Realitas Impian, Tentang Optimisme Ekonomi di Masa Pandemi
TIDAK semua laporan bank itu bisa saya baca. Hanya bank-bank yang besar saja yang laporan tahunannya (2020) sempat saya lihat.
Dari situ saya tahu: hanya BRI yang hebat. Yang di tahun 2020 masih menambah (ekspansi) kredit. Bank lain – termasuk Bank Mandiri yang begitu raksasa– justru menurunkan bisnis di sektor pemberian kredit.
Pemerintah sebenarnya sudah memberi rangsangan yang sangat menarik: memberikan subsidi bunga kredit 3 persen. Tapi kenyataannya hanya BRI yang kreditnya tumbuh –3,8 persen. Bahkan di sektor mikro tumbuhnya 14 persen.
Saya pun tertarik dengan kredo CEO BRI Sunarso yang diucapkan Januari lalu: raja kredit mikro yang membawa dampak makro.
Tentu semua bank beralasan: menyelamatkan angka NPL. Apalagi beberapa bank punya nasabah besar yang bermasalah besar –pun sebelum ada Covid-19.
Misalnya Bank Mandiri itu. Punya kredit macet Rp 2,6 triliun hanya di satu grup perusahaan: Duniatex. Yang tidak ada hubungannya dengan pandemi. Belum lagi di tempat lain.
Tentu bank-bank non-Mandiri juga terseret Duniatex. Tapi nilainya memang tidak sebesar Bank Mandiri –secara nominal.
Apalagi proses penyelesaian kredit macet Duniatex itu sangat memberatkan bank. Bank-bank itu kalah di pengadilan. Justru gugatan Duniatex yang dikabulkan: bank harus melakukan restrukturisasi kredit tersebut –dengan manajemen perusahaan tetap ditentukan oleh pemegang saham yang ada.
Bank-bank kreditur juga dalam posisi lemah di pembicaraan restrukturisasinya. Konon Duniatex kini hanya harus membayar bunga 1 persen/tahun. Laba bank telah digergaji di sini.
Tentu banyak yang belum lupa: Oktober 2019 Duniatex mengajukan gugatan ke pengadilan niaga Semarang. Pabrik tekstil itu memang berlokasi di Solo dan Demak. Dalam gugatan itu Duniatex minta penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Itulah puncak berita besar yang paling menghebohkan di tahun 2019: anak usaha Duniatex gagal bayar utang sebesar sekitar Rp 150 miliar. Tepatnya USD 13,5 juta. Lalu terbuka pula bahwa total utang grup itu sekitar Rp 3 triliun. Atau USD 260 juta.
Optimisme awal bahwa ekonomi masih bisa tumbuh di tahun 2020 sudah dijelaskan oleh realitas. Optimisme kredit bank masih bisa tumbuh –ternyata hanya BRI yang mampu. Dengan demikian secara rata-rata pertumbuhan kredit tetap negatif.
Bagaimana dengan tahun 2021? Apakah bank masih mengerem diri? Dan apakah BRI sendiri masih akan tetap ekspansi? Atau menyesali diri –lalu ikut menginjak rem?
Memang, dari laporan tahun 2020 itu, laba semua bank mengalami penurunan. Cukup besar. Laba Bank Mandiri turun dari Rp 25 triliun (2019) ke Rp 14 triliun (2020). Laba BRI juga turun dari Rp 34 triliun ke Rp 18 triliun.
Penurunan laba itu tentu –terutama– akibat restrukturisasi utang perusahaan. Terutama penundaan pembayaran bunga kredit akibat pandemi.
Tapi Sunarso nan-BRI telah berkomitmen Januari lalu: BRI tetap ekspansi kredit. Langkah mikro dengan pengaruh makro akan terus jadi kredonya.
Maka problem ekonomi tahun 2021 ini masih di sekitar itu: apakah bank sudah berani ekspansi atau belum. Kalau belum, apa yang harus dilakukan pemerintah.
Lalu, apakah bank-bank masih mau memperpanjang fasilitas restrukturisasi. Setidaknya hingga setahun lagi.
Beberapa perusahaan mungkin sudah bisa jalan tanpa perpanjangan fasilitas. Sebagian lagi tentu masih akan minta perpanjangan.
Tentu tidak seluruh situasi menjadi buruk. Pemerintah terus mampu memberikan optimisme. Misalnya soal SWF itu: terus saja bisa dipublikasikan negara mana lagi mau menanam uang berapa lagi.
Yang terbaru, Presiden Jokowi sendiri yang memublikasikan ini: desain mutakhir ibu kota baru Republik Indonesia di Kaltim. Video yang diluncurkan itu sangat menarik. Sangat mengesankan. Dengan narasi yang melibatkan emosi masyarakat luas: silakan kalau ada yang mau memberikan masukan untuk penyempurnaan.
Mungkin kita memang perlu terus menyeimbangkan diri: di antara dunia impian dan dunia realitas. (Dahlan Iskan)