Relasi Agama dan Negara
Agama dan negara mempunyai persinggungan penting dalam pelbagai hal. Politik dan kecintaan terhadap tanah air, merupakan bagian yang selalu hangat didiskusikan.
Ketidakjelasan hubungan di antara keduana, sebenarnya telah terjelaskan dalam sejumlah khazanah pesantren. Namun, selalu perlu dihangatkan dengan kasus-kasus terbaru.
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara agama dan negara? Berikut ungkapan selintas namun memudahkan untuk dipahami:
"Situasi dan kondisi Agama dan Negara saat ini tampak semrawut, tidak jelas. Tak ada sinkronisasi antara gagasan dasar, filosofi, fondasi dan idealitas keduanya dengan realitas. Ilmu pengetahuan tak berkembang, bahkan semakin terbelakang".
Ini kata seorang teman, melalui telpon dan WA. Lalu dia bertanya tentang teori relasi agama dan negara dalam Islam.
Aku mikir dan aku ingat kembali, bulan puasa tahun lalu aku ngaji kitab "Al Tibr al Masbuk fi Nashihah al Muluk", karya Hujjah al Islam, Imam Abu Hamid al Ghazali. Buku ini bicara tentang Etika bernegara dan ditujukan kepada Pemerintahan Dinastik pada zamannya. Beliau antara lain mengatakan:
الدين والملك توأمان. مثل اخوين. ولدا من بطن واحد
"Agama dan negara bagaikan saudara kembar. Keduanya lahir dari satu sumber"
Imam Al-Ghazali dan Kitab Ihya’
Dan dalam buku masterpiece-nya "Ihya Ulum al Din", juz 1, hlm. 17, beliau mengatakan :
الدين اس والسلطان حارس، وما لا أس له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع.
"Agama adalah fondasi dan Negara/pemerintah adalah penjaganya. Bangunan apa pun tanpa fondasi akan hancur dan apa saja tanpa ada yang menjaga akan sia-sia, hilang".
Bahasa lain adalah Agama bagai Ruh. Negara bagai Tubuh.
Sementara Imam Al Mawardi dalam karyanya yang terkenal "Adab al Dunya wa al Din" mengutip pernyataan Abd Allah al Mu'taz mengatakan :
الْمُلْكُ بِالدِّينِ يَبْقَى، وَالدِّينُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى.
"Kekuasaan atau negara yang ditopang oleh agama, akan abadi (bertahan), dan Agama yang ditopang oleh kekuasaan, akan kuat.".
Lalu aku segera memberi makna kata " Al-Din", dengan mengatakan bahwa makna " Al Din" adalah al Akhlaq al Karimah, moralitas luhur (moralitas kemanusiaan) , bukan sekedar identitas atau formalitas keyakinan metafisis, tentang keberadaan Tuhan dan kehidupan sesudah kematian di sini. Bukan juga sekedar ritual
dan upacara ibadah personal atau banyaknya tempat-tempat ibadah yang megah di mana-mana.
Ini karena ia (al Akhlaq al Karimah/moralitas kemanusiaan) adalah visi dari keyakinan Tauhid/ ke Esa-an Tuhan (Tauhid).
Dan sangatlah menarik pernyataan Iskandar Agung (Alexander the Great) w. 323 SM, murid Aristoteles , filsuf besar itu ketika ia mengatakan :
لولا العلم ما قامت الدنيا ولا استقامت المملكة
Andai tak ada ilmu, dunia tak akan tegak. Dan kekuasaan akan terguncaeang-guncang, tak stabil.
Ini mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan yang benar dan maju adalah basis peradaban yang sukses. Iskandar adalah pemimpin yang sukses menguasai dunia, Timur dan Barat.
Imam al Ghazali juga mengatakan :
Kehancuran sebuah negara bukan disebabkan oleh masalah keyakinan agama rakyatnya, melainkan oleh ketidakadilan/kezaliman para pemimpinnya. Lalu beliau menginformasikan kepada kita bahwa bangsa penganut Zoroastrian (Majusi) adalah bangsa yang sukses besar selama berabad-abad. Kegemilangan bangsa itu lebih disebabkan oleh kebijakan pemimpinnya yang adil. Hukum ditegakkan dengan adil, tidak mempraktikkan hukum yang zalim : “tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Agama mereka mengharamkan praktik-praktik kezaliman tersebut. Mereka juga bekerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan rakyatnya. (Ghazali, al Tibr al Masbuk fi Nasihah al Muluk, hlm. 50).
Ibnu Rusyd, seorang filosof Islam dan ahli hukum terkemuka zaman klasik, mendefinisikan pemimpin yang zalim itu. Katanya :
اَنَّ الْحَاكِمَ الظَّالمِ هُو الَّذِى يَحْكُمُ الشَّعْبَ مِنْ أَجْلِ نَفْسِهِ لَا مِنْ أَجْلِ الشَّعْبِ
“Pemimpin yang zalim adalah orang yang mengatur bangsanya hanya untuk mencari keuntungan dan kesenangan bagi dirinya dan bukan demi kepentingan bangsanya”.
(07.01.2025/HM)
KH Husein Muhammad
Advertisement