Rasisme dan Islamophobia Myanmar (1)
SEBENARNYA permasalahan yang menimpa etnis Muslim Rohingya di Myanmar bukan baru. Mereka adalah ‘native’ di Birma dulu, yang sepanjang hidup mereka menderita sejak Inggeris menjajah Birma.
Artikel dengan judul di atas, saya tulis 2 Agustus 2012, menunjukkan hampir tidak ada kemajuan yang dirasakan oleh etnis Muslim Rohingya, meskipun Myanmar telah memasuki era baru demokratisasi berkat perjuangan Aung San Suu Kyi yang tidak saja didukung oleh masyarakat internasional tetapi juga oleh etnis Rohingya itu sendiri. Mereka berharap banyak dari Aung San Suu Kyi yang akan membela nasib mereka sebagai ‘etnis yang paling menderita sedunia’, demikian kata PBB.
Lima tahun lalu artikel ini saya tulis tanpa editing atau updating, untuk menggambarkan sejauh mana kemajuan yang dimiliki oleh etnis Muslim Rohingya, tidak saja dalam perlindungan terhadap keselamatan pribadi yang kian mengancam, tetapi juga dalam pengakuan hak-hak hukum termasuk HAM, politik, ekonomi bahkan sosial budaya yang masih terus menjadi tujuan utama perjuangan mereka.
***
PERKEMBANGAN negatif di Myanmar menjadi sorotan semua pihak di tanah air. Bukan saja kita mencemaskan keselamatan jiwa dari saudara-saudara Muslim di negeri yang sedang berubah itu, tetapi kita layak mempertanyakan komitmen Myanmar untuk menjadi negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk etnis minoritasnya. Bahkan rakyat Indonesia pun kini mempertanyakan apakah dengan catatan buruk terhadap perlindungan bagi etnis Rohingya itu Myanmar masih layak menjabat ketua ASEAN pada waktunya, di tahun 2013?
Betapa masifnya konflik sektarian yang bergerak seakan lepas kontrol, membuat Komisioner Tinggi HAM PBB Ny. Navi Pillay perlu menyerukan pembentukan komisi independen untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran HAM yang sistematik. Pillay mengutuk keterlibatan tentara dalam pembunuhan massal karena sebagai bagian dari negara mereka seyogianya tidak memihak, memulihkan ketertiban dan melindungi konflik yang tidak seimbang antara mayoritas Budha dengan minoritas Muslim di negara bagian Rakhine.
Justru tentara yang paling banyak membunuh warga Muslim Rohingya yang tidak berdaya.
Menurut data badan pengungsi PBB, UNHCR, sejak pecahnya konflik komunal sektarian pada tanggal 3 Juni, 80 ribu warga Muslim terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, menyelamatkan diri dengan mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Biasanya para pengungsi Muslim Myanmar itu mengungsi ke Bangladesh. Namun, situasi pengungsi Muslim Rohingya di Bangladesh juga tidak kurang menyedihkan, seperti ditulis oleh media ini beberapa hari yang lalu, dalam artikel “Kisah Pengungsi Muslim Rohingya”.
Pemerintah Bangladesh tidak ingin orang-orang berstatus pengungsi di negaranya yang mendapat bantuan PBB hidupnya lebih baik daripada rakyat Bangladesh sendiri. Bahkan Bangladesh menolak bantuan PBB jika dana itu disalurkan untuk pengungsi dan bukan untuk rakyatnya. Tragis karena Bangladesh adalah negara Muslim.
Pengejaran dan pelecehan sistematis oleh penguasa Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya yang didukung oleh terutama etnis Burma bukan cerita baru. Terungkapnya data-data ke masyarakat internasional dewasa ini mengenai kebijakan pemerintah yang diskriminatif di Myanmar sejak 5 dekade lalu, termasuk sikap pasif pemimpin oposisi dan pejuang HAM, Aung San Suu Kyi, menimbulkan pertanyaan dari konstituen di tanah air tentang kemana arah negara yang baru keluar dari isolasinya berkat upaya Indonesia dan dukungan ASEAN..
Pemusnahan etnis Rohingya sempat dituduhkan kepada pemerintah, dan memang pelecehan terhadap hak asasi manusia orang-orang Rohingya itu sendiri sedemikian sistematis, membuat rakyat Indonesia pesimis bahwa perlindungan HAM, termasuk terhadap orang-orang Rohingya, akan membaik.
