Rekomendasi IMF, Imperialism Regulatory
Dana Moneter Internasional (IMF) meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel. Hal itu disebutkan dalam dokumen IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia.
Dalam dokumen itu disebutkan, direktur eksekutif IMF menyadari, Indonesia tengah fokus melakukan hilirisasi pada berbagai komoditas mentah seperti nikel. Langkah ini dinilai selaras dengan ambisi Tanah Air untuk menciptakan nilai tambah pada komoditas ekspor.
"Menarik investasi asing langsung dan memfasilitasi transfer keahlian dan teknologi," tulis dokumen tersebut.
Namun, direktur eksekutif IMF memberikan catatan, kebijakan harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kemudian, kebijakan juga harus dibentuk dengan tetap meminimalisir dampak efek rembetan ke wilayah lain.
"Terkait dengan hal tersebut, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis dokumen IMF.
Sementara, Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020. Langkah tersebut diambil dengan tujuan utama meningkatkan nilai tambah komoditas nikel.
Sontak para menteri Presiden Joko Widodo langsung pasang badan merespons. Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, menyarankan IMF untuk mengurusi negara bermasalah saja, ketimbang memberikan rekomendasi terkait hilirisasi.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akan bertemu langsung dengan pejabat IMF pada Agustus 2023. Dalam pertemuan itu, Luhut akan menjelaskan kebijakan mengenai larangan ekspor bijih nikel.
Kali ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati langsung menolak rekomendasi IMF itu. Bahkan, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut rekomendasi IMF sebagai bentuk "kolonialisme baru". Berikut pandangan Sri Mulyani dan Airlangga Hartarto (Redaksi)
1. Tolak Rekomendasi IMF
Soal rekomendasi pencabutan secara bertahap larangan ekspor nikel yang disampaikan oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). IMF memiliki hak untuk menyampaikan rekomendasi yang tertuang dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia itu.
Namun, Indonesia memiliki kedaulatan untuk menentukan arah kebijakan. IMF boleh punya pandangan, itu namanya article IV mereka, Indonesia punya kebijakan yang tujuannya perkuat struktur industri kita.
Larangan ekspor nikel merupakan bagian penting dari program hilirisasi nasional. Program hilirisasi itu akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Salah satunya terkait neraca perdagangan nasional. Dengan demikian, kebijakan larangan ekspor nikel dinilai menjadi baik bagi Tanah Air.
Kita memastikan, rekomendasi tersebut tidak ada kaitan dengan pembiayaan dari IMF. Apa lagi, Indonesia sudah tidak memiliki utang dari lembaga keuangan tersebut. Bukankah, IMF program tahun berapa itu, 1997-1998 atau 2000 awal? Dan waktu itu sudah dilunasi semua. Jadi tidak ada (utang). Memang sudah lama banget, kok kenapa sekarang tiba-tiba muncul. *)
2. Kolonialisme Baru, Imperialism Regulatory
Merespons rekomendasi Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) terkait pencabutan secara bertahap larangan ekspor bijih nikel. Pandangan berbeda terkait larangan ekspor nikel tidak hanya datang dari IMF, tapi juga dari Uni Eropa yang telah mengajukan dan memenangkan gugatan terhadap Indonesia di Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO).
Hal itu bukan cuma rekomendasi (pencabutan larangan ekspor nikel) tetapi juga keputusan dari WTO mengenai nikel. Meskipun demikian, Indonesia tetap berkomitmen dengan upaya hilirisasi yang dilakukan, sehingga pemerintah telah mengajukan banding terkait putusan WTO.
Upaya suatu negara atau organisasi internasional untuk mengatur kebijakan ekspor negara lain merupakan bentuk dari kolonialisme modern. Jadi kalau ada negara lain memaksa kita untuk mengekspor komoditas itu saya sering sebut sebagai imperialism regulatory, regulator yang imperialis.
Sekarang kolonialisme baru itu dilakukan dengan cara itu. Negara atau organisasi internasional yang menolak kebijakan penutupan keran ekspor komoditas tidak mengapresiasi upaya penciptaan nilai tambah yang dilakukan. Di mana kita diminta mengekspor komoditas-komoditas dan tidak boleh, dalam tanda petik, tidak mengapresiasi nilai tambah.**)
*) Disampaikan Menkeu Sri Mulyani, di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (4 Juli 2023).
**) Pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (4 Juli 2023).
Advertisement