Perayaan Imlek, Klenteng di Malang akan Undang Gusdurian
Jelang perayaan Tahun Baru Imlek 2571, Klenteng Eng An Kiong mulai sibuk memoles beberapa bangunan. Seperti ruang ibadah di sudut tengah, lalu bagian utara dan selatan rumah ibadah yang terletak di Jalan R.E. Martadinata, Kota Malang.
Humas Klenteng Eng An Kiong, Bonsu Anton Triyono, mengatakan akan mengundang komunitas Gusdurian untuk menyemarakkan Imlek bersama umat Konghucu.
"Di hari ke-15 ada tradisi Cap Go Meh, makan lontong Go Meh bersama, kalau di Islam kayak kupatan. Kami mengundang sekitar 200 Gusdurian dan juga masyarakat umum untuk ikut makan bersama," tuturnya kepada ngopibareng.id, pada Kamis 9 Januari 2020.
Hadirnya Gusdurian dalam tradisi Cap Go Meh, terang Bonsu, sekaligus sebagai bentuk perayaan haul Abdurahman Wahid atau Gus Dur.
"Kami minta agar nanti sahabat-sahabat dari Gusdurian untuk menampilkan kesenian Hadrah (rebana). Dari kami nanti juga akan menampilkan kesenian barongsai," ucapnya.
Dalam perayaan tahun baru Imlek ini, Bonsu Anton menitipkan pesan untuk selalu merawat keberagaman serta ikut memajukan perekonomian bangsa.
"Pesan imlek tahun ini semoga kita dapat menjunjung tinggi terus keberagaman. Doanya semoga Indonesia kian maju terutama dalam hal ekonomi," tuturnya.
Seperti diberitakan oleh ngopibareng.id sebelumnya Klenteng Eng An Kiong dibangun pada sekitar 1825 (2564 tahun Imlek). Pembangunannya atas prakarsa dari Liutenant Kwee Sam Hway (Yauw Ting Kong). Dia merupakan keturunan ketujuh dari seorang jenderal di masa Dinasti Ming (1368-1644) di Tiongkok.
“Kwee Sam Hway masuk ke Indonesia, awalnya mendarat di Madura, kemudian beliau mencari tempat yang lebih subur dan masuk ke Malang. Kebiasaan yang tidak pernah dilupakan adalah beliau selalu menjaga keharmonisan hubungan kemanusiaan,” tuturnya
Ia bercerita, ketika datang musim paceklik, klenteng adakan sembahyang dan membagikan sembako ke semua umat dan masyarakat. Tak peduli suku dan agamanya.
“Ada tiga ribu lebih paket sembako yang kita bagikan waktu itu. Isinya ada beras, mie, bihun, gula, hingga busana layak pakai,” sambungnya
Penamaan klenteng juga menurutnya adalah hasil dari budaya Indonesia sendiri, terutama suku Jawa.
“Jika umat Islam ada bedug, itu kan bunyinya kalau dipukul dug, dug. Nah, kita di sini memanggil sembahyang mengunakan lonceng. Kalau dipukul bunyinya teng, teng. Makanya dinamakan Klenteng,” ceritanya.
Dari segi posisi bangunan Klenteng Eng An Kiong, bersandar di tempat yang lebih tinggi dan menghadap ke daerah yang lebih rendah.
“Lebih tinggi dari Semeru dan lebh rendah adalah Batu. Bagaikan Tuhan menciptakan hukum alam itu sendiri,” sambung Anton.
Selain bangunan, klenteng ini juga memiliki keunikan lain. Yakni, sebagai klenteng Tri Dharma. Artinya, klenteng digunakan sebagai tempat ibadah bagi tiga penganut, yaitu Ji (Khonghucu), Too (Tao), dan Sik (Buddha).