RBA Aceh Mau Ikut Peloton Mie Tirom atau Peloton Sate Apaleh?
Di provinsi paling ujung barat Indonesia, Aceh terdapat komunitas sepeda. Mereka eksis dan aktif. Bahkan memilki anggota ratusan. Berawal dari niat bersilahturahmi antar klub sepeda road bike, empat ketua klub sepeda sepakat untuk membentuk Road Bike Aceh (RBA).
Mereka adalah dr. Fauzan T. Banta Sp,M dari klub Robia K-100 Bireuen. Lalu Awien dari PTGC Penayong Town Gowes Club. Juga didukung oleh Zainal Abidin Cot Paya dari Hana Club Banda Aceh. Dan terakhir dr. Agung Sp,M mewakili Kota Lhokseumawe.
“Teman-teman menunjuk saya sebagai ketua komunitas RBA dan Banda Aceh jadi basecamp,” tutur Zainal. Untuk menandai berdirinya komunitas yang merangkul empat klub ini, Zainal mengadakan turing bareng.
Tidak tanggung-tanggung, turing selama dua hari sejauh 350 km! “Kami gowes bareng dari Birueun ke Banda Aceh lalu lanjut ke Puncak Gerurute Aceh Jaya,” tuturnya. Sekaligus tanggal 24 Februari 21017 itu dijadikan tanggal berdirinya RBA.
Waktu turing itu, hanya diikuti sekitar 30 orang anggota komunitas RBA. Perlahan tapi pasti, jumlah anggotanya meningkat terus hingga saat ini mencapai 350 cyclist.
“Anggota RBA ini tersebar di seluruh kabupaten atau kota di Provinsi Aceh. Tidak menutup kemungkinan kami juga menerima anggota dari propinsi lain yang dekat seperti Medan, Sumatera Utara,” bangga Zainal.
Meski pun terpisah oleh jarak dan kota, tapi mereka memiliki jadwal gowes bareng, hari Sabtu dan Minggu. Rute andalan RBA Banda Aceh adalah ke Bukit Radar dan kumpul dahulu di spot wisata seperti Museum Tsunami, Blang Padang, Tugu Pena, atau Simpang Lima.
Sedangkan RBA chapter Birueun kerap gowes bareng rute Birueun ke Takengon sejauh 100 km. “Itu nanjaknya lumayan berat,” tutur dr. Fauzan. “Pokoknya setiap minggu mereka wajib gowes dengan jarak minimal 70 km rute flat dan nanjak. Harus ada tanjakan minimal gradien 15 persen,” tutur Zainal
Sesuai dengan Undang-undang Pemerintah Aceh, bahwa cyclist harus menutup auratnya. Maka cyclist laki dan perempuan Aceh pasti menggunakan outfit yang sesuai dengan qonun atau kearifan lokal. “Yang lelaki menggunakan celana BIB panjang,” imbuh Zainal.
Lantas, saat turing dan tiba waktu beribadah, maka cyclist RBA akan berhenti dan salat dahulu. Sekaligus dimanfaatkan sebagai waktu istirahat.
“Untuk rekan cyclist yang bukan muslim, mereka sangat toleran dan ikut berhenti serta menunggu rekan yang beribadah. Inilah salah satu keunikan sekaligus indahnya bersepeda di Aceh,” bangga Zainal.
Sama seperti komunitas lainnya, tentu banyak cerita-cerita seru anggotanya saat gowes bareng. Waktu perayaan ulang tahun RBA yang ketiga, diadakanlah turing dari Banda Aceh ke Meulaboh. Jauhnya 250 km dengan medan rolling. Pemandangannya sangat indah. “Seperti kepingan surga yang jatuh di bumi,” puji Zainal.
Nah, ketika turing berjalan, ada anggota RBA yang tertinggal. Namanya Jhon. Tapi dia tidak kurang akal. Begitu ada becak barang (motor yang dimodifikasi sebelah kiri diberi dek untuk angkat barang), Jhon tak berpikir panjang. Langsung sepeda dan dirinya naik.
“Saya kira tidak ada orang yang tahu karena saya paling belakang,” tuturnya. Selesai tanjakan, Jhon turunkan sepeda dan gowes lagi.
Apesnya, ada panitia di mobil dan siap dengan kamera. Alhasil, momen Jhon naik becak barang terabadikan. Selesai even, jadilah bahan bully teman-teman se-grup Whatsapp. Dan hingga hari ini, Jhon dipanggil Jhon Becak lantas tanjakan itu disebut Tanjakan Becak. Ha...ha...ha…
“Parahnya, bully-an itu hingga manca negara. Karena even itu diikuti oleh cyclist dari Malaysia, Singapura, dan Thailand,” bilang Jhon lantas tertawa.
Adalagi cerita unik dari Pohan, anggota RBA yang berdomisili di Subulussalam, pesisir pantai barat perbatasan Aceh dan Sumut. Dia satu-satunya anggota Roadbike Aceh juga satu-satunya pesepeda road bike di kabupaten itu.
Semangatnya luar biasa, tiap akhir pekan selalu melahap tanjakan yang terkenal ganas di sana. Termasuk tanjakan Singgersing dan Gunung Kapur.
Hebatnya gowes nanjak itu dia lakukan seorang diri tanpa ada rekan pesepeda lainnya. “Kesendiriannya itu tidak membuatnya patah semangat, sehingga muncul istilah cyclist yang salatnya berjamaah, tapi gowesnya munfaridah (sendiri),” tutur Zainal yang mengatakan banyak anggota RBA yang aktif mengikuti even gowes di Pulau Jawa seperti GNFY Bali, Bromo KOM, Tour de Ambarukmo, dan Tour de Jogja.
Di luar gowes, anggota RBA sangat guyub. Mereka sering mengadakan nongkrong bareng ngobrol-ngobrol di warung kopi favorit. Lucunya, tempat nongkrong ini kerap dijadikan nama peloton RBA.
Misalnya, ada satu warung kopi sederhana di pinggiran kota Banda Aceh yang menyajikan Mie Tirom yang spesial. Rasa dari mie ini memang luar biasa dan membuat anggota RBA ketagihan untuk selalu datang. “Jadinya peloton kami dipanggil dengan panggilan Peloton Mie Tirom,” tutur Zainal
Begitu juga anggota RBA yang ada di daerah Birueun sering kongkow di warung yang menyajikan makanan khas daerah sana yaitu Sate Apaleh. “Cyclist Biruen ini kerap menaklukan rute rute Biruen – Takengon sejauh 110 km yang mana 80 persen tanjakan. Konon kemampuan ini dicapai berkat latihan teratur juga makan Sate Apaleh. Akhirnya cyclist Biruen ini menjadapat julukan Peloton Sate Apaleh,” tutup Zainal lantas tertawa.