layatan juga dialami wartawan senior Surabaya M Anis. Yang baru saja berduka karena mertuanya meninggal di rumahnya.
Meski mertuanya meninggal bukan karena Covid, akhirnya keluarganya terpapar semua. Diperkirakan dari para pelayat yang berdatangan ke rumahnya.
Yang pasti, setelah itu, istrinya positif Covid. Beberapa saudaranya dari luar kota juga demikian. Bahkan, beberapa meninggal dunia. Duka satu disusul duka lainnya.
Dalam situasi demikian, tampaknya diperlukan gandeng tangan semua pihak untuk melawan Pandemi Covid-19. Bukan saatnya lagi untuk saling menyalahkan.
Apalagi menuntut perlakuan khusus seperti wakil rakyat yang tak tahu malu. Yang minta rumah perlindungan untuk dirinya dan keluarganya. Bukan malah berbuat sesuatu untuk konstituennya.
Yang dibutuhkan sekarang adalah saling menguatkan satu sama lain. Sambil menjaga diri dan keluarganya dari kemungkinan terpapar Covid gelombang baru yang nggegirisi ini.
Lupakan dulu kepentingan politik. Fokuskan seluruh sumberdaya untuk bersama-sama menghadapi pandemi ini. Tidak perlu berpikir menjadi pahlawan kesiangan diantara kesedihan banyak orang.
Rakyat akan tahu pemimpin yang berbuat untuk mereka. Meski tanpa memasang baliho gambar diri di mana-mana. Apalagi di tengah-tengah warga sedang berjuang menghadapi ketidakpastian akibat pandemi.
Saya menjadi teringat kisah Socrates, seorang filsuf saat difitnah dan dihukum mati dengan meminum racun. Saat itu, ia disarankan untuk lari menghindari hukuman yang dijatuhkan kepadanya.
Ia menolak dan memilih menjalani hukumannya. "Ketika saya kabur dari hukuman ini maka saya meninggalkan kebenaran, dan disini dengan meminum racun ini saya bersama kebenaran itu sendiri," katanya.
Saatnya kita menghadapi situasi pandemi ini sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing. Pemerintah memberikan pelayanan maksimal, warganya patuh dan ikut berikhtiar agar pandemi ini segera sirna.
Advertisement