REI Jatim: Dampak Penurunan Uang Muka KPR Tak Siginifikan
Bank Indonesia (BI) melonggarkan Loan to Value (LTV) atau aturan uang muka kepemilikin rumah kedua dan seterusnya menjadi 5 persen. Namun, relaksasi yang dikeluarkan BI ini tak serta merta bisa mengerek penjualan rumah.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia (DPD REI) Jawa Timur Dani Wahid, pelonggaran LTV itu tak akan signifikan jika tidak disertai bunga bank yang rendah. "Baru akan berarti kalau bunga KPR di bawah 1 digit," katanya kepada ngopibareng.id, Sabtu, 21 September 2019.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi kebijakan baru yang menurunkan LTV untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya menjadi 5 persen. Kebijakan yang menurunkan uang muka alias DP KPR ini akan berlaku mulai 2 Desember 2019.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, pelonggaran tersebut diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit. BI mencatat penyaluran kredit hingga Juli 2019 sebesar 9,7%. Ini melambat dari bulan sebelumnya sebesar 9,9%. Sementara KPR tercatat tumbuh 12,3%, melambat dibanding periode yang sama tahun lalu 13,7%.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung mengakui bahwa kebijakan ini untuk mendorong pertumbuhan KPR. Dia berharap kebijakan ini bisa mendorong pertumbuhan KPR di segmen-segmen tertentu. BI mentargetkan bisa tumbuh pada kisaran 10-12 persen.
Dalan pandangan Dani Wahid, kebijakan ini tidak akan banyak berpengaruh terhadap segmen bawah atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Untuk segmen ini pertumbuhannya sangat tergantung kepada ketersediaan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau subsidi dari pemerintah.
Padahal, lanjutnya, kuota FLPP ini sekarang habis. Presiden Joko Widodo telah berjanji akan menaikkan kuota FLPP saat bertemua asosiasi pengembang dari REI, Himpera, dan Appersi. Namun, berapa besar penambahan kuotanya belum dipastikan.
Dani menjelaskan, sebetulnya perbankan bisa mendorong pertumbuhan permintaan KPR jika tidak terlalu mengambil untung banyak dari bunga bank. Justru perbankan milik negara yang tergabung dalam Himbara tak bisa memberikan fasilitas KPR dengan bunga yang lebih rendah.
Dalam hitungan Dani Wahid, seharusnya bank bisa menyediakan KOR dengan bunga 2-3 persen di atas BI Rate 5,25 persen. "Tapi umumnya mengambil selisih bunga di atas 3 persen," kata pengembang Jatim berbasan subur ini.
Apalagi, Peraturan Standar Akuntasi Keuangan (PSAK) perbankan untuk penyaluran kredit sangat ketat. Selalu dikaitkan dengan kemampuan modal perbankan. Akibatnya, pembiayaan perbankan kita selama ini hanya berkisar 30 persen.
Toh demikian, Dani melihat kebijakan BI melonggarkan LTV ini bisa berpengaruh terhadap penjualan rumah di segmen atas. "Kebijakan ini akan mendorong para pemilik uang untuk kembali berinvestasi di sektor properti," tuturnya.
Dia berharap, untuk menggenjot bangkitnya bisnis properti, kebijakan BI ini masih diikuti kebijakan lainnya seperti suku bunga, penyaluran kredit oleh perbankan, dan perbaikan makro ekonomi lainnya.