Rasa Duka dan Pemakaman Itu
Rasa-rasanya korban mati penduduk dunia akibat Covid-19 ini masih terus akan bertambah secara eskalatif. Kota New York, Amerika Serikat, yang merupakan kota terpadat dan mempesona orang untuk mengunjunginya itu, mencatat kasus tertinggi virus corona di dunia, berdasarkan data terakhir Jumat 10 April 2020 lalu.
Negara bagian ini mencatat kasus Covid-19 naik sekitar 10.000 dari Kamis menjadi 159.937 kasus, di atas Spanyol (153.000 kasus) dan Italia (143.000 kasus).
Sementara itu kita tengok China, tempat dimana virus ini pertama merebak akhir tahun lalu, mencatat hanya 82.000 kasus.
Amerika Serikat hingga saat ini, 12 April pagi buta pukul 04.00, WIB secara keseluruhan mencatat 462.000 kasus dan hampir 16.500 kematian. Sedangkan kasus secara global tercatat 1,6 juta kasus dengan 95.000 kematian.
Anda bisa bayangkan, kota New York yang canggih itu, jumlah kematian warganya tercatat lebih dari 7.000 jiwa manusia, bukan tikus atau kucing lho. Namun Spanyol membesar lagi sebanyak 15.500 jiwa. Italia tempat orang suci Paus ini malah menggila angkanya sebesar 18.000 kasus kematian.
Tapi tengok angka kematian di China, yang hanya sebesar 3.300 kasus. Aneh khan, padahal China itu adalah biang penyebaran virus Corona yang kemudian berganti kelamin menjadi Covid-19 itu. Hati kecil saya bertanya, ada apa ya dengan China?
Apakah ini ada kaitannya dengan sistem sosial ekonomi atau sistem sosial politiknya yang totalitarian itu, sehingga lebih efektif mengelola negaranya? Mengapa di negara-negara demokrasi, korban justru lebih banyak bergelimpangan di sana? Why, why, and why? Pikirkan sendiri!. Karena saya pagi ini belum mau berfikir ke sana.
Rumitnya Pemakaman korban
Soal yang satu ini juga bukan perkara sederhana. Beberapa hari yang lalu saya gagal menulis soal tragedi pemakaman di kota paling horor selama musim Covid-19 ini yaitu kota Guayaquil, di Ekuador sana.
Di kota yang masih terbilang miskin ini, kalau kita baca laporan BBC Munco, atau koran lokal disana seperti depiero, hati kita akan teriris-iris. Betapa tidak, ledakan kematian disana membludak dan tak ada lagi ruang pemakaman yang bisa menampung mayat-mayat itu. Akhirnya mereka diputuskan untuk membakarnya di jalan-jalan atau di depan rumah-rumah mereka. Sementara rumah-rumah sakit tak ada yang mampu mengirimkan ambulan untuk membawa mayat itu ke pemakaman umum sebagai layaknya manusia. Sungguh peristiwa yang mengerikan.
Mari kita tengok di Kota New York, yang mewah itu. Apa yang mereka lakukan? Pemerintah setempat mulai memakamkan jenazah di kuburan massal seiring dengan melonjaknya angka kematian. Cara ini mengingatkan saya pada kasus flu burung yang mengenai hewan ternak sekian tahun lalu; juga dikubur seperti babi-babi berpenyakit itu. Jadi manusia pun sejatinya setara dengan babi-babi itu ketika kelak manusia lainnya kehilangan tempat atau lahan untuk memakamkan manusia sebagaimana layaknya manusia.
***
Yang mulai mengerikan sekaligus memprihatinkan adalah kejadian di negeri ini. Polisi dikabarkan telah menangkap warga yang menolak pemakaman seorang perawat RS yang jadi korban Covid-19.
Polda Jawa Tengah menangkap tiga orang yang diduga menolak pemakaman perawat RS Karyadi Semarang, Nuria Kurniasih, yang meninggal terinfeksi virus corona (Covid-19), di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran, Kabupaten Semarang. Tiga orang tersebut adalah ketua RT setempat, THR (31) dan dua warganya, BSS (54) dan seorang pelaku lain berinisial S (60).
Padahal pihak keluarga sudah memohon-mohon, warga tetap tak mengizinkan hingga jenazah akhirnya dibawa kembali ke kamar mayat RS Karyadi Semarang pada malam hari. Karena warga ngotot, maka Nuria sang perawat itu dimakamkan di Komplek Pemakaman RS Karyadi, di TPU Bergota Semarang, pada Jumat 10 April. Nasibmu Nuria sungguh malang, sudah tewas karena membantu korban, mayatnya justru ditolak dimakamkan. Ini terjadi di negara religius Pancasilais lho!!
Rasa-rasanya, kasus serupa Nuria ini akan semakin banyak jika kemampuan komunikasi publik pemerintah ini masih buruk seperti saat ini. Oleh karena itu pemerintah membutuhkan Harmoko-Harmoko baru yang secara clear mampu menjelaskan berapa harga bawang merah, cabe kriting, dan wortel di pasar Kramat Jati, Jakarta. Berapa harga beras di Denpasar bali, berapa harga burung perkutut di pasar Pramuka jakarta Timur dan sejenisnya itu.
Kemampuan komunikasi pemerintah yang lemah akan semakin memperburuk keadaan meskipun hanya soal mengubur manusia. Apalagi masalah semakin rumit karena space tanah yang tersedia semakin menipis di tanah air ini. Karena jutaan hektar lahan kita sudah diserahkan kepada para cukong yang menjadi raja properti raksasa. Lebih-lebih di Jakarta yang hampir 70 persen lahan itu sudah dikuasai para asing dan aseng.
Menjadi tantangan bagi para mufassir untuk berfikir mencari argumen yang bisa dipertanggung-jawabkan; bagaimana jika mayat-mayat itu dimakamkan secara bertingkat layaknya apartemen yang mewah di kota Jakarta, atau dikubur sebagaimana orang Bali yang dikenal dengan upacara Ngaben. Itu jika pemerintah takut meminta kembali tanah-tanah yang dikuasai para cukong itu.
Monggo Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya, Monggo Nahdlatul Ulama dengan Ba'tsul Masailnya. Saya sendiri akan menunggu hasilnya saja!
Fathorrahman Fadli
(Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang)
Advertisement