Rebranding NU
Datanglah ke kantor PBNU di Jalan Kramat Raya Jakarta atau ke kantor PCNU di Bubutan Surabaya, sekarang. Ada yang berubah di dua kantor ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Tampilannya menjadi makin terbuka dan bersih sejak hadirnya kepemimpinan baru.
Di Kantor PBNU, perubahan itu bisa dilihat mulai dari lobby. “Seperti masuk lobby hotel,” kata seseorang yang pernah datang ke PBNU belakangan ini. Selain desain interiornya baru, ada sofa untuk para tamu. Dindingnya serba putih. Lebih cerah dan tidak kusam seperti selama ini.
Suasana terbuka dan desain minimalis juga terasa di tempat Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf berkantor. Yang dulu sekat-sekat tembok, kini dibikin terbuka dengan hanya sekat kaca yang terang. Antara satu ruangan dengan ruangan lain tembus pandang.
Ini sudah seperti kantor korporasi modern yang menganut sistem terbuka dan transparan. Meski yang berkantor di situ masih banyak yang mengenakan peci hitam, sarung dan sandal. Suasana telah berubah dan karakter kepemimpinan baru di NU juga terasa berubah.
Rupanya perubahan yang terjadi di Kantor PBNU diikuti PCNU Surabaya. Pelaksana tugas atau karteker Ketua PCNU Umarsyah juga ingin melakukan perubahan di lingkungan kepengurusan NU yang dipimpinnya. Ia langsung merenovasi interior gedung PCNU yang bersejarah itu.
“Kami tidak mengubah struktur dan bentuk bangunan karena ini termasuk cagar budaya. Kami hanya memperbaiki interior dan mebelairnya. Biar lebih terlihat bersih dan layak untuk menerima tamu-tamu,” tutur Umarsyah yang juga salah satu Ketua PBNU ini.
Tak hanya itu. Ia juga berusaha mengubah mindset para pengurus untuk lebih progresif dalam menggerakkan organisasi. Selain melakukan konsolidasi, ia juga menggerakkan “motor” organisasi melalui Lazisnu (Lembaga Amil Zakat dai Sedekah Nahdlatul Ulama). Ia rekrut tim profesional secara terbuka untuk membesarkan lembaga amil zakat dan infaqnya.
Saya sempat dipertemukan dengan tim baru dari kalangan profesional yang akan manjalankan Lazisnu dengan target yang sangat besar. Sebuah target yang selama ini dianggap sebagai mimpi yang tak mungkin tercapai bagi mereka yang tak memahami potensi kota. Padahal, itu mimpi yang biasa di kota sebesar Surabaya.
Dalam sebuah pembicaraan di PBNU, pekan lalu, Umar menyampaikan kepada Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf akan keinginannya untuk menjadikan PCNU Surabaya sebagai portofolio alias percontohan NU metropolis. “Good…good…,” sambut Gus Yahya –demikian Ketum PBNU biasa dipanggil– secara spontan.
Strategis dan Percontohan
PCNU Surabaya memang sangat strategis sebagai percontohan. Sebab, NU yang kini diperkirakan memiliki 140 juta lebih anggota itu didirikan di kota ini. Kantor cabang yang berdiri di kawasan Bubutan Surabaya adalah tonggak sejarah tempat NU didirikan sebagai organisasi kali pertama.
Seharusnya, Surabaya menjadi ibukota kepemimpinan NU. Baik secara historis maupun gerakan-gerakannya. PCNU Surabaya sudah selayaknya menjadi model bagi kepemimpinan sekaligus gerakan ormas Islam yang berkembang besar melalui pesantren ini. Ketika NU berkembang seperti sekarang, NU Surabaya harus menjadi best practices bagi PCNU lainnya.
Langkah-langkah rebranding di tahun pertama perjalanan abad kedua NU menjadi sangat bermakna. Rebranding fisik untuk memulai kepemimpinan NU dalam membangun peradaban dunia yang berdasarkan kepada nilai-nilai agama. Spirit baru yang digaungkan dan digerakkan Yahya Staquf dengan kerja keras.
