Rehabilitasi, Vonis Langka untuk Pecandu Narkoba
Ramai-ramai artis terjerat narkoba, ujung-ujungnya sudah bisa diduga jika mereka akan mengajukan rehabilitasi untuk hindari kurungan penjara. Pertanyaannya, layakkah mereka mendapatkan rehabilitasi? Apa syarat untuk mendapat rehabilitasi? Bagaimana kehidupan saat jalani rehabilitasi? Berikut tulisan panjang soal rehabilitasi pecandu narkoba.
Namanya Faiz, usianya baru sekitar 16 tahun. Masih tergolong anak-anak kalau menurut undang-undang. Meski masih anak-anak, kalau urusan mabuk dia jagonya. Setiap hari dia terbiasa mengkonsumsi pil double L. Harganya cukup terjangkau untuk kantong anak-anak. Hanya Rp. 10.000 berisi sepuluh butir.
Tak hanya konsumsi double L tiap hari, Faiz juga akrab dengan alkohol. Apalagi setelah putus sekolah SMP, dia memilih bekerja daripada melanjutkan SMA. Dia bekerja di tambak udang sekitar Kenjeran, Surabaya. Di lingkungan, orang dewasa ini, kebiasaan mabuk Faiz seakan terfasilitasi. “Orang tambak memang kebiasaannya mabuk. Saya selalu diajak, kalau mereka ada acara,” kata dia.
Sabu pun, dia juga sudah akrab, meski tak terlalu sering. Harganya masih terlalu mahal baginya. Pasar gelap, sabu paket hemat biasanya dijual antara Rp 200.000-250.000. Faiz masih pikir-pikir kalau harus membeli sabu sendiri. Kalau mau nyabu, bisanya dia patungan dengan teman-temannya.
Beberapa waktu lalu, dia kena getahnya. Usai nyabu bersama dengan teman-temannya, dia kena garuk Satuan Polisi Pamong Praja. Ceritanya, Sabtu pagi dia diajak teman-temannya untuk nyabu. Kali ini, dia tak perlu patungan. Faiz cukup menyediakan tempat untuk nyabu. Kamar kos orangtuanya jadi pilihan. Karena kalau malam, kedua orangtua Faiz bekerja di pasar.
Aman nyabu di rumah kost orangtuanya, dinihari Faiz nongkrong nonton balap motor liar di daerah Ngagel Surabaya. Sial, karena saat itu ada garukan Polisi Pamong Praja. Faiz tertangkap karena tak punya KTP. Faiz dibawa ke kantor Satpol PP. Sial kedua yang dialami Faiz, dia dites urinenya. Hasilnya, positif menggunakan sabu-sabu. Malam itu pun, dia harus menginap di Kantor Satpol PP Surabaya. “Paginya ibu datang, nangis-nangis melihat saya ditangkap. Kasihan ibu,” kata Faiz.
Tak hanya menginap di kantor Satpol PP, Faiz pun sempat masuk Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, Surabaya dan Kantor Badan Narkotika Nasional (BNN) Surabaya, semalam. Di kantor BNN, Faiz tak sampai dipenjara. Tapi tangannya tetap diborgol. “Paginya suruh ngepel kantor BNN,” kata dia. Baru kemudian Faiz dimasukan di tempat rehabilitasi di Bambu Nusantara Surabaya.
Sudah hampir tiga bulan Faiz jalani rehabilitasi kecanduan di Rumah Rehabilitasi Bambu Nusantara, Surabaya. Saat dikunjungi, pagi itu Faiz bersama dengan delapan orang lainnya orang pria duduk bersila sambil melingkar. Semua hanya bercelana pendek dan berkaos oblong. Faiz umurnya yang paling kecil di antara delapan orang lainnya. Mereka adalah para pecandu yang sedang menjalani rehabilitasi. Pagi itu, mereka akan menjalani sesi morning meeting. Sesi ini dipandu oleh konselor, Hari Cahyono. Orang biasa memanggil Hari dengan nama Keplek. Sudah menjadi rutinitas, bagi para pecandu untuk mengikuti sesi morning meetingsetiap pagi.
“Selamat pagi pecandu” kata Faiz yang kemudian dijawab selamat pagi juga oleh forum. Faiz kemudian membaca materi sesi morning meeting. Kali ini mereka membahas soal cacat karakter. Suasananya mirip dengan film-film Hollywood dengan tokoh yang sedang jalani terapi alcohol anonymouse, alias rehabilitasi kecanduan alkohol.
