Rela Menanggung Luka, Ini Jejak Laku Gus Dur (2)
KH Husein Muhammad menulis, "Para tokoh bijak-bestari (Hukama) dalam sejarahnya, memang, bukan hanya disumpah-serapah dan dibenci, tetapi juga dikafirkan, dibid’ahkan, dizindiq-kan (dituduh atheis). Dan ingin dilenyapkan oleh mereka yang tak matang secara intelektual dan spiritual, atau oleh mereka yang pikirannya tergantung pada bentuk-bentuk kredo formal dan teks-teks literal keagamaan atau oleh fanatisme pada kebenaran diri sendiri dan buta pada kebenaran yang lain."
Berikut lanjutan dari kesan-kesan indah tentang KH Abdurrahman Wahid, bersama Kiai Husein Muhammad, yang alumni Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir:
Imam Al-Ghazali, sang sufi besar menyebut orang-orang yang mudah menyalahkan, mensesatkan apalagi mengkafirkan orang lain sebagai “orang-orang yang memiliki pengetahuan terbatas, sangat dangkal, atau sebatas kulit belaka".
Pada masa sebelum Nabi orang-orang seperti itu disebut "Juhala", kata plural dari kata "jahil". Kata itu secara literal berarti orang-orang bodoh. Tetapi sesungguhnya adalah mereka yang tak mengerti hak-hak kemanusiaan orang lain, sifat lekas marah, mengagumi diri sendiri dan fanatisme yang tinggi (terhadap kelompoknya), keangkuhan, ekstrim, dan di atas semua itu, kecenderungan kronis kepada kekerasan dan pembalasan dendam.
Imam al-Ghazali selanjutnya mengatakan seyogyanya keterbatasan pengetahuan dan kedangkalannya itu hanya bagi dirinya sendiri dan tak boleh dipaksakan kepada yang lain. Mereka itu tak mengerti bahwa setiap kata-kata suci mengandung beribu makna. Tak ada makna tunggal yang pasti. Setiap kata atau kalimat dalam Al-Qur'an mengandung makna berlapis-lapis.
Boleh jadi mereka yang mengaku atau mengklaim paling benar sendiri sambil membodoh-bodohkan orang lain atau, melukai dan menyerang orang lain itu, sesungguhnya tak lebih dari orang-orang yang gelisah atas kondisi ketakberdayaan diri dan ketakutan yang berlebih.
Fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme, kata seorang psikolog, adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian, dari kebingungan yang akut, dari kecemasan yang menghantui dadanya dan rasa ketidakmampuan mengatasinya.
Saya acap mengatakan : semakin dangkal pengetahuan seseorang, dadanya makin sempit. Ekspresinya mudah marah dan menuduh sesat orang lain, karena tak punya alternatif dan argumen cerdas atas masalah yang dihadapinya. Mereka bagai anak-anak. Sebaliknya semakin tinggi dan luas berpengetahuan orang, dadanya terbentang luas dan menghargai pilihan-pilihan orang lain. Mereka mengerti banyak jalan menuju puncak harapan.
23.12.19
HM