Rapa’i, Menabuh Denyut Alat Musik Khas Aceh
Saya mengenal orang Aceh. Cukup dekat. Malah boleh dibilang sangat dekat, mengingat hanya beberapa kali pertemuan saja karena waktu yang singkat.
Dia lelaki berperawakan tinggi. Kulitnya sedikit gelap. Mungkin karena dia suka berkebun dan karena memang orang kebun maka matahari suka menyalak kepadanya. Jadi kulitnya berubah gelap.
Namanya Dedik. Lafal haruf mati di belakang harus jelas. Dedi K. Pakai K ya, dan menulisnya juga harus jelas pakai K. Jadi: DEDIK. Begitu katanya.
Orang Aceh satu ini uasik kalau sudah bicara kopi. Cas cis cus bukan main. Mahir betul. Mengenal betul kopi Aceh. Plus, seluruh citarasanya. Mungkin dia mengenal kopi Aceh seperti mengenal kulitnya sendiri yang menjelang hitam.
"Kopi Aceh itu bukan main. Apalagi kalau sudah diproses dengan betul, orang bule bisa gantung diri kalau tidak dapat order kopi Aceh. Karena itu, orang Indonesia sendiri kadang sampai tidak dapat kopi Aceh dengan kualitas sempurna. Sebab, yang sempurna itu sudah menari-menari di lidah-lidah orang Eropa," kata Dedik.
Sudahlah, itu dunia kopi. Itu dunia Dedik. Pokoknya, dia menjadi bukan main kalau sudah bicara kopi, menyeduh kopi, lalu menyeruput kopi. Ah... abang Dedik suatu saat harus bersua lagi tapi tidak dalam waktu yang singkat.
Berbeda hari, saya mengenal Aceh dalam dunia yang bukan kopi. Kali ini ranahnya mendekati dunia budaya. Mungkin juga musik. Karena bicara Desa Jeulikat, Rapa'i, dan tetabuhan yang diproyeksikan harus dilestarikan.
Iya, kita tinggalkan dulu dunia kopi, kita tinggal si abang kulit gelap itu sebentar. Lalu, sekarang, kita masuk Desa Jeulikat. Desa ini berada di Kecamatan Blang Mangat, Lhoksemawe.
Bukan main desa ini. Rupanya dari desa inilah alat musih tabuh Rapa'i diproduksi.
Siang itu Desa Jeulikat mendadak ramai. Desa yang memproduksi alat musik tabuh Rapa’i itu ikut sibuk menyambut even Aceh International Rapa’i Festival. Acara ada di Lhoksemawe, 4-7 November 2018.
Betapa sibuknya desa itu karena menyambut even besar yang jarang terjadi. Sibuknya barangkali sama saat orang-orang Gayo memanen kopi. (Ah kopi lagi sih).
Di Jeulikat, terdengar membahana mesin penghalus kayu. Derunya langsung menyambut siapa saja, termasuk peserta festival, yang ingin melihat langsung proses pembuatan Rapa’i.
Ada yang sibuk memegang kayu. Ada yang bertugas menyiapkan rotan sebagai komponen penting membuatan Rapa’i, dan seterusnya. Dari tangan-tangan kekar para perajin Rapa’i itulah alat musik yang melegenda ke pelosok nusantara itu dibuat. Rapa’i dimainkan dengan cara ditabuh. Ditabuh dengan tangan. Tanpa alat pemukul seperti yang dimainkan beberapa jenis alat tabuh.
Rapa’i memang hanya alat musik. Tapi dari sanalah kemudian cerita dan adegan menjadi berkembang. Lalu munculah seni Rapa’i Debus. Muncul pula Rapa’i Uroh, dan lainnya.
Rapa’i Festival di Aceh kali ini menjadi sangat berbeda. Lebih keren mestinya. Sebab even ini didesain menjadi Even Aceh International. Menggetarkannya lagi, Rapa’i Festival tahun ini masuk dalam Calender of Event (CoE) Kementrian Pariwisata RI.
Masuknya Rapa’i dalam CoE Kementrian Pariwisata bisa dilihat sebagai sebuah visi yang panjang. Betapa, alat musik yang melegenda itu mulai ditinggalkan. Betapa, alat musik Rapa’i adalah salah satu warisan budaya yang sangat buesar artinya. Isyarat mulai ditinggalkannya Rapa'i ini bisa dilihat dari makin sedikitnya perajin yang mulai sedikit.
Memang fenomena ini tidak hanya terjadi pada Rapa'i Aceh. Beberapa alat musik yang melegenda di beberapa wilayah juga menipis digerus zaman. Gamelan Jawa misalnya, di wilayah Magetan, Jawa Timur, beberapa kelompok masyarakat yang turun-temurun hidup dari merajin alat musik ini kadang juga baru enam bulan sekali mendapatkan order membuat gamelan.
“Kami tidak mau alat musik Rapa’i ini hilang ditinggal zaman. Kami ingin masyarakat Aceh terus melestarikan dan malah mengembangkan lagi untuk menjadi lebih besar. Jangan sampai punah. Itu juga yang jadi dasar utama Aceh Internasional Rapa’i Festival dilaksanakan,” ungkap Asisten Deputi Bidang Pemasaran I Regional Sumatera, Iyung Masruroh.
Rapa’i, alat musik Rapa’i dibuat dengan bahan dasar kayu. Bukan sembarang kayu. Harus kayu berkualitas tinggi. Biasanya kayu tualang atau kayu merbau. Untuk bahan kulitnya menggunakan kulit kambing yang terlebih dahulu telah disalai atau diasapkan selama delapan bulan. Pendeknya, bisa dibilang, pembuatan satu Rapa’i membutuhkan proses panjang.
Karena beberapa kerumitan, alat musik Rapa’i sendiri bisa tak murah. Harga yang paling paling murah ada dikisaran Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Dan yang paling mahal bisa mencapai harga Rp2 juta. Semua itu bergantung pada besar kecilnya Rapa’i serta kualitas capaian produksinya.
Siang itu, nampak serombongan orang menyambangi proses pembuatan Rapa’i di Desa Jeulikat. Sambang-sambang ini adalah salah satu bagian dari rangkaian acara Aceh Internasional Rapa’i Festival. Mereka ada yang wakil dari Thailand, India, dan juga Malaysia. Malahan, beberapa dari mereka langsung jatuh cinta dengan Rapa’i dari dan memesa langsung kepada para perajinnya.
Junaedi Hasballah, salah satu perajin Rapa'i yang cukup dikenal sebagai master Rapa'i, mengatakan, membuat Rapa'i sesungguhnya tidak bisa dihitung hanya dari segi berapa banyak yang dihasilkan dalam membuat alat musik itu. Karena ini memang industri rumahan. Pokoknya ada pemesanan bisa langsung dikerjakan. Sebab itu omset juga tak bisa dibukukan dalam target bulanan. Yang pasti, warga Desa Jeulikat bisa bertahan hidup dengan menjadi pembuat Rapa'i.
Lalu kopi? Ah itu nanti kalau sudah melompat ke Gayo, dan bertemu Abang Dedik di sana. Jeulikat dan Gayo sepertinya hanya sepenggalah kalau dilihat dalam peta. (*/widikamidi)
Advertisement