Masing-masing dari mereka mendapat giliran untuk menceritakan cacat karakter seperti apa yang pernah mereka lakukan saat masih kecanduan. Saat giliran Faiz, dia bercerita jika cacat karakter yang selama ini ia miliki adalah malas, tak pernah menghiraukan perintah orangtua, tidak pernah mandi. “Dalam pikiran saya yang ada hanya bagaimana hari ini bisa mabuk. Di sini saya mulai menyadari jika saya salah. Kasihan ibu saya,” kata Faiz.
Usai semua mendapat giliran untuk menyampaikan cacat karakter yang pernah dialami pecandu, Keplek pun memberikan penutup. “Semua cacat karakter yang kalian miliki, tak bisa sekaligus dihilangkan, namun dikikis sedikit demi sedikit, seperti halnya suggest,” kata Hari.
Suggest adalah bahasa yang umum dipakai oleh para pecandu terutama pecandu suntik, saat keinginan untuk menyuntik muncul. Keplek hafal dengan karakter pecandu. Karena dia sendiri adalah mantan pecandu suntik putauw. Keluar masuk rehabilitasi, sudah enam kali. Mulai rumah rehabilitasi rejilius, non relijius, sampai rumah rehabilitasi yang ada di Malaysia.
Setelah Keplek berbicara, disambung Iwan Naryono yang juga konselor giliran bicara. Dengan nada tegas, Iwan memberikan pengumuman. “Baju-baju yang teronggok di kamar 4, segera dicuci. Baunya sudah menyengat tak karu-karuan. Lemari pakaiannya juga tolong dirapikan,” kata Iwan dengan tegas.
Sudah menjadi kebiasaan Iwan, saat sesi morning meeting, dia akan bergerilya di empat kamar yang dihuni oleh para pecandu. Iwan mengecek kebersihan dan kerapian kamar. Dia juga menggeledah setiap lemari untuk mencari barang-barang yang mungkin disembunyikan peserta rehab, seperti telepon genggam, uang, rokok selain pemberian dari rumah rehab.
“Kita melarang membawa uang, handphone dan rokok selain dari kami. Uang, digunakan untuk kabur. Handphone juga dilarang untuk mencegah mereka aktivitas jual beli narkoba di luar. Sedangkan rokok, kami menyediakan. Di luar jatah, kami melarang,” kata Iwan.
Peluang untuk kabur dari rehabilitasi memang sangat memungkinkan. Jangan dibayangkan, rumah rehab Bambu Nusantara ini seperti layaknya penjara dengan dinding yang tinggi dan petugas keamanan yang galak. Tempat rehab Bambu Nusantara adalah rumah pemukiman biasa di kawasan Nginden Surabaya. Rumah ini disewa per tahunnya sekitar Rp 40juta.
“Kalau mau kabur, ya kabur saja. Silahkan. Kami tak akan mengejar. Itu menandakan kalau dia memang tak punya keinginan untuk menjalani rehabilitasi. Biasanya, kalau kabur, sore harinya mereka akan diantar keluarga kembali,” kata Iwan.
Kata Iwan, metode rehab yang mereka jalankan memang lebih lunak dibandingkan dengan tempat rehabilitasi lainnya. Setidaknya ada tiga metode yang sering dipakai untuk tempat rehab yaitu therapy community, 12 Langkah dan relijius.
Bahasa mudahnya, jika tempat rehab menggunakan metode therapy community, maka yang paling ditekankan dalam ini adalah penegakkan disiplin bahkan terkesan semi-semi militer. Sedangkan untuk metode 12 Langkah penekanannya lebih banyak pada introspeksi diri dan pemberian materi soal adiksi. Misalnya langkah pertama, misalnya pecandu disadarkan bahwa mereka tak berdaya dengan kecanduan yang mereka alami.
“Kebanyakan dari mereka, saat pertama kali masuk, mereka selalu berontak karena merasa tak pantas untuk masuk rehabilitasi, karena mereka hanya dicokok temannya misalnya. Nah, hal pertama yang ditekankan saat masuk, mereka harus menerima jika mereka bersalah,” kata Keplek
Sedangkan pemulihan dengan metode relijius, tentu saja pendekatannya adalah dengan ibadah misalnya sholat malam, baca Al-Quran, istighfar sepanjang hari. Ada juga yang dimandikan tiap malam, bahkan direbus.
Andian Budianto, salah satu konselor Bambu Nusantara, mengatakan tempat rehabnya yang dijalankan mengkombinasikan dua metode antara therapy community dengan 12 langkah. Alasannya, karena karakter pecandu yang sekarang berbeda dengan pecandu yang dulu. Jika dulu pecandu lebih banyak didominasi oleh putauw, sedangkan sekarang sabu.