Semangat anti-Islam atau pelecehan terhadap orang Rohingya sudah sedemikian merasuk ke tulang sumsum masyarakat etnis Burma yang mayoritas, termasuk dari kebijakan maupun sikap para pejabatnya. Tidak heran jika Aung San Suu Kyi yang dipuji sebagai pejuang HAM dunia itu juga ‘mati rasa’ jika ditanya oleh media barat tentang nasib orang Rohingya itu.
Maka, rasisme dan Islam Phobia pantas dituduhkan terhadap Myanmar. Bahkan, ada tokoh Islam di Indonesia yang mendesak agar Indonesia mengusulkan penundaan keketuaan Myanmar pada ASEAN pada tahun depan.
“Bilamana negeri itu tidak bisa menjamin keselamatan, penghormatan hak asasi manusia kepada rakyat di negeri itu sendiri, dan dengan sendirinya bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh ASEAN itu sendiri,” demikian tokoh Islam itu.
Suara jeritan lebih dari 1 juta orang Rohingya yang tinggal selama kurang lebih 800 tahun terakhir di Myanmar, merantau dari asal mereka di sekitar Afghanistan, menetap di Negara bagian Arakan, kawasan berbatasan Bangladesh dan Myanmar, kini mulai menggema.
Tulisan ini dibuat berdasarkan artikel yang ditulis oleh Francis Wade, seorang wartawan freelance untuk Al Jazeera yang bertugas di Myanmar., dan dari sumber-sumber lainnya.
***
MUSLIM Rohingya ini menjadi orang yang terlupakan, menjadi orang asing di negeri sendiri, dan bila ingin menumpangkan badan di negeri Muslim Bangladesh, rumah itu juga tidak ramah kepada mereka. Hingga akhirnya mereka mencoba menyelamatkan diri, keluarga, agama dan budaya yang mereka miliki, dengan menumpang kapal-kapal kecil sarat muatan dengan risiko tinggi, menuju negeri lain yang mungkin dapat menerima mereka.
Ada apa dengan mereka? Akankah mereka memiliki masa depan di negeri kelahiran mereka di Myanmar yang justru setelah berada di era demokratis malah semakin mengancam keselamatan jiwa mereka?
Apakah kesalahan mereka. Hanya karena mereka beragama Islam dan berkulit lebih gelap dari orang-orang Burma menjadi alasan sah untuk menguber-uber, menyiksa, atau menista mereka?
Warga minoritas Rohingya masih ingat dengan jelas karena belum lama terjadi ketika massa membunuh 10 penumpang bis ketika melintasi wilayah barat negeri yang dikuasai militer itu. Kejadian itu berlangsung tanggal 3 Juni yang lalu.
Orang-orang Muslim Rohingya itu tidak bersalah, atau setidaknya belum dibuktikan di pengadilan bahwa beberapa di antara para penumpang bis itu terdapat orang-orang yang terlibat, yakni 3 pria anggota Rohingya, yang dicari-cari karena dituduh melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis beragama Budha di negara bagian Rakhine itu.
Laporan media setelah kejadian itu menggambarkan situasi yang semakin mencekam setelah 10 pria Rohingya dibunuh dengan keji, bahkan diurinasi dan akhirnya bis yang mereka kendarai dibakar habis.
Komentar pun bermunculan di internet menambah kecemasan dari semua penjuru dunia, mengapa bisa terjadi pembunuhan massal setelah kejadian itu yang sangat mengejutkan.
“Membunuh orang Kalar itu bagus,” ujar seorang pria. Kalar menjadi julukan pejoratif yang merendahkan orang-orang Rohingya dan juga adakalanya digunakan oleh media milik pemerintah. Padahal, Kalar itu sebutan bagi penduduk Muslim dari Asia Selatan dan orang Rohingya bukan berasal dari Asia Selatan. Mungkin kesamaan agama dan warna kulit yang lebih gelap secara serampangan telah meletakkan orang-orang Rohingya itu ke dalam suatu grup yang direndahkan oleh etnis Burma, mayoritas penduduk Myanmar.
Meskipun tersangka pemerkosa sudah ditangkap dan diadili, tetapi konflik sektarian itu telah menyala, dan membakar siapa saja yang masuk ke dalam kategori Kalar’. Memang situasi yang menimpa orang-orang Muslim Rohingya ini mencemaskan, sampai kelompok LSM Medicins Sans Frontieres (Dokter Tanpa Batas) menyimpulkan bahwa orang-orang Rohingya menjadi kelompok minoritas dunia yang terancam kepunahan. Genosida, atau pembersihan etnis, seperti di Bosnia.
