Ranah Minang Tolak Islam Nusantara, Ini Alasannya
"Kami MUI Sumbar dan MUI kabupaten/kota se Sumbar menyatakan tanpa keraguan bahwa Islam Nusantara dalam konsep atau pengertian atau definisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumantera Barat)," Ketua MUI Sumatera Barat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dan MUI kabupaten/kota se Sumbar menyatakan "Islam Nusantara" tidak dibutuhkan di Ranah Minang. Pernyataan ini dituangkan dalam empat lembar surat pernyataan berkop resmi MUI Sumbar yang memuat tujuh alasan kenapa mereka menolak "Islam Nusantara".
"Kami MUI Sumbar dan MUI kabupaten/kota se Sumbar menyatakan tanpa keraguan bahwa Islam Nusantara dalam konsep atau pengertian atau definisi apapun tidak dibutuhkan di Ranah Minang (Sumantera Barat). Bagi kami, nama Islam telah sempurna dan tidak perlu ditambah lagi dengan embel-embel apapun," kata Ketua Umum MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar, dalam surat pernyataan yang diterima ngopibareng, Selasa 24 Juli 2018.
Istilah "Islam Nusantara", menurut MUI Sumbar, hanya akan melahirkan berbagai permasalahan yang akan mengundang perdebatan yang tidak bermanfaat dan melalaikan umat Islam dari berbagai persoalan penting yang sedang dihadapi. Bahkan "Islam Nusantara" dianggap bisa membawa kerancuan dan kebingunan di tengah umat dalam memahami Islam.
"Susunan Bahasa Indonesia yang menganut konsep DM, menunjukkan pembatasan Islam dalam wilayah yang disebut "Nusantara". Ini berakibat terjadinya pengerdilan dan penyempitan ruang lingkup Islam yang semestinya menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta (Rahmatan lil'alamin) dan untuk seluruh umat manusia (kaaffatan linnaas)," ujar Buya Gusrizal.
Jika yang dimaksudkan dengan istilah "Islam Nusantara" adalah keramahan, washatiyah (proporsional dan timbangan keadilan), toleransi dan lainnya, maka itu sejatinya bukanlah karakter khusus Islam di daerah tertentu, tetapi adalah di antara mumayyizat (keistimewaan) ajaran Islam yang sangat mendasar. Karena itu, menghadirkan label "Nusantara" untuk Islam dinilai hanya akan berpotensi mengkotak-kotak umat Islam dan memunculkan pandangan negatif umat kepada saudara-saudara muslim di wilayah lain.
"Wasathiyyah (toleransi), samhah, adil, dan lainnya yang disebutkan sebagai karakter "Islam Nusantara", hanyalah sebagian dari keistimewaan Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan keistimewaan lainnya seperti rabbaniyyah ilahiyyah, syumuliyyah dan lainnya. Mengapungkan satu-satu dari keistimewaan dengan memisahkan dari keistimewaan yang lain hanya akan menimbulkan kerancuan dan memahami Islam dengan mengeluarkan Islam dari kesempurnaannya," kata dia.
Jika "Islam Nusantara" dipahami dengan dakwah yang mengacu kepada ajaran dan pendekatan Wali Songo di Pulau Jawa, dikawatirkan akan berdampak serius kepada keutuhan bangsa, karena di berbagai daerah dalam wilayah NKRI, ada para ulama dengan pendekatan dan ajaran yang bisa saja berbeda dengan Wali Songo.
"Memaksakan pendekatan dan ajaran Wali Songo ke seluruh Indonesia, berarti mengecilkan peran ulama yang menyebarkan Islam di daerah lain yang memiliki karakteristik dakwah yang beragam," ujar Buya Gusrizal.
Menurut Buya Gusrizal, jika pendekatan kultural yang menjadi ciri khas "Islam Nusantara" maka itu bukanlah monopoli "Islam Nusantara" tapi telah menjadi suatu karakter umum dakwah di berbagai wilayah dunia ini karena sikap Islam terhadap tradisi dan budaya tempatan, telah tertuang dalam kajian ilmu Ushul al-Fiqh secara terang.
Bahkan para ulama Sumatera Barat dengan perjalanan panjang sejarah dakwah Islam di Ranah Minang yang diwarnai dengan dinamika yang begitu hebat, telah menjalani langkah-langkah pendekatan kultural tersebut bahkan mereka sampai kepada komitmen bersama melahirkan "Sumpah Sati Marapalam" dengan falsafahnya yang dipegang oleh masyarakat Minangkabau sampai hari ini yaitu: Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, Syara' Mangato, Adat Mamakai".
"Walaupun telah sampai pada titik kebersamaan tersebut namun tak seorang pun ulama Minangkabau menambah label Islam di Minang ini dengan "Islam Minang"," kata dia.
Selain itu, jika dimaksudkan dengan "Islam Nusantara" adalah Islam yang toleran, tidak radikal kemudian memperhadapkan dengan kondisi Timur Tengah sekarang, maka sikap ini mengandung tuduhan terhadap ajaran Islam sebagai pemicu lahirnya sikap radikal dan tindakan kekerasan terhadap konflik Timur Tengah.
Ini juga pencideraan terhadap ukhuwwah Islamiyyah antara kaum muslimin di dunia, karena perjuangan yang dilakukan oleh sebagian kamum muslimin seperti Palestina, sangat tidak pantas dilabeli dengan radikalisme dan kekerasan.
"Seharusnya mereka mendapatkan simpati kita kaum muslimin di negeri ini sebagaimana mereka memperlakukan kita di saat perjuangan kemerdekaan Indonesia dahulunya," ujarnya.
Sementara itu, keputusan MUI Sumbar ini diambil berdasarkan rapat koordinasi bidang kerukunan yang juga dihadiri seluruh MUI kabupaten/kota se Sumbar. Surat Keputusan MUI Sumbar ini juga ditandatangani langsung Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar, dan Sekretaris Zulfan pada Sabtu 21 Juli 2018.
Dalam keputusannya, selain menolak Islam Nusantara, mereka juga mengeluarkan fatwa sesat bagi ajaran Jamiyah Islamiyah (JmI) yang saat ini tumbuh subur di Ranah Minang dengan membawa ajaran Karim Jama'. MUI Sumbar juga memfatwakan sesat aliran Pengajian Riza Muhammad, serta aliran Syi'ah. (man)