Refleksi 44 Tahun Hari Bumi: Keserakahan vs Harapan Baru
Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi Internasional. Peringatan ini telah berlangsung selama 44 tahun sejak 1970, namun maknanya masih relevan hingga kini.
Bumi, satu-satunya planet yang kita tinggali, kini terancam oleh keserakahan dan eksploitasi manusia. Ketua Departemen Prodi Hubungan Internasional FISIP Unair Dr. Phil. Siti Rokhmawati Susanto mengajak untuk merenungkan peran manusia dalam menjaga kelestarian bumi.
"Hari Bumi bukan hanya peringatan, tapi momen refleksi atas keserakahan manusia terhadap bumi yang sudah tua ini," tutur Irma.
Keserakahan manusia dalam mengeksploitasi kekayaan bumi tanpa memikirkan dampaknya telah membawa planet ini ke ambang kehancuran. Pola pikir antroposentris, di mana kepentingan manusia di atas segalanya, menjadi akar permasalahan.
Irma menekankan perlunya keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam. Bukan eksploitasi, melainkan eksplorasi berkelanjutan yang harus menjadi fokus utama.
Manusia terjebak dalam pola pikir untuk mendapatkan kepuasan maksimal dari kekayaan bumi, tanpa peduli dampak buruknya. Keserakahan ini telah merusak bumi dan alam di dalamnya.
Pemerintah, dengan otoritasnya, memegang peran penting dalam menjaga kelestarian bumi. Dukungan dari masyarakat sipil, perusahaan, dan berbagai pihak lainnya menjadi kunci.
"Negara harus kuat dalam mengontrol mereka yang memanfaatkan bumi. Dukungan dari semua pihak sangatlah penting," ujar Irma.
Kasus mega korupsi timah menjadi contoh nyata keserakahan manusia. "Otoritas negara yang lemah di hadapan kekuatan uang berujung pada kerusakan lingkungan," tegas Irma.
Irma mengingatkan, "Apapun posisi dan kemampuan kita, kita harus berkontribusi terhadap pelestarian bumi. Sekali lagi, bumi hanya ada satu," katanya.