***
Islam Phobia?
SERANGAN terhadap warga Rohingya semasif sekarang ini memang jarang terjadi sebelumnya. Di balik peristiwa mengenaskan itu mendasar suatu kebencian yang kini meningkat tajam dalam skala sistematik atas keberadaan warga Muslim Rohingya di Myanmar.
Sentimen kebencian dan sikap rasis itu tidak hanya terungkap di masyarakat mayoritas Budha itu. Bahkan, sikap itu juga tercermin dari pernyataan para pejabat penting di pemerintahan. Bahkan, tokoh yang penerima Nobel perdamaian sekelas Aung San Suu Ky sendiri enggan berkomentar tentang nasib Rohingya Muslim. Dia hanya bicara normatif, pentingnya UU untuk perlindungan minoritas di Myanmar. Minoritas di Myanmar itu tidak hanya Rohingya, ada juga Karen, dan sebagainya.
Wakil Myanmar di PBB, Ye Myint Aung, melukiskan orang-orang Rohingya ini sebagai minoritas Muslim di negeri Arakan yang dianggap menjadi biang dan sah untuk diperlakukan seperti mereka adalah mahluk jadi-jadianmenakutkan. Orang-orang Rohngya itu sejak 1982 ketika Myanmar masih kokoh di bawah kekuasaan junta militer, ditolak memiliki kewarganegaraan Myanmar, karena mereka dituduh sebagai “imigran tidak-sah dari Bengali”. Karena dikejar-kejar itulah maka Medicins San Frontieres sangat mengkhawatirkan terjadinya pemusnahan etnis, atau genosida, sadar atau tidak dilakukan oleh pemerintah Myanmar.
Memang semua minoritas etnis di Myanmar menderita perlakuan kasar oleh pemerintah militer yang ingin memaksakan agar negeri itu berada di bawah satu bendera, kekhawatiran terhadap pembangkangan oleh Muslim Rohingya menjadi menonjol.
Misalnya, ketika website jurnal The Voice terpaksa mengajukan permohonan maaf setelah diserbu bertubi-tubi dengan ancaman karena menyiarkan pembunuhan massal itu. Dengarlah pernyataan seorang penulis Burma: “Kita harus membunuh semua orang Kalar di Burma, jika tidak maka Budhism akan terancam punah.”
Perlakuan terhadap warga beragama Islam yang dipandang sebagai ‘mereka, atau lain-lain’ masih ada meskipun negeri itu sedang beramah-tamah dengan dunia internasional, menawarkan apapun yang menarik mereka miliki. Terdapat kontradiksi di dalam keinginan bangsa itu untuk menjadi pemain global dan kemutlakan adanya keharusan untuk berinteraksi dengan bangsa dan agama lainnya selain Budha.
Di negara bagian Arakan, ketegangan terjadi antara penduduk Budha dengan Muslim yang sering menyebar menjadi aksi kekerasan, hipokritas tampak nyata Pemerintah disana melakkan pembentukan opini mereka yang menyudutkan Rohingya atas nama nasionalisme. Anehnya, pada saat bersamaan penduduk etnis minoritas selain Rohngya menolak asimilasi yang dipaksakan kepada warga Arakan untuk menjadi ‘orang Burma’ tetapi mereka aksi prejudis terhadap orang-orang Rohingya. (Bersambung).
Pada bagian kedua artikel ini, yang juga saya tulis di tahun 2012, saya mengulas reportase wartawan asing di Myanmar yang meyakinkan kita bahwa tanpa penyelesaian adil dan beradab dengan pengakuan terhadap hak-hak sah etnis Muslim Rohingya –terutama oleh Negara—maka kejadian ini akan berulang-ulang terjadi yang semakin menipiskan harapan masa depan etnis Muslim Rohingya di tanah kelahiran mereka, di mana nenek-moyang mereka mendiami wilayah ini ratusan tahun lamanya.
Kita semua wajib mengingatkan, praktik-praktik pelanggaran HAM terang-terangan yang menimbulkan ‘humanitarian disaster’ ini harus diakhiri. Kita, Indonesia, memiliki ruang untuk memimpin masyarakat internasional untuk tujuan beradab ini.
*) Hazairin Pohan adalah diplomat karir yang pernah menjadi Dubes Polandia dan terakhir sebagai Direktur Eropa Tengah dan Timur Kementerian Luar Negeri RI. Dia juga pernah bertugas di PTRI di PBB New York.
Advertisement