“Pecandu putauw, biasanya karakternya keras, hidupnya murni di jalanan. Dan tak segan lakukan kriminal kalau tak punya uang. Sedangkan pecandu sabu, lebih banyak dari orang rumahan. Bahkan punya pekerjaan mapan,” kata Andian yang juga pernah keluar masuk rehab dan penjara karena putauw.
Makanya, kata Andian menambahkan, jaman dulu-dulu banyak tempat rehab yang menggunakan metode therapy community, karena pecandunya pengguna putauw. Namun, jika sekarang masih tetap menggunakan metode therapy community murni, Andian khawatir, para pecandu banyak yang kabur kalau main keras terus. Karakter pecandu sabu kata dia mudah down, tak segarang pecandu putauw.
Lukman Hakim penanggungjawab Bambu Nusantara pun juga bercerita ihwal metode digunakan tempat rehab. Kata dia, sampai sekarang masih terjadi perdebatan, apakah perlu metode standar yang harus dijalankan oleh sebuah tempat rehab. Karena selama ini yang terjadi, metode yang digunakan masih suka-suka pengelolanya. “Tergantung pengelolanya, dia lebih sreg yang mana dengan karakter pecandu yang sekarang,” kata Lukman.
Soal mana yang lebih efektif, dia pun tak bisa menjamin metode mana dan tempat rehab mana yang paling efektif untuk membebaskan kecanduan. Karena menurut dia, faktor yang paling penting untuk membebaskan dari kecanduan adalah faktor lingkungan.
“Banyak orang salah kaprah, menganggap keluar dari rumah rehab, langsung bebas kecanduan. Padahal belum tentu. Makanya, usai jalani rehab, kita akan selalu menanyakan rencana ke depan para pecandu. Intinya, mereka harus punya aktivitas yang positif dan jauh dari lingkungan pemakai,” kata dia
Metode kombinasi antara therapy community dan 12 langkah juga diterapkan di Rumah Sehat Orbit Surabaya (RSOS). Sama dengan Bambu Nusantara Surabaya, RSOS juga berada di kawasan pemukiman di sekitar Rungkut.
Bulan pertama berada di Rungkut warga sekitar menolak keberadaan mereka. Mereka mengira jika rumah ini tempat penampungan orang-orang nakal. “Banyak perempuan laki-laki yang datang, bertato pula. Warga kaget dengan keberadaan kita,” kata Munieb Mujianto penanggungjawab RSOS.
Lama-kelamaan setelah diberikan penjelasan dan diberikan kesempatan untuk melihat aktivitas mereka, warga bisa menerima. Tapi ada juga yang tetap menolak. Kata Munib, setelah ditelusuri, ternyata gang belakang rumah, ada pemakai. “Dia takut dengan keberadaan kita, karena mobil BNN sering datang. Mereka takut ditangkap,” kata dia.
Saat dikunjungi tempat ini sedang merehab 18 orang pecandu. Empat diantaranya perempuan. Salah satunya Isti. Usianya masih 15 tahun. Sudah putus sekolah sejak SMP kelas 2. “Kelas 2 SMP, ga sekolah. Karena males aja. Uang SPP dari mbah, saya pakai buat beli sabu paket pahe,” kata dia sambil cengengesan karena malu. Isti datang dari keluarga broken home. Sejak kecil dia sudah diasuh oleh neneknya.
Isti mengenal sabu, dari lingkungan tempat tinggalnya yang tidak sehat, di kawasan Kapasan Surabaya. Bapak dan anak nyabu bareng di rumah, kata Isti adalah hal yang biasa dilihat di tempat tinggalnya. Urusannya nyabu pun Isti, lebih rajin dibanding Faiz, karena pacarnya bandar. Dia selalu diberi gratisan sabu oleh pacarnya. Terkadang dia, juga diajak kirim barang ke Madura. Isti tertangkap saat Satpol PP, merazia tempat hiburan malam. Dia memang sudah akrab dengan tempat hiburan malam.
Tapi itu, dulu, sekarang setelah ikut rehabilitasi kurang lebih tiga bulan di RSOS, Isti punya niat menata kembali hidupnya. Isti ingin bersekolah kembali. Keinginannya pun difasilitasi oleh RSOS. “Akan kita ikutkan kejar paket. Setelah itu, sekolah SMA. Dia juga akan tinggal di sini untuk menjauhkan dari lingkungan yang buruk. Sudah diijinkan sama neneknya,” kata Munieb.
