Refleksi HAS, Memahami HIV dan Stigma Masyarakat
Pada 1 Desember diperingati sebagai Hari Aids Se-dunia (HAS). Dalam peringatan hari penyakit itu biasanya digelar sederhana. Tidak se-ceremonial seperti peringatan hari-hari besar nasional maupun hari besar agama.
Tidak ada perayaan, karnaval, atau upacara-upacara bendera. Tidak ada panggung-panggung terbuka, pertunjukkan drama kolosal seperti peringatan hari pahlawan. Paling-paling hanya mengadakan perenungan, misalnya menyalakan lilin, bagi-bagi bunga, atau kegiatan-kegiatan sosial lain.
Mengapa demikian? Orang pasti akan berpikir "wong penyakit kutukan kok diperingati". Begitulah yang terjadi di masyarakat, kebanyakan HIV dan AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan dari Tuhan. Stigma dan diskriminasi yang begitu besar terjadi di masyarakat ini sudah berlangsung puluhan tahun sejak ditemukannya kasus HIV di Indonesia.
Sampai-sampai, ketika ditemukan kasus orang dengan HIV (ODHA) yang terjadi orang tersebut dikucilkan. Bahkan lebih parah lagi, diisolir. Tidak boleh berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya itu, di dalam keluarga ODHA-nya sendiri terkadang juga terjadi pengusiran dengan alasan takut ketularan.
Masyarakat ketakutan akan ketularan HIV dan AIDS. Karena HIV ini tidak bisa disembuhkan. Dan ketika orang terinfeksi HIV diasumsikan hidupnya tidak akan lama lagi. Karena itu masyarakat langsung bersikap protektif. Mereka memagari diri bagaimana virus itu tidak menularkan tanpa mencari informasi yang benar.
Di beberapa kasus temuan HIV di Surabaya oleh masyarakat umum selalu mendapat perlakuan yang cukup miris. Bahkan ketika ODHA tersebut meninggal, tidak ada warga bahkan keluarga yang berani memandikan jenazahnya. Jangankan memandikan, datang untuk ta'ziah saja tidak ada yang berani. Takut ketularan.
Ketika tidak ada orang yang memandikan, solusinya ada dua yaitu dimandikan pendampingnya sendiri atau dimandikan pihak rumah sakit. Kalau dimandikan pihak rumah sakit, harus membayar biaya. Tidak gratis. Yang gratis, dimandikan oleh pendampingnya sendiri atau temannya sesama ODHA.
Stigma dan diskriminasi tidak hanya menimpa ODHA yang bersangkutan, tetapi juga kepada keluarga ODHA (OHIDHA). Padahal OHIDHA belum tentu ODHA. Beberapa kasus, di Surabaya seorang siswa SD dipaksa keluar dari sekolahnya. Yang memaksa keluar bukan pihak guru atau kepala sekolah, melainkan orang tua siswa yang tidak terinfeksi HIV. Mereka takut anaknya tertular. Namun dengan pendekatan dan informasi yang benar pihak orang tua siswa akhirnya mau menerima anak tersebut kembali bersekolah.
Bahkan baru-baru ini di Kabupaten Samosir 3 anak dikeluarkan dari sekolahnya dengan alasan terinfeksi HIV. Tiga anak itu satu diantaranya masih PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sisanya duduk di SD. Begitu juga kasus di Tulungagung, anak sekolah dasar harus dikeluarkan dari sekolahnya karena terinfeksi HIV.
Tidak hanya di tempat pendidikan, di tempat pekerjaan stigma dan diskriminasi sering terjadi ketika salah satu karyawan terinfeksi HIV. Karyawan tersebut diperlakukan tidak adil, misalnya dipecat, dipindahtugaskan ke luar kota yang jauh dari rumahnya, atau biasanya diturunkan jabatannya.
HIV Sebagai Penyakit Kutukan
Kuatnya stigma dan diskriminasi di masyarakat ini disebabkan karena informasi yang benar tentang HIV dan AIDS di masyarakat masih kurang. Masyarakat kadang menerima informasi tentang HIV dan AIDS hanya sepotong-potong. Sehingga, masih ada pemahaman yang salah soal HIV. Bahkan informasi yang salah itu ditambah-tambahi atau diplintir misalnya HIV adalah penyakit kutukan dari Allah.
HIV, boleh jadi memang disebut penyakit kutukan. Sebagai kutukan atas perilaku yang menyimpang dari aturan agama. Misalnya berhubungan seks dengan pekerja seks, berhubungan seks dengan transgender (waria), dan berhubungan seks dengan sesama lelaki (LSL).