Jika PCNU Surabaya berhasil bertransformasi, maka akan menjadi spirit baru bagi lainnya. Sebab, selama ini, gairah NU di kota tempat kelahirannya ini justru kalah dengan daerah lainnya. Bahkan, kepengurusannya lebih mengemuka tentang seringnya dirundung masalah ketimbang capaian yang membanggakan.
Saya pernah membayangkan tentang pentingnya ormas Islam untuk menangkap segala perubahan di sekitarnya. Ketika terjadi gairah keberagamaan baru di perkotaan, ormas Islam yang ada bisa memberikan wadah yang nyaman. Bukan malah ditangkap oleh kelompok beragama yang tidak related dengan ke-Indonesia-an.
Maka, NU yang tadinya berkembang dari tradisi pesantren di pedesaan harus bertransformasi menjadi tradisi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat urban. NU di kota metropolis harus punya cara baru dalam merawat “santri baru” di kota yang jumlahnya makin besar. Selama ini, “santri baru” di perkotaan lebih banyak dirawat kelompok lain yang tidak berakar di negeri ini.
NU seharusnya lebih bisa mengakomodasi mereka karena paham keagamaannya yang lebih moderat. Paham keagamaan yang lebih gampang mengadopsi kultur yang berkembang di dalam masyarakat. Paham keagamaan yang lebih bisa mengakomodasi pluralisme dalam masyarakat kota. Paham yang memungkinkan untuk tidak berbenturan secara keras dengan budaya lainnya.
Tapi untuk bisa menjadi penggerak perubahan dalam masyarakat kota, diperlukan perubahan mindset dalam berorganisasi dan perubahan strategi dalam menggerakkan organisasi. Spirit keikhlasan dalam berdakwah di NU perkotaan perlu diikuti dengan profesionalisme dalam segala bidang. Apalagi di era perubahan yang begitu cepat sekarang ini.
Rebranding NU adalah cara menumbuhkan awareness baru terhadap ormas Islam ini. Namun, langkah rebranding tersebut harus diikuti dengan penguatan organisasi alias jam’iyah. Penataan organisasi di PCNU Surabaya sekarang ini adalah bagian upaya membangun tradisi baru dalam berorganisasi.
Harus diakui bahwa sebagai jamaah, NU tak terkalahkan. Namun, sebagai jam’iyah masih banyak yang harus dibenahi. Jika jamaah diibaratkan sebagai gerbong, jam’iyah adalah lokomotifnya. Gerbong besar tak akan mungkin bergerak jika lokomotifnya bermesin kecil. Berbagai perubahan dalam berorganisasi yang dilakukan Gus Yahya bertujuan memperbesar torsi lokomotif agar bisa menarik gerbong yang besar.
Bahwa setiap perubahan besar selalu melahirkan kontraksi itu pasti. Namun, keseriusan para pemimpin NU untuk berubah merupakan energi yang akan imune dari goncangan-goncangan yang timbul akibat perubahan itu sendiri. Rasanya, kini lebih banyak yang ingin NU kuat secara jamaah dan jami’yah ketimbang yang tidak.
PBNU kini sedang membangun lokomotif besar agar bisa menarik gerbong besar itu bisa melaju cepat. Melaju cepat untuk bisa menjadi inisiator peradaban baru seperti NU saat didirikan seabad yang lalu. Menjadi penggerak karena langkah-langkah strategis. Menjadi organisasi yang bukan sekadar digerakkan gerbong bernama jamaah. Tapi menjadi lokomotif yang memberi maslahah kepada jamaah.
Melalui jaringan internasionalnya, Yahya Staquf tanpa henti menawarkan gerakan untuk peradaban baru yang lebih damai. Secara domestik, ia berusaha keras membenahi tata kelola baru organisasi agar bisa mengeksekusi berbagai agenda yang berorientasi kemaslahatan ummat. Pekerjaan yang tidak mudah karena tradisi disiplin berorganisasi masih belum menjadi mainstream di setiap lini.
Rebranding NU yang dilakukan PBNU maupun PCNU Surabaya hanyalah awal dari gerakan panjang. Pada saatnya, ummat akan bisa memilih masuk dalam gerbong besar yang melaju pesat karena lokomotifnya hebat atau ketinggalan di luar gerbong yang sedang melaju pesat. (Arif Afandi)