Reaksi Asosiasi Sutradara Film Atas Boikot Film
Maraknya sejumlah oknum diikuti keputusan beberapa pemerintah daerah untuk melarang pemutaran film Kucumbu Tubuh Indahku garapan Garin Nugroho mengundang keprihatinan para sineas.
Asosiasi Sutradara Film Indonesia atau Indonesian Film Directors Club (IFDC) sangat menyesalkan sikap penghakiman massal tanpa dialog dan pembacaan yang salah atas karya para sineas itu.
Melalui pernyataan terbuka yang disampaikannya di akun media sosial Instagram @hanungbramantyo, sutradara Hanung Bramantyo menuliskan pernyataan sikap Asosiasi Sutradara Film Indonesia.
Dalam pernyataan sikap tersebut, IFDC menentang pembiaran praktik ilegal dan maraknya persekusi atas kebebasan berekspresi dalam rangka merayakan keragaman seperti gagasan program Nawacita Presiden Joko Widodo.
"Pernyataan para pejabat publik akhir-akhir ini, terkait isu moralitas, justru bertentangan dengan tujuan Nawacita tersebut dan memicu kekerasan terhadap pembuat film di Indonesia," tulis Hanung Bramantyo.
IFDC, yang beranggotakan lebih dari 60 sutradara film Indonesia, mencatat, selama ini terjadi beberapa peristiwa yang merugikan para sineas.
Garin Nugroho dan Kucumbu Indah Tubuhku hanya satu contoh saja. Hanung Bramantyo menuliskan, film Pocong karya Rudi Soedjarwo dilarang tayang Lembaga Sensor Film (LSF) dan dibatalkan peredarannya karena dianggap mempertontonkan adegan kejahatan sadis hingga membawa isu peristiwa Mei 1998.
Film Suster Keramas karya Helfi Kardit juga dilarang tayang di Kalimantan Timur oleh MUI Samarinda setelah dianggap merusak moral karena berbau pornografi.
Film Cin(T)a karya Sammaria Simanjuntak tentang percintaan laki-laki keturunan Tionghoa dan perempuan Jawa yang dibatasi peredarannya sebab dikhawatirkan menjadi kontroversi isu SARA.
Film Perempuan Berkalung Sorban karya Hanung Bramantyo dianggap beberapa kalangan berdampak menyesatkan dan menyebarkan fitnah terhadap agama Islam.
Ada pula film Cinta Tapi Beda karya Hanung dan Hestu Saputra yang mengangkat isu pluralisme ditarik peredarannya di beberapa daerah setelah diprotes oleh Ikatan Pemuda Pemudi Minang karena dinilai telah melecehkan suku tertentu.
Tak hanya itu, film Naura dan Genk Juara karya Eugene Panji yang juga dipetisikan Nina Asterly, ibu rumah-tangga, karena gambaran fisik para penjahat di film itu mencirikan orang Islam dan film ditarik dari peredaran.
Film Tanda Tanya (?) garapan Hanung Bramantyo yang juga mengangkat isu pluralisme dianggap sensitif dan mendapatkan protes keras dari MUI dan FPI yang minta film direvisi dan keluar dari unsur pluralisme.
Film Dilan 1991 karya Fajar Bustomi sempat diprotes dan ditolak Komando Mahasiswa Merah Putih di Mal Panakukang dan Dinas Pendidikan Kota Makassar.
Hanung Bramantyo menyatakan, aksi boikot tersebut mematikan keterbukaan dan daya pikir dan kualitas masyarakat Indonesia terhadap karya film sendiri.
"Di era terbuka ini, dialog sangat mungkin dilakukan," tulis Hanung Bramantyo.
Sebelum 'menghakimi' karya film, lanjut Hanung Bramantyo, masyarakat dihimbau tidak melakukan penghakiman pada sebuah karya sebelum menonton filmnya. (yas)