Dalam pandangan agama, perilaku itu dilarang. Karena itu, orang langsung men-cap bahwa pekerja seks, waria, dan LSL adalah perbuatan buruk, terkutuk, berdosa. Orang yang berprofesi penjaja seks seperti di atas dianggap sampah masyarakat. Maka harus diperangi.
Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2014 menutup semua lokalisasi, seperti lokalisasi Dolly, Jarak, Kremil, Sememi, Tandes, dan lain-lainnya. Bahkan masyarakat umum juga sering merazia lokasi-lokasi yang dianggap sumber penularan. Misalnya warung remang-remang, salon-salon kecantikan, karaoke, panti pijat, dan lain sebagainya.
Tapi apakah semua upaya yang dilakukan itu mampu menekan pertumbuhan penyebaran virus HIV? Kita lihat datanya. Data temuan kasus oleh Dinas Kesehatan Surabaya mulai tahun 2010 hingga tahun 2018. Pada Tahun 2010 kasus HIV yang ditemukan di Kota Surabaya berjumlah 705, tahun 2011 berjumlah 811, tahun 2012 berjumlah 752, tahun 2013 jumlahnya 754, tahun 2014 jumlahnya 935, dan seterusnya data bisa dilihat pada tabel di bawah. Terakhir di tahun 2018 sampai bulan September berjumlah 846 kasus.
Kalau melihat angka temuan kasus HIV di Surabaya tahun 2018 itu paling besar presentasinya ditemukan pada laki-laki yaitu sebesar 64 persen, sedang pada perempuan 36 persen. Kemudian bila dilihat dari jenis pekerjaannya paling besar terdapat pada pekerjaan karyawan sebanyak 229 kasus. Nomor dua ditempat ibu rumah tangga sebanyak 178 kasus.
Sedangkan temuan kasus di populasi kunci pada tahun 2018 ini yaitu LSL, Waria, Pekerja Seks, dan Penasun (pengguna napza suntik) yang paling tinggi terdapat pada LSL sebesar 39 persen, kemudian disusul waria dengan 26 persen. Selanjutnya pada populasi pekerja seks ditemukan 18 persen, serta pada penasun sebanyak 8 persen.
Pertanyaannya, mengapa ibu rumah tangga kok tinggi angka kasusnya? apakah ibu rumah tangga ini pekerja seks? Ternyata dari hasil penelitian Kementerian Kesehatan Tahun 2016 menyebut ibu rumah tangga adalah istri dari pasangan suami yang sah yang tertular dari suaminya. Mereka bukan tertular akibat melanggar aturan agama, misalnya selingkuh, menjajakan diri, atau lainnya.
Begitu juga dengan kasus HIV yang ditemukan pada anak-anak balita atau usia sekolah dasar, apakah anak-anak tersebut melakukan perilaku yang menyimpang dari aturan agama? Ternyata juga tidak. Mereka tertular dari ibu kandungnya yang nota bene juga bukan disebut wanita nakal.
Lihat data temuan kasus pada tahun 2018 di lihat dari usia, yaitu paling besar ditemukan di usia 30 - 34 tahun sebanyak 180 kasus, kemudian disusul pada usia 25 - 29 tahun dengan total 177 kasus, dan terbesar ketiga di usia 35 - 39 tahun sebanyak 162 kasus.
Nah, dengan melihat data itu ternyata tidak hanya orang yang selama dianggap berperilaku bejat saja yang terkena HIV. Orang baik-baik saja juga bisa tertular, seperti ibu rumah tangga. Karena memahami HIV harus secara benar dan komprehensif. Sehingga tidak gampang memberikan label kepada orang yang terinfeksi HIV sebagai orang yang dikutuk oleh Tuhan.
Karena label-label inilah yang selama ini menghambat penanggulangan HIV di Indonesia. Ketika ditemukan kasus bukan malah dijauhi atau dikucilkan melainkan harus didekati dan didorong untuk bisa mengakses layanan kesehatan. Janganlah takut hidup bersama, bertukar alat makan, bertukar toilet, dengan orang yang terinfeksi HIV, karena HIV tidak menularkan melalui alat-alat tersebut.
HIV menular ketika darah orang yang terinfeksi masuk ke dalam tubuh orang yang tidak terinfeksi. Bila tidak ada pintu masuk HIV tidak menularkan. Kunci menghindari penularan HIV adalah dengan memahami sifat dan karakter virus itu melalui informasi kepada yang berwajib seperti tenaga medis dan pegiat HIV (lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di isu HIV).
*) Oleh Witanto, pegiat HIV dan jurnalis ngopibareng.id