Ramadan, Indahnya Salat Berpindah Masjid saat Tarawih di Medan
Oleh: Wahidah Zein Siregar
Di masa kecil, ketika puasa Ramadan sudah memasuki separuh waktu seperti ini, terkadang ayah mengajak kami, anak-anaknya yang masih kecil. Ada Kak Imah, saya, Dik Abang, dan Dik Neni, untuk sholat tarawih atau sholat Subuh berpindah masjid.
Tentu saja masjid-masjid itu yang dekat dan masih terjangkau oleh kami untuk berjalan kaki. Sebab, jangankan mobil, sepeda saja ayah hanya punya satu. Sepeda tua berwarna hitam yang sangat klasik. Orang-orang biasanya menyebut sepeda itu sepeda "janda". Entah mengapa gerangan sebabnya.
Jadi kalau sudah selesai berbuka dan sholat maghrib berjamaah di rumah, ayah lalu bilang ayo cepat bergerak, ambil wudhu', bawa peci atau "telekung"nya, kita sholat tarawih di masjid AnNur atau kalau sudah selesai makan sahur, ayah mengatakan ayo kita sholat Subuh di Masjid Raya. Kami pun cepat bergegas.
Masjid AnNur berada di kompleks kantor DPRD Kabupaten Langkat, dekat dengan tanah lapang (kalau di Jawa, tanah lapang disebut alun-alun). Sekitar 1 km jaraknya dari rumah. Sedangkan Masjid Raya berada di sekitar pajak (kalau di Jawa disebut pasar). Sekitar 2,5 km dari rumah.
Kota Binjai masa itu menjadi ibu kota Kabupaten Langkat maupun Kotamadya Binjai. Jadi, Kantor Bupati Langkat maupun Kantor Walikota Binjai jaraknya tidak terlalu jauh. Dipisahkan oleh tanah lapang. Pajaknya juga berbagi. Bukan main ramainya pajak ini di pagi hari.
Sebenarnya terasa capek juga berjalan ke masjid AnNur dan Masjid Raya ini. Tetapi kata ayah, semakin jauh jalannya semakin banyak pahalanya. Jadi kami pun tak banyak mengeluh dan bertanya lagi.
Ada juga rasa senang di hati, karena terkadang kami bertemu teman sekolah yang rumahnya dekat dengan masjid-masjid ini. Trisna Wahyuni dan Iyus misalnya, rumahnya dekat dengan masjid AnNur. Sedangkan Ismet dan Edi Putra rumahnya dekat dengan Masjid Raya.
Tentu saja, tidak setiap hari kami berpindah masjid ini, hanya sesekali. Hari-hari pada umumnya kami sholat tarawih maupun Subuh di Masjid Al Mushlihin, masjid terdekat yang jaraknya sekitar 200 m dari rumah. Ayah juga sering sekali membantu membersihkan Masjid Al Mushlihin ini.
Agak heran juga memang, ayah tidak meminta kami sholat Maghrib berjamaah di masjid ketika Ramadan. Padahal di hari-hari di luar Ramadan, ayah meminta kami sholat Maghrib berjamaah di masjid. Karenanya, selama Ramadan kami sholat berjamaah di rumah.
Kata ayah, kasihan nanti orang-orang yang memerlukan makanan untuk berbuka di masjid kalau kami ke masjid. Bisa kurang makanan yang disediakan di sana. Apalagi anak ayah kan banyak, makanan-makanan itu nanti bisa habis untuk anak-anak ayah saja. Karena masjid AlMushlihin terletak di jalan Satria, jalan besar yang banyak dilewati orang, akan banyak orang yang singgah di masjid nantinya.
Menjadi dewasa dan jauh dari Binjai seperti sekarang ini, membuat masa-masa Ramadan seperti di masa kecil itu bermunculan seketika di depan mata. Kerinduan kepada Almarhum ayah dan mamak tak lagi bisa dibendung. Kerinduan untuk merasakan bisa sholat tarawih di berbagai masjid seperti dulu.
Dengan pengetahuan saya yang sangat terbatas tentang Fiqh maupun sejarah Islam, saya coba mencari info lewat internet, apakah manfaat dari sholat tarawih berpindah-pindah masjid.
Sebagian informasi mengatakan tidak diperbolehkan sholat berpindah-pindah masjid, karena akan membuat masjid terdekat menjadi sepi. Bahkan bisa menimbulkan perselisihan, karena dianggap kurang menghargai imam atau pengurus masjid terdekat.
Sebagian informasi menyebutkan bahwa di Maroko, adalah sebuah tradisi berpindah-pindah masjid saat Ramadan, khususnya pada sholat tarawih.
Pada kisah saya, ayah menurut saya, tidak bermaksud membuat masjid Al Mushlihin menjadi sepi. Ayah hanya ingin mengajarkan kami bagaimana bisa mengumpulkan pahala yang banyak. Terutama di hari-hari akhir bulan Ramadan. Langkah-lanhkah kami akan dihitung menjadi berjuta-juta pahala.
Ayah, terima kasih banyak atas semua yang ayah ajarkan. Belum semua yang ayah ajarkan itu mampu untuk kami lakukan. Bahkan ke masjid terdekat pun langkah ini sering-sering tertunda.
Terlalu banyak hal rupanya yang menghambat langkah-langkah kami, tetapi sungguh tak ada niat di dalam hati untuk tidak melaksanakan kebaikan-kebaikan yang ayah ajarkan. Semoga ayah tak merasa sedih melihat perilaku kami dari alam sana, semoga ayah selalu berbahagia di sana, Aamiin ya Rahmaan.
Penulis adalah pengajar di FISIP UINSA Surabaya