Rekontekstualisasi Fikih dalam Keluarga, Solusi Tekan Kasus Perceraian di Jember
Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah (STDI) Imam Syafi’i menyikapi persoalan angka perceraian di Kabupaten Jember yang cukup tinggi. Salah satu yang bisa dilakukan dengan merekontekstualisasi Fikih dalam membangun pertahanan keluarga muslim.
Kegiatan itu dikemas dalam bentuk seminar nasional yang digelar di Hotel Fortuna Grande, Jember, Minggu, 12 Mei 2024.
Ketua STDI Jember Muhammad Arifin Badri mengatakan, jumlah perceraian di Kabupaten Jember cukup tinggi, bahkan sempat tertinggi di Jawa Timur. Pada tahun 2023 lalu, berdasarkan data yang dirilis Pengadilan Agama Jember, angka perceraian mencapai 5.344 kasus dari total pernikahan sebanyak 18.635.
Perceraian tersebut terjadi karena pasangan yang menjalani rumah tangga belum memiliki ilmu yang cukup untuk menyikapi konflik keluarga. Bahkan, dari hasil survei STDI Jember, mayoritas masyarakat Jember yang sudah menikah belum memahami tugas, hak, dan kewajiban mereka dalam sebuah rumah tangga.
Karena itu, melalui kegiatan itu, STDI Jember merekomendasikan kepada pemangku kebijakan agar dilakukan pembinaan pranikah. Jika perusahaan dilakukan prajabatan, maka pernikahan semestinya mendapatkan perhatian yang sama.
Selain itu, dalam momentum Pilkada Jember, calon Bupati Jember tahun 2024 direkomendasikan mencantumkan program pembinaan rumah tangga. Sebab, sejauh ini kampanye politik belum menyentuh aspek tersebut.
“Harus ada pembinaan pranikah untuk membentuk pola pikir dan etika. Kami melakukan survei, banyak pasangan muda belum memahami hak dan kewajiban. Mereka menikah hanya sebatas cinta, karena rupa dan harta,” katanya, saat konferensi pers, Minggu, 12 Mei 2024.
Selain itu, Muhammad Arifin Badri juga mengingatkan bahaya latah di era digital. Banyak kasus perceraian terjadi berawal dari konten yang diunggah di media sosial.
Parahnya, masyarakat belum bisa memilih antara perkara pribadi dan umum, sehingga semua kejadian sekan-akan perlu diunggah ke media sosial, bahkan salah pasangan memilih curhat di medsos daripada melakukan musyawarah mufakat.
Atas persoalan itu, STDI Jember juga membuka konsultasi daring terkait hukum Islam. Masyarakat yang memiliki persoalan dalam rumah tangga bisa melakukan konsultasi secara daring, melalui aplikasi.
“Salah satu yang perlu diedukasi agar masyarakat cerdas memanfaatkan media sosial. Kami membuat sarana konsultasi layanan rumah tangga. Tidak harus datang ke STDI, namun melalui aplikasi konsultasi Islam,” pungkasnya.
Sementara itu, salah satu pemateri Prof. Dr. H. Abu Yasid, Guru Besar Filsafat Hukum Islam UIN Sunan Ampel Surabaya mengatakan, dalam upaya menekan jumlah perceraian tidak bisa hanya mengandalkan salah satu pihak saja. Namun, semua harus berkolaborasi melakukan ikhtiar pertahanan keluarga.
Pemerintah juga haru peduli terhadap keilmuan dan kejiwaan masyarakat yang hendak melangsungkan pernikahan. Banyak pasangan suami istri yang tidak memiliki modal ilmu, agama, dan etika tidak bisa mempertahankan rumah tangga mereka.
Selain itu, masyarakat juga perlu diedukasi sejak dini terkait tujuan menikah berdasarkan hukum Islam. Sedikitnya, menikah memiliki tujuan penyaluran libido (syahwat), menjaga keturunan dan nasab, membangun cinta kasih, wadah pendewasaan, dan sebagai lembaga yang aman.
“Perceraian akibat KDRT, umumnya pengetahuan agama dan etika moral dan hukum Islam mereka masih kurang. Karena itu, diperlukan kematangan ilmu dan jiwa sebelum mengarungi rumah tangga. Belum bisa apa-apa sudah kawin, tak sampai setahun cerai,” ungkap pria yang menjabat Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Situbondo.
Sementara pemateri lain, Ketua Prodi Hukum Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Malang, Arif Zuhri mengatakan, salah satu solusi menyikapi tingginya jumlah perceraian dengan edukasi Fikih keluarga muslim. Sebab, jika tidak memahami ilmu, maka persoalan sepele bisa berujung perceraian.
Ketua Perkumpulan Akhwal Syakhsiyyah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta Kopertais Wilayah IV Surabaya itu juga mengatakan, tingginya angka perceraian di beberapa kabupaten di Jawa Timur, salah satunya karena masyarakat suka mengambil jalan pintas.
Saat ada persoalan rumah tangga, salah satu dari mereka langsung memilih jalan cerai atau talak. Padahal perceraian adalah langkah terakhir, saat konflik memang benar-benar membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa.
Dalam tahap ini, jangan sampai salah satu pihak mengumbar persoalan yang dialami dalam rumah tangga ke orang lain, apalagi diunggah ke media sosial. Musyawarah antar kedua belah pihak dilakukan untuk mencari solusi bersama.
Jika memang buntu, bisa ke tahap kedua, yakni mediasi, dengan melibatkan orang ke tiga. Dalam tahapan ini, segala upaya harus dilakukan, mulai mendatangkan anggota keluarga, tokoh masyarakat, maupun kiai. Jika tahapan kedua belum bisa mengatasi persoalan, maka bisa ke tahap ketiga, perceraian.
“Menjalani rumah tangga tidak cukup sekadar cinta dan kasih, tetapi juga harus dibekali ilmu. Mengatur dan mempertahankan rumah tangga adalah bagian dari jihad di jalan Allah,” pungkasnya.
Advertisement