Rasisme, Memang Jadi Dosa Asal Amerika (2)
Aksi unjuk rasa atas meninggalnya George Floyd meluas ke berbaragi penjuru Amerika Serikat. Sebanyak 25 kota di 16 negara bagian telah memberlakukan jam malam, sebagian diantaranya bahkan diperpanjang hingga Senin 1 Juni pagi waktu setempat.
Bahkan, di kota Chicago, pusat distrik bisnis dan area downtown Loop ditutup Pemerintah Kota dan hanya dapat diakses pemilik bisnis dan warga yang tinggal di kawasan tersebut. Sementara di Minnesota, aparat menutup seluruh akses jalan tol.
Aksi protes tercatat terus berlanjut sejak hari Minggu 31 Mei hingga Senin dini hari di beberapa kota di Midwest, khususnya Chicago, Minneapolis dan St. Paul, meskipun telah diberlakukan perintah jam malam. Seperti pada hari-hari sebelumnya, aksi demonstrasi dimulai dengan damai pada sore harinya, namun berubah menjadi aksi anarkis di malam hari dan berlanjut hingga pagi dini hari.
Bagaimana pandangan tokoh Islam soal kasus di Amerika Serikat ini?
Berikut Ustadz Imam Shamsi Ali, Imam/Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundaiton USA menyampaikan sejumlah pandangannya, bagian kedua/terakhir:
Musuh Bersama Bangsa Amerika
Menyikapi realita buruk dalam perjalanan bangsa ini tentu menyadarkan semua pihak di Amerika bahwa “tendensi” bahkan realita itu harusnya menjadi musuh bersama untuk diperangi dan diselesaikan. Jika tidak, khawatirnya ini akan menjadi “trade mark” kebangsaan yang memalukan.
Sesungguhnya hal ini bukan penyakit ras dan etnis tertentu dari manusia. Tapi lebih kepada penyakit mental manusia yang lupa diri dan ciptaan. Sebuah perasaan lebih (superioritas) karena warna kulit, ras dan etnisitas. Realitanya ini adalah penyakit pertama dalam sejarah makhluk Tuhan (baca sejarah Iblis).
Karenanya kita jangan melihat rasisme ini sebagai penyakit orang putih. Walau kenyataannya sejak masa imperialisme dan kolonialisme, kaum putihlah (Eropa) yang memang mendominasi perilaku Iblis ini. Hal itu karena mereka buta nurani karena keangkuhan dan transgresi yang mereka lakukan ke negara-negara non Putih, khususnya di Asia dan Afrika.
Maka kematian George Floyd dan banyak lagi warga hitam Amerika sebelumnya harusnya menyadarkan bangsa ini untuk bangkit dan melakukan “self correction” (perbaikan diri). Bahwa perilaku rasisme itu adalah musuh bersama bangsa ini dan harus diperangi secara kolektif.
Dari pimpinan dan komunitas agama-agama, para pendidik dan institusi-pendidikan, para seniman dan Komunitas Hollywood, hingga para bisnisman dan pelaku pasar, semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk memerangi perilaku rasisme ini.
Tentu tanggung jawab terbesar ada pada penanggungjawab pemerintahan. Mereka adalah pengendali negara sekaligus punya otoritas, baik moral maupun konstitutional untuk melakukan perbaikan-perbaikan secara sistemik untuk memerangi rasisme ini.
Yang menjadi masalah adalah ketika mereka yang berada di posisi kekuasaan justeru memiliki kecenderungan yang sama. Sehingga kerap kali ketika terjadi perilaku rasis dalam masyarakat justeru mendapat dukungan kekuasaan, baik langsung atau tidak langsung.
Ketika kaum minoritas bangkit melawan ketidakadilan, mereka dicaci dengan sumpah serapah. Dituduh bandit-bandit atau penjahat-penjahat (thugs), bahkan teroris.
Tapi ketika White Supremasi membantai warga minoritas, di antaranya warga Muslim, Yahudi dan warga Afro American yang paling banyak menjadi korban dalam tahun-tahun terakhir, kerap disikapi setengah hati. Bahkan tidak jarang mendapat pembelaan dari kekuasaan itu.
Saya tidak mendukung penjarahan dan perilaku melanggar hukum apapun bentuknya. Tapi terkadang saya harus memahami ekspresi kemarahan itu sebagai suara-suara perlawanan yang tidak terdengarkan (unheard) kepada rasisme dan ketidakadilan. Selama rasisme dan ketidakadilan dipelihara, apalagi oleh kekuasaan (sistem) maka perlawanan akan tetap berlanjut.
Where there is no justice, there is no peace!
Bahwa di mana saja ada ketidakadilan akan tumbuh resistensi perlawanan. Yang tentu pada akhirnya akan menumbuhkan rasa ketidakamanan di masyarakat.
Dan dalam suasana seperti ini diperlukan kepemimpinan (leadership) di tengah masyarakat. Bukan sekedar menampilkan kekuasaan yang nampak seperti arogan kepada rakyat yang termarjinalkan. Semoga!
New York City, 3 Juni 2020
* ) Imam Shamsi Ali adalah Imam/Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundaiton USA.