Suasana rehab di RSOS, memang lebih cair. Tak ada sekat yang ketat yang membatasi antara peserta rehab dengan staf. Dengan suasana yang cair, RSOS mencoba untuk mencipatakan suasana yang kekeluargaan antara staf dengan peserta rehab. “Lumayan efektif. Saat diberikan cuti lebaran, mereka juga kembali tepat waktu. Tak ada yang kabur,” kata Munieb.
Biasanya peserta rehab harus jalani perawatan selama tiga bulan. Setelah itu, mereka akan keluar dari rumah rehab dan menjalani rawat jalan selama tiga bulan juga. Tapi untuk RSOS, rawat inap tiga bulan itu bersifat fleksibel.
“Jika kurang dari tiga bulan kemajuannya sudah bagus, biasanya kita perbolehkan pulang. Kita juga akan memberikan pemberitahuan ke polisi dan BNN. Tergantung mereka rujukannya siapa,” kata Munieb.
Sedangkan untuk biaya rehab, dua rumah rehab ini menggratiskan. Pasalnya, mereka masih mempunyai kerjasama dengan Kementerian Sosial. Namun jika ada peserta rehab dari kalangan mampu, RSOS tak malu untuk menentukan tarif. “Yang berbayar itu, gunanya untuk subsidi silang dana Kementerian Sosial. Untuk menambal biaya operasional,” kata Munieb.
Baik Bambu Nusantara maupun RSOS, selama banyak menerima peserta rehab dari rujukan polisi dan BNN. Mereka itu dirujuk untuk jalani rehabilitasi karena tes urine menunukkan positif gunakan narkoba, namun tak ada barang bukti. Sedangkan untuk rehabilitasi atas kemauan sendiri, prosentasenya masih kecil.
Vonis langka hakim
Dasar hukum untuk rehabilitasi bagi pecandu yang tertangkap tangan, sebenarnya tak hanya berlaku bagi pelaku yang tertangkap tangan, tapi tak ditemukan barang bukti. Namun juga berlaku untuk pelaku yang tertangkap tangan dan ditemukan barang bukti yang hanya untuk pemakaian sehari. Rujukannya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 03 Tahun 2011 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010
Dalam surat edaran ini, Mahkamah Agung mengimbau kepada para hakim untuk tidak memenjarakan pecandu narkoba melainkan memasukan dalam lembaga rehabilitasi dengan ketentuan pelaku memenuhi syarat:
Penangkapan terhadap terdakwa dilakukan secara tertangkap tangan.
Pada saat tertangkap tangan tersebut ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari narkotika dengan jenis dan bobot tertentu.
Terdapat surat uji laboratorium dengan hasil pemeriksaan positif menggunakan narkotika atas permintaan penyidik.
Diperlukan surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim. dan
Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Dari jumlah kasus narkoba di Pengadilan Negeri Surabaya, mulai tahun 2011 hingga 2015, EJA mencoba memotret vonis hakim terhadap pecandu yang sebenarnya memenuhi syarat untuk mendapatkan rehabilitasi. Dari jumlah itu, karena keterbatasan akses dan berdasarkan kasus yang advokasi, EJA hanya mengambil sample 30 kasus.
Dari jumlah itu, ternyata hanya tiga kasus dimana jaksa mengajukan tuntutan rehabilitasi rehabilitasi untuk pecandu. Selebihnya, jaksa lebih sering menggunakan pasal penjara, meski barang bukti yang ditemukan hanya sehari pakai sesuai dengan SEMA.
Dalam vonisnya pun, hakim lebih banyak memvonis pecandu dengan hukuman penjara dibandingkan dengan rehabilitasi. Dari 30 kasus yang diteliti, hanya dua kasus dimana hakim memutuskan pecandu harus jalani rehabilitasi. Itu pun karena pecandu yang menjadi terdakwa masih anak-anak. Sedangkan sisanya, hakim lebih sering menjatuhkan vonis penjara untuk pecandu.
“Temuan ini menunjukkan bahwa hakim masih berperspektif untuk memenjarakan pengguna narkotik. Tidak dikabulkannya permintaan merehabilitasi untuk pecandu menjadi temuan penting bahwa hakim pada dasarnya justru tidak memperhatikan ketentuan dalam SEMA,” kata Rudhy Whedasmara dari EJA.
Kata dia, berdasarkan penelitian, para hakim dan jaksa yang menangani kasus enggan menggunakan rujukan SEMA dan SEJA, karena mereka menganggap jika SEMA dan SEJA, hanya himbauan dan tidak berlaku wajib.
Lalu sampai kapan pecandu harus dipenjara? (amr)
Advertisement