Rebo Wekasan, Sejarah Tradisi Menolak Bala
Rebo Wekasan atau Rabu pungkasan (terakhir), menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Rebo Wekasan sendiri merupakan Rabu terakhir di bulan Safar atau Shafar 1444 Hijriah. Tahun ini, Rebo Wekasan jatuh pada hari ini, Rabu 21 September 2022.
Tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo. Kendati demikian, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan baru muncul pada awal abad ke-17 di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Dilansir dari laman Kemendikbud, sejarah hadirnya tradisi ini tersedia dalam beberapa versi. Versi pertama, Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784. Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit.
Masyarakat meyakini bahwa kiai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Alquran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien. Kemampuan Mbah Kiai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I (HB I).
Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan HB I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke keraton. Ternyata, ilmu Mbah Kiai terbukti dan mendapat sanjungan. Sepeninggal Mbah Kiai Faqih, masyarakat pun meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.
Versi kedua, upacara Rebo Wekasan tak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret. Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600. Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit. Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk.
Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kiai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris. Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit. Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.
Versi ketiga, dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya. Untuk itu, masyarakat zaman dahulu berusaha menolaknya dengan meminta bantuan kepada kiai yang dianggap lebih mumpuni.
Kiai Welit, saat itu, diminta membuat tolak bala berbentuk rajah yang dimasukkan ke dalam air untuk mandi agar terhindar dari bahaya. Karena semakin banyak orang yang meminta, Kiai Welit pun menemukan cara baru, yakni dengan memasang rajah di Kali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan begitu, masyarakat cukup mengambil air atau mandi di kali tanpa mendatangi Kiai Welit.
Dilansir nu.or.id, keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang menegaskan bahwa salat khusus Rebo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati salat sunnah muthlaqah atau niat salat hajat. Jika Anda melakukan salat tersebut dengan niat salat sunah mutlak atau salat hajat, maka hukumnya boleh dilakukan.
Shalat sunah mutlak adalah salat yang tidak dibatasi waktu, sebab, dan bilangannya tidak terbatas. Sementara itu salat hajat adalah salat yang dilaksanakan saat memiliki keinginan atau jahat tertentu, termasuk hajat li fa'il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan).
Dikutip dari YouTube Al-Bahjah TV, Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah (LPD) Al-Bahjah KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya mengatakan, tidak ada petunjuk dari Rasulullah SAW bahwa harus mengamalkan amalan di Rebo Wekasan atau Rabu terakhir bulan Safar.
Menurut Buya Yahya, cerita tentang Rebo Wekasan adalah cerita tentang orang saleh mendapatkan berita (ilham) bahwasanya di hari itu akan turun penyakit. Lalu meminta perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari penyakit.
“Kalau (ajaran) dari nabi tidak ada, cuma kalau sudah katanya ulama selagi tidak bertentangan dengan ajaran nabi tidak bisa kita (katakan) langsung murni bid’ah,” jelasnya.
Advertisement