Relasi Nahdlatul Ulama dan Negara
Kita dilahirkan dan dibesarkan di negara Indonesia yang merupakan bangsa yang majemuk, memiliki keberagaman suku bangsa, ras, bahasa, agama, dan adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada dalam masyarakat. Terdata 17.504 pulau yang didalamnya ada 1.340 suku bangsa, 546 bahasa, dan 250an agama serta kepercayaan yang kesemuanya saling berinteraksi sebagai kesatuan bangsa dalam territorial NKRI.
Heterogenitas dalam masyarakat memberikan warna tersendiri dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Sebagai masyarakat majemuk, bangsa Indonesia harus mampu menghadapi realitas sosial dan masalah-masalah sosial lain yang sangat kompleks. Dalam upaya membentuk dan menjaga keberagaman dalam keserasian itu diperlukan berbagai upaya yang dapat membina sikap-sikap positif yang saling menghormati, menghargai, mengakui eksistensi, dan kerja sama di antara berbagai keanekaragaman dalam semangat kebangsaan .
Semangat kebangsaan merupakan salah satu aspek penting yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , untuk mempererat persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan keamanan dan kedaulatan bangsa yang kokoh sebagai syarat utama untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia .
Diantara sikap semangat kebangsaan adalah menyadari bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI pada zaman dahulu dilakukan bersama oleh berbagai suku, etnis dan agama yang ada di Indonesia. Perjuangan pahlawan di masa lalu sebagai bentuk dari sikap semangat kebangsaan harus mampu dirasakan oleh generasi sekarang dalam mengisi kemerdekaan, karena dengan menyadari perjuangan pendahulunya yang rela gugur di medan perang, maka masyarakat tidak akan menyia-nyiakan kemerdekaan yang dirasakan sekarang.
Kita mengetahui bahwa kemerdekaan dan terbentuknya negara Indonesia dipengaruhi banyak oleh eksistensi dan pergerakan ummat islam. Konsepsi Jihad kabangsaan melawan penjajah oleh pejuang muslim di masa lalu, memberikan gambaran utuh bahwa islam hadir sebagai pembentuk nasionalisme, atau lebih tepatnya cikal-bakal semangat kebangsaan. Karena dalam Islam sendiri, khususnya warga NU telah ditanamkan semangat mencintai tanah air merupakan bagian dari iman.
Pancasila Dan Kearifan NU Dalam Relasi Negara
Pada masa penjajahan, NU memiliki pandangan bahwa negara kita adalah dar al-islam. Ini termaktub dalam dokumen Muktamar ke-11 di Banjarmasin 1936 yang menyatakan: pertama, sebelum kedatangan penjajah Belanda, mayoritas penduduk di wilayah Nusantara beragama Islam, dengan demikian ia berstatus sebagai dar al-islam. Kedua, kendati di bawah pemerintah kolonial Belanda yang beragama Kristen, namun praktek keagamaan berdasarkan Islam di Nusantara tetap boleh berlangsung.
Ini menunjukkan penolakan NU terhadap kolonialisme Belanda saat itu yang jelas-jelas membawa misi gold (kekayaan), glory (kejayaan/kekuasaan), dan gospel (gereja / misi kristenisasi). Muktamar NU menyatakan nusantara sebagai dar al-islam atau negara islam berarti menyatakan diri terpisah serta tidak tunduk pada kekuasaan kolonial. Maka wajar jika NU saat itu berada pada garis perjuangan menuju kemerdekaan.
Pada tanggal 22 Oktober 1945 yang merupakan masa transisi krusial, NU mengeluarkan sebuah fatwa yang sangat terkenal yakni “Resolusi Jihad” melawan Kekuasaan asing yang ingin kembali menjadikan negeri kita sebagai bagian dari koloninya , fatwa jihad Mbah Hasyim mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan pada tiga bulan sebelumnya terbukti mampu menjadi bahan bakar semangat rakyat Indonesia untuk mengangkat senjata menolak kekuatan asing.
Fatwa jihad tersebut mewajibkan kaum muslim ber-jihad fi sabilillah bagi siapa saja yang berada dalam radius 80 kilometer dari medan pertempuran serta menghukumi syahid bagi siapapun yang gugur dalam pertempuran tersebut. Heroisme masyarakat tak terbendung lagi hingga semua kekuatan asing yang tersisa maupun yang baru tiba terpukul mundur dalam perang bersejarah 10 nopember di Surabaya .
Pasca transisi kemerdekaan melawan pihak kolonialis, kearifan masyarakat Indonesia dirangkum dalam sebuah wadah ideologis, berkat konsensus para the founding fathers, maka lahirlah Pancasila sebagai dasar Ideologi bernegara jdan uga sebagai falsafah dan pandangan hidup kebangsaan. Falsafah inilah selanjutnya menjadi landasan masyarkat bangsa Indonesia bergerak dalam berbangsa dan bernegara .
Pada tahun 1954 terjadi perdebatan bagaimana keabsahan secara agama bagi wali hakim perempuan yang tidak memiliki nasab untuk pernikahannya dimana struktur negara bukanlah negara islam. disini NU memberi alternatif solutif dengan memberikan gelar waliyyul amri ad-dhoruri bissyaukah pada Bung Karno yang maknanya adalah pemegang kekuasaan temporer yang secara de facto berkuasa. Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 yang meneguhkan hal tersebut yang mengandung makna secara fiqh tidak ada persoalan dengan keabsahan hukum islam pada masalah wali hakim yang diangkat oleh pemerintahan yang sah .
Selanjutnya, Posisi penerimaan NU terhadap Pancasila dikukuhkan dalam keputusan muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, telah disepakati bahwa bentuk negara NKRI Bagi NU sudah final, butir-butir sila Pancasila telah menggambarkan bahwa bangsa ini memiliki semangat dan cita-cita besar bagi peradaban dunia yang berketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Lima butir sila ini, secara berurutandinilai telah selaras dengan konsepsi keislaman yang mengajarkan: fondasi tauhid, konsepsi akhlak dan keberadaban, prinsip persaudaraan dan persatuan, prinsip musyawarah, dan cita-cita keadilan dan kemakmuran.
Semua ini adalah bukti rangkaian sejarah bahwa Ummat Islam khususnya NU, memiliki peran strategis dalam membangun semangat perjuangan menghadapi kolonialisme sekaligus sebagai faktor pemersatu bangsa dan negara , hingga Wajar jika sampai hari ini kita berada di barisan terdepan untuk menjaga dan merawat NKRI.
Tugas Para Kader NU dalam Merespon Isu Aktual
Posisi NU yang demikian strategis semenjak gagasan pendirian bangsa kita sebagai negara merdeka memberi peluang keterlibatan warganya untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa , warga NU harus mampu ikut serta mengisi kemerdekaan dan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta terus menjaga kedaulatan NKRI dari ancaman berbagai faham dan aliran yang berpotensi memecah belah bangsa , Para pendahulu kita telah memberi dasar yang kuat bagi posisi kita hari ini. Maka tugas kita adalah merespon isu aktual dengan tetap berpegang pada kebijakan dasar dari organisasi NU untuk mempertahankan NKRI .
Sedapat mungkin kita jangan menjadi kelompok yanghanya reaksioner terhadap isu pihak lain , namun juga harus mampu menjadi penggagas terdepan dalam berbagai isu kebangsaan berlandaskan pemikiran aswaja , Pemikiran dan gagasan keislaman ala aswaja NU harus menjadi pola pikir mainstream ummat islam Indonesia. Jumlah ummat kita yang sedemikian nyata besarnya harus dijaga kekompakannya dan diarahkan untuk menjadi kekuatan membangun bangsa dan negara , serta harus dipimpin dengan penuh amanah untuk pemberdayaan warganya dengan keputusan-keputusan strategis organisasi yang bermanfaat . ummat kita Tidak boleh diombang-ambingkan oleh issu pihak lain yang sebenarnya relatif kecil dansedang terus berupaya merekrut jamaah kita .
Demikian juga potensi kita dalam kepemimpinan sosial kemasyarakatan maupun politik pemerintahan. Modal sosial kita yang sangat besar ini haruslah digunakan secara maksimal dengan bijaksana untuk mengisi posisi-posisi strategis formal di berbagai bidang agar segala sumber daya bisa digerakkan semaksimal mungkin untuk mendukung perjuangan kita membesarkan jam’iyyah dan memperkuat jama’ah.
Penutup
Diperlukan terus pembinaan para kader berkelanjutan untuk mempersiapkan calon pemimpin masa depan NU sekaligus menjadi negarawan nasionalis religius dengan karakter khas pemimpin NU yang ramah ; Tawassuth , tasamuh dan tawazun , berfaham aswaja yang moderat, toleran, dan selalu memperkuat tiga ukhuwah , yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Ke depan, posisi strategis para kader NU dalam konstelasi kebangsaan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa merugikan organisasi. Bahkan sebaliknya, semua kader NU dalam posisi manapun harus memberikan kontribusi terbaik untuk mambangun jam’iyyah NU dan saling memperkuat sesama kader sebagai sebuah jaringan.
*)Dr. KH. Ahmad Fahrur Rozi, Penulis adalah pengasuh pondok pesantren Annur Bululawang Malang dan Wakil Ketua PWNU